Mempertemukan ‘Balung Pisah’ Keturunan Kramawitana, Purbalingga – Suriname

Searah Jarum Jam : Soekiah, Kawini, Stephanie, Pujiati (Kolase : Igosaputra)
Setelah mengunggah tulisan ‘Keturunan Depok van Purbalingga di Nickerie, Suriname’, Saya cukup intens berkomunikasi dengan Stephanie Kramawitana, mula-mula via messenger di FB lalu beralih ke Whatsapp, Ia banyak bercerita mengenai dirinya dan keluarganya di sana.

 

Stephanie menambahkan banyak keterangan mengenai kehidupan Soekiah setelah memutuskan tinggal di Suriname, berkeluarga dan beranak pinak. Dirinya merupakan cucu dari anak bontot Soekiah bernama Slamet Kramawitana yang lahir pada 26 Maret 1937. Lalu, bapaknya adalah putera sulung Slamet yang bernama Soetrisno Kramawitana.

 

Baca : Keturunan Depok Van Purbalingga di Nickerie,Suriname

 

Stephanie sudah mengkonfirmasi tetapi untuk melacak jejak Kramawitana di Purbalingga, PR berikutnya adalah memastikan Soekiah yang di pangkalan data Belanda bernama sebagai Bok Kramawitana itu menggunakan nama bapaknya. Sebab, bisa jadi dia menggunakan nama suaminya sehingga ketika dicari di Purbalingga bisa jadi mis datanya.

 

Jadi, follow up-nya, saya cari nama semua Kramawitana dari seluruh data imigran Jawa yang dibawa Belanda ke Suriname di Nationaal Archief Belanda. Hasilnya, ada sembilan orang, empat wanita termasuk Soekiah dan lima pria, imigran jawa di Suriname yang bernama Kramawitana.

 

Datanya sebagai berikut : Pertama, Bok Kramawitana alias Marni yang terdata dari Desa Tlewang Wonosobo dibawa Belanda pada 16 Agustus 1926. Marni beranak pinak di Paramaribo. Lalu, ada Bok Kramawitana alias Kinah asal Desa Kaligondang yang dibawa 27 Juli 1925. Ia tercatat dipulangkan ke Hindia Belanda 8 Juni 1935. Ketiga, Bok Kramawitana alias Nasem dari Desa Karangraoe Banjoemas yang dibawa 27 Juli 1925. Nasem terdata meninggal 18 Januari 1949.

Bok Kramawitana alias Nasem (Dok : Nationaal Archief)
Kemudian, keempat, ada Kramawitana alias Djali dari Desa Nglongong, Madiun dibawa pada 24 November 1916. Djali sudah beranak pinak saat Soekiah didatangkan Belanda di tahun 1924.  Berikutnya, ada Kramawitana alias Sagiman, ini asalnya unik, saya tuliskan persis sesuai data Belanda ya : Dorp Ketawio, District Pokkatidja, Afdeling Probolingo, Gewest Banjoemas (Sepertinya Desa Ketawis, District Bukateja) yang dibawa 2 Juli 1910. Ia dikembalikan ke Hindia Belanda pada 11 April 1920 dengan Kapal Karimoen.

Sagiman Kramawitana (Dok : Nationaal Archief)
Lalu ada, keenam, Kramawitana alias Soemin dari Desa Tritih, Tjilitjap yang dibawa 22 Agustus 1928. Ia meninggal di Suriname pada 13 Februari 1934. Kemudian ada Kramawitana alias Katam dari Desa Sidanegara, Tjilitjap yang dbawa 1 Maret 1919 dan tercatat meninggal 27 Juni 1926. Kemudian ada Kramawitana alias Sawen yang berasal dari Desa Nanatan, District Poerbolinggo yang dibawa pada 7 Mei 1928. Pada saat Sawen tiba di Suriname, Soekiah sudah terdata mempunyai anak pertama.

 

Dengan merujuk data demikian adanya, ketiga perempuan bernama Bok Kramawitana bukanlah yang menurunkan Soekiah dan kelima lelaki dengan nama Kramawitana itu tidak ada yang menikahi Soekiah. Maka, tervalidasi lebih lanjut bahwa Soekiah dari Depok, Purbalingga adalah Kramawitana yang menjadi leluhur dari Stephanie.

 

Teka-teki berikutnya adalah mengenai data asal desanya. Soekiah tercatat asalnya dari Dorp Depok, District/Afdeling Poerbolinggo, Gewest Banjoemas. Nah, ini repot karena sekarang tak ada desa bernama Depok di Purbalingga. Akan tetapi dengan kekuatan cahaya bulan, eh netijen, didapatlah data-data wilayah bernama Depok di Purbalingga.

 

Ada grumbul Depok di Desa Langgar dan Nangkasawit, Kecamatan Kejobong. Ada juga Dusun Depok di Karangtengah, Kecamatan Kertanegara. Adapula yang bilang nama grumbul di Desa Gunung Wuled dan petilasan di Kecamatan Rembang. Ada juga nama kampung di Kelurahan Bancar, ada juga nama Dusun di Desa Sokawera, Kecamatan Padamara dan satu lagi nama dusun di Desa Kedungwuluh, Kecamatan Kalimanah.

 

Ini kemudian saya pilah. Untuk Depok yang di Langar dan Nangkasawit, saya skip karena keduanya dulu era kolonial berada di District Boekatedja. Begitupula Depok yang di Karangtengah, Gunung Wuled dan Rembang, sebab dulu wilayahnya masuk di District Bobotsari.

 

Tinggal tiga kemungkinan, Depok yang di Kelurahan Bancar, Kecamatan Kota atau yang di Desa Sokawera utawa yang di Desa Kedungwuluh. Ketiganya masuk wilayah District Poerbolinggo di era kolonial. Kalau melihat luasannya sekarang dan sejarah eksistensinya, saya skip yang Bancar. Saya lebih condong ke Depok yang ada di Desa Kedungwuluh atau Desa Sokawera.

 

Saat ini, Dusun Depok di Desa Kedungwuluh berwilayah satu dusun meliputi 3 RT dalam 1 RW. Depok di Sokawera juga satu dusun. Uniknya, kedua dusun ini meski beda desa namun berbatasan dan berdasarkan keterangan Budayawan Agus Sukoco yang tinggal di Dusun Depok Sokawera, dulunya merupakan satu pedukuhan.

 

Oke, setelah data mengerucut dugaan desanya, berikutnya adalah verifikasi lapangan. Saya pun meluncur ditemani Bro Tembong asalnya dari Kedungwuluh, rekan pecinta alam yang sekarang menjadi polisi. Langkah pertama saya menemui dan berbincang bersama dengan Mas Agus Sukoco lalu menemui tokoh desa setempat.

 

Untuk di Depok Sokawera menemui Pak Muslih, mantan sekdes. Kemudian, beralih ke Depok Kedungwuluh menemui Pak Hudi, perangkat desa setempat. Keterangan awal yang diberikan belum ada titik terang. Namun, mereka berjanji akan mencari data di arsip tanah lawas seperti Leter C atau sejenisnya.

 

Berdasarkan keterangan Pak Muslih tak ada nama Kramawitana di wilayahnya. Beberapa hari kemudian, Pak Hudi mengabarkan memang ada Kramawitana namun berasal dari dusun yang lain. Selain itu, berdasarkan penulusuranya juga tak ada keluarganya yang dibawa Belanda.

 

Selang beberapa waktu lagi, Pak Hudi mengabarkan jika Ia sudah mendapatkan informasi bahwa masih ada keluarga Soekiah, bahkan saksi mata yang menyaksikan Soekiah dibawa pergi Belanda. Sayapun kemudian meluncur kembali ke Depok Kedungwuluh untuk mewawancarainya. Kembali, ditemani Mas Agus Sukoco.

 

Adalah Ibu Kawini yang mengaku menyaksikan Soekiah dibawa Belanda. Ia adalah keponakan Soekiah. Meski sudah susah berjalan, Ibu Kawini masih tampak sehat dan bisa bercerita dengan cukup jelas. Pada awalnya sebenarnya saya meragukan keterangannya, sebab, jika Ia menyaksikan Soekiah dibawa Belanda maka umurnya saat ini sudah lebih dari 100 tahun. Logikanya begini : Soekiah dibawa Belanda pada 1924, 96 tahun lalu. Pengakuan Ibu Kawini, Ia sudah cukup umur saat itu. Jika umurnya 10 tahun saja waktu itu, maka, Ia sudah berumur 106 tahun saat ini.

Kawini dan Pujiati (Dok : Pribadi/Igo Saputra)
Untuk mempupus keraguan, saya verifikasi lebih lanjut. Menurut Pak Hudi, orang yang saat ini disebut eyangnya, berumur 86an tahun menyebut Ibu Kawini sebagai pengasuhnya. Lalu, warga sekitar memang menyebutkan Ibu Kaweni sebagai sosok yang sepantaran dengan eyang buyut mereka. Cukup logis kalau melihat fakta itu


 

Namun, saya masih penasaran karena masih tampak awet muda Ibu Kawini ini untuk ukuran seseorang yang berumur lebih dari 1 abad. Saya pun menanyakan resepnya. Pertama, kayaknya sih karena ayem, selow orangnya, tidak neko-neko. Ia tak punya keturunan dan tak menikah lagi sejak ditinggal suami 35-an tahun lalu. Resep berikutnya, ini mau percaya atau tidak terserah ya, bocoran Ibu Kawini rahasia wanita jaman dulu menjaga diri agar awet muda, yaitu, rutin mandi di tempuran (pertemuan) antar sungai setiap malam Selasa dan Jumat kliwon. Ladies, mau coba? Sumonggo...

 

Kembali ke laptop. Ibu Kaweni menceritakan, Soekiah adalah anak tunggal dari Kramawitana. Saat dibawa Belanda, ibunya sudah meninggal dan Kramawitana tidak kawin lagi setelah itu. Jadi Soekiah tak memiliki saudara kandung. Kramawitana memiliki adik bernama Pernatirta dan Yasngari. Kawini merupakan anak dari Tiwen, puteri Pernatirta. Jadi, Ia merupakan keponakan Soekiah. Istri Pak Hudi, Pujiati, cucu dari Yasngari berarti masih sepupu dengan Stephanie.

 

Silsilahnya yang digambarkan lisan oleh Kaweni secara singkat bisa dituliskan begini

Silsilah Kramawitana (Dok : penulis/igosaputra)
Ibu Kaweni mengisahkan Belanda datang dan membawa Soekiah tiba-tiba di dekat Langgar (mushola) yang terletak sekitar 30 meter dari pertigaan ke Dusun Depok. Belanda membawa Soekiah yang seorang wanita karena para lelaki semua bersembunyi saat mengetahui kedatangan Belanda.

 

“Inyong menangi dewek, Soekiah dibedodot Landa. Soekiah nangis dipanggul Landa. Aku arep nulungi wedi sebab Landa pada nggawa bedil,” ujarnya mengenang.

 

Soekiah merupakan satu-satunya orang yang dibawa dari Depok saat itu. Ia dibawa ke Batavia sebelum dikapalkan ke Suriname.

 

Menurut beberapa referensi, Belanda memang acak membawa orang dari tanah jajahannya ke Suriname. Terkadang bisa mengambil orang di pasar, menangkap di jalanan atau diambil saat dijumpai di desanya. Tak heran jika seringkali bukan pasangan suami istri dan bisa hanya seorang diri dari desanya yang dibawa seperti Soekiah, bahkan ada seorang Ibu yang dibawa dengan anaknya yang masih balita tanpa suaminya.

 

Ada pula sih yang mendaftar resmi atau minggat ikut Belanda gara-gara urusan asmara... wkwk. Seperti kisah Setoe Sadiwirja dari Ploemoetan yang bisa dibaca di link berikut.

 

Sebagian besar yang dibawa Belanda berasal dari kalangan rakyat jelata. Jadi, mereka tak banyak upaya untuk mencari keluarganya yang dibawa Belanda. Biasanya sudah pasrah dan tahunya keluarganya itu dipekerjakan di Sumatera dan kalau tak pulang dianggap sudah meninggal.

 

Orang tua jaman dulu menyebut mereka  ‘digawa werek’. Sepertinya ini asal kata dari Bahasa Belanda, ‘werk’ yang artinya ‘bekerja’.

 

Imigran Belanda ke Suriname memang menjadi pekerja kontrak di perkebunan. Mereka didata lengkap data pribadi sampai ciri fisiknya disertai foto diri yang bernomor urut. Kemudian, mereka bekerja berdasarkan kontrak yang diperbaharui 5 tahunan. Gajinya 60 sen untuk pekerja pria dan 40 sen untuk pekerja perempuan. Setelah kontrak selesai, mereka diizinkan pulang ke Jawa. Jika ingin menetap, mereka diberi uang 100 gulden dan sepetak tanah.

 

Meski tak seburuk praktek perbudakan, kehidupan kuli kontrak juga mengenaskan. Pemerintah tak menyediakan sarana pendidikan. Mereka khawatir, jika mereka menjadi pandai, mereka keluar dari perkebunan dan bekerja di kota.

 

Angin perubahan bertiup saat Johannes Coenraad Kielstra, mantan wakil jaksa di Hindia Belanda menjadi Gubernur Suriname (1933-1944). Ia membuat kebijakan baru terhadap pekerja kontrak dan ingin membuat Suriname menjadi lebih berasa Asia.

 

Kielstra membuat kebijakan imigran yang datang tidak ditempatkan langsung di perkebunan, melainkan disiapkan desa-desa khusus. Di desa ini, para imigran, termasuk dari Jawa, berhak membuat aturan sipil sendiri dan mengembangkan budaya asli mereka.

 

Itulah mengapa budaya Jawa terus berkembang di Suriname hingga kini. Masyarakat Jawa pun eksis disana dan sampai menduduki jabatan strategis, bahkan, salah satu keturunan imigran dari Banyumas, Raymond Sapoen pernah menjadi kandidat presiden. Almarhum Lord Didi Kempot sangat tenar dan rutin manggung di sana, bahkan, Ia menggubah satu lagu tentang salah satu tempat disana berjudul Kangen Nickerie.

 

Berdasarkan data Contractarbeiders Uit Java 1890-1930 di National Archief, jumlah imigran dari Jawa mencapai 33 ribu orang. Banyak yang meninggal karena kerasnya hidup di perkebunan. Kemudian, ada 7.684 orang dikembalikan, itupun sebagian besar tidak ke Jawa, namun ditempatkan di Sumatera.

 

Saat ini, berdasarkan data wikipedia, populasi keturunan Jawa di Suriname sekitar 8,5 persen dari total penduduk. Jumlahnya sekitar 40 ribu orang. Seperti yang sudah saya tulis sebelumnya, terdata di Nationaal Archief ada 565 orang dari Gewest (wilayah) Banjoemas, Afdeling (Kabupaten) Poerbolinggo yang dibawa ke Suriname.

 

Keluarga Stephanie sampai saat ini juga masih menjalankan kebudayaan Jawa. Ia sangat bangga dengan nama keluarganya, Kramawitana dan keturunan Jawa disana memang selalu menyematkan nama keluarganya. Stephanie juga bisa berbahasa Jawa.

 

Epilog

Tangkapan Layar Vidcall (Dok : Penulis/Igo Saputra)
Selasa, 05 Januari 2021, sekitar 17.30 WIB atau 07.30 Waktu Suriname, saya mengkontak Stephanie untuk melakukan video call dengan Ibu Kawini. Dua insan manusia yang masih keluarga namun terpisah dan berjarak ribuan kilometer akhirnya bersua meski lewat dunia maya. Stephanie yang baru bangun tidur berada di Bigipan Adventure, Nickerie, Suriname. Ibu Kawini di Dusun Depok, Desa Kedungwuluh, Kalimanah, Purbalingga, Jawa Tengah.

 

Mereka kangen-kangenan meski hanya lewat video yang sinyalnya kadang tersendat. Ada rasa haru yang membuncah. Mereka menangis. ‘Balung pisah’ akhirnya tersambungkan.

 

Setelah bolak-balik reconecting, Stephanie mengakhiri dengan WA begini.

 

[5:57 PM, 1/5/2021] Stephanie Kramawitana: I’m so glad

[5:58 PM, 1/5/2021] Stephanie Kramawitana: When I have an off money

[5:58 PM, 1/5/2021] Stephanie Kramawitana: Tell them, I will see them

[5:59 PM, 1/5/2021] Stephanie Kramawitana: I’m so glad to see them and to know them

[5:59 PM, 1/5/2021] Stephanie Kramawitana: In my heart ️ I cry. Because is an surprise for me

[6:00 PM, 1/5/2021] Stephanie Kramawitana: I wil tell my father

 

Hmmh, saya jadi ikut terharu. Semoga mereka memang benar 'balung pisah' yang bertemu kembali. Semoga diberi kesehatan dan kelancaran rezeki ya Mbak Stephanie sehingga bisa berkunjung ke Purbalingga.

 

Ahai... serrr...

 

Catatan :

Rujukan tulisan dari Nationaal Archief, artikel tirto.id tentang pekerja kontrak di Suriname dan Wikipedia. Maturnuwun Bro Tembong, Mas Agus Sukoco, Pak Muslih, Pak Hudi, Bro Torik Bawazier di Amsterdam juga Mas Arie Grobbe yang banyak melajak jejak imigran Jawa di Suriname.

igo saputra Orang yang suka berkhayal dan berusaha membuatnya menjadi kenyataan. Jangan berhenti berimaji..

0 Response to "Mempertemukan ‘Balung Pisah’ Keturunan Kramawitana, Purbalingga – Suriname"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel