Menguak Tabir Misteri Mesir di Purbalingga, Sebuah Kadipaten Yang Hilang

Benteng Mesir (Dok : National Arsip Belanda)
Arsip peta kuno yang tersimpan di koleksi digital National Arsip Belanda sungguh menarik perhatianku, sebab peta itu membuka selapis tabir misteri sebuah wilayah yang pernah eksis di Purbalingga pada abad ke 16-17, yaitu, Kadipaten Mesir. Peta ber-tone sephia itu bertajuk Plattegrond in Vogelvlucht van de Vesting Missier, artinya menurut google translate ‘Peta dari Pandangan Mata Burung tentang Benteng Mesir’. Sederhananya : Peta Benteng Mesir Tampak dari Atas.

 

Ada keterangan peta di sisi kanan yang menunjukkan judul dan tarikh 16 Desember 1681 yang merupakan waktu di mana Benteng Mesir itu di bawah penguasaan seorang komandan pasukan bernama Couper. Kemudian, ada keterangan tambahan dari point A sampai M.

 

Saya mencoba mengartikan keterangan itu dengan bantuan Mbah Google, namun kesulitan, sebab Bahasa Belanda abad 16-17 ternyata berbeda dengan bahasa sekarang. Alhamdulilah, ada pencerahan, seorang teman SMA yang merantau ke Belanda pulang kampung. Ia juga tertarik tentang sejarah sehingga dengan sukarela membantu.

Diskusi Mengenai Peta Benteng Mesir di Rumah Kepala Desa Onje (Dok : Okta Prihastono)
Setelah kami coba terjemahkan, intinya dari keterangan peta lawas tersebut adalah sebagai berikut :

Pertama, menjelaskan tentang spesifikasi dari Benteng Kadipaten Mesir. Benteng itu  terdiri dari dua lapis, kesatu disebut Pager Banowatty memiliki panjang 1021 roeden dengan gerbangnya sepanjang 189 roeden. (1 roeden = 3,367 meter). Lapis kedua adalah Benteng Majapahit dengan tinggi 13 kaki. Untuk mencapainya harus melewati jembatan kayu besar-besar di atas Sungai Klawing selebar 18 roeden. Benteng Mesir digambarkan sangat kuat dengan komponen utama balok-balok kayu besar, di dalamnya ada pemukiman, kandang kuda dan gudang perbekalan.

 

Kedua, mengenai peristiwa yang terjadi, yaitu sebuah penyerangan Kadipaten Mesir oleh pasukan gabungan yang terdiri, pasukan orang-orang eropa (VOC) dan tentara Jawa (Mataram). Tokoh-tokoh yang terlibat, selain Komandan Couper sebagai pemimpin tertinggi penyerangan, ada pemimpin Pasukan Jawa bernama Soewanata. Orang nomor 1 di Mesir dipanggil dengan sebutan Raja Namrod.

 

Ketiga, ada nama-nama tempat. Selain Banowatty dan Madjapahit, ada Bukit Onje Luhur, Selinga dan Tambakbaja.

 

Kemudian, ada konklusi bahwa jalannya penyerangan tersebut dimenangkan oleh pasukan gabungan VOC - Mataram. Kadipaten Mesir dibumihanguskan yang ditandai dengan keterangan tempat di mana Namrod dibunuh dan kemudian dibakar berserta rumah dan bentengnya.

 

Mencari Mesir yang Hilang

 

Berdasarkan keterangan dari peta itu, saya mencoba menyusuri sejarah Kadipaten Mesir. Sebagai awal, saya telusur nama-nama tempat yang ada di dalam peta. Missier atau Mesir, sekarang menjadi nama pedukuhan di Desa Onje, Kecamatan Mrebet, Banowati juga. Majapahit, kini juga nama pedukuhan di Desa Karangturi, dekat Onje. Selinga / Slinga merupakan yang masuk Kecamatan Kaligondang dan Tambakbaya nama padukuhan di Desa Patemon, juga sekitar Onje. Sungai yang mengalir jelas disebut Clawing atau Klawing yang sampai saat ini masih membelah Dukuh Banowati dan Mesir.

Perbandingan Foto Google Map (2021) dan Peta Benteng Mesir (Dok. Penulis)
Berikutnya, saya mencari referensi pustaka, sayangnya hasilnya kurang memuaskan, tidak ada babad, buku atau kajian komprehensif tentang kadipaten itu. Secercah informasi dari tulisan Pak Toto Endargo dan jurnal Prof Sugeng tentang tabu nikah di Purbalingga dan Banyumas yang menyitir sedikit tentang Kadipaten Mesir dengan Raja Namrud-nya.

 

Lalu, saya berkunjung langsung ke Pedukuhan Mesir yang dari pusat Desa Onje ke arah timur, menyeberang Sungai Klawing. Dukuh itu masih asri, sedikit terpencil. Mobil tak bisa melewati jembatan penyebrangan dari Duku Banowati sehingga saya ngojek penduduk setempat.

 

Saya berbincang dengan tokoh masyarakat, juga sesepuh setempat. Namun, mereka justru awam tentang Kadipaten Mesir. Informasi yang disampaikan centang perenang. Ada dugaan lokasi bekas pusat pemerintahan yang bisa jadi di situlah Kadipaten Mesir, naasnya peninggalannya justru dirusak oleh oknum orang luar Purbalingga. 

Jembatan Penyeberangan Menuju Dukuh Mesir (Dok. Okta Prihastono)
Jadi, mencari Mesir yang hilang adalah perkara yang cukup pelik namun unik. Kenapa? Dari nama kadipatennya saja unik. Kok bisa sebuah negara tempat hidup Nabi Musa dan Firaun yang terletak di tepi Laut Merah serta terkenal dengan Piramida-nya itu menjadi sebuah nama kadipaten di Purbalingga? Lalu, pimpinan tertingginya atau adipatinya bergelar Raja Namrud! Iya, Namrud, seorang raja dari jazirah arab yang dikisahkan dalam Al Quran adalah ‘Raja Sombong nan Lalim’ yang tidak mau menerima wahyu yang dibawa Nabi Ibrahim sehingga diazab oleh Allah. Unik lagi kaaan?

 

Saya mencoba menautkan benang merah yang kusut antara Mesir, Namrud dan Peta Kuno Itu dengan referensi yang terbatas dan cerita-cerita terserak yang terhimpun.

 

Berdasarkan cerita dari tulisan Pak Toto Endargo di blog pribadinya yang berjudul ‘Kadipaten Mesir di Onje’ (26 April 2017), artikel Prof. Sugeng Priyadi dalam Jurnal Humaniora Edisi 2 Juni 2006 berjudul ‘Konflik Sosial Tabu Nikah pada Masyarakat di Pedesaan Purbalingga dan Banyumas’  serta cerita masyatakat setempat, saya  mengintisarikan kisah Kadipaten Mesir.

 

Kadipaten itu masih berhubungan erat dengan Kadipaten Onje. Babad Purbalingga mencatat Raja Namrut (memang pakai t ) merupakan cucu dari Adipati Anyakrapati. Adipati Onje II itu merupakan anak kandung Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) yang dititipkan kepada Ki Tepus Rumput, pendiri Kadipaten Onje.

 

Alkisah, Adipati Onje II Anyakrapati memiliki dua orang istri. Pertama adalah Dewi Pakuwati, putri Adipati Cipaku yang menurunkan dua putra dan satu putri, yaitu, Raden Mangunjaya, Raden Cakrakesuma dan Rara Banawati. Sebagai putra-putri adipati maka ketiganya diberi wilayah dan tempat tinggal di Kadipaten Onje. Nama mereka diabadikan sebagai nama desa dan pedukuhan di sekitar Onje.

 

Istri kedua bernama Dewi Kelingwati, putri Adipati Pasirluhur, sebuah kadipaten dengan wilayah cukup luas yang eksis sejak era Kesultanan Demak. Dewi Kelingwati dikaruniai dua orang anak perempuan yaitu Rara Kuningwati dan Rara Surtikanti.

 

Rara Kuningwati dinikahkan dengan Ngabdullah Syarif seorang ulama mumpuni, pengelola dan pengurus serta Imam Besar Masjid Onje. Setelah memperistri putri Adipati Onje, Ngabdullah Syarif diberi gelar sebagai Raden Sayyid Kuning. Saat ini, masjid tertua di Onje diberi nama Masjid Sayyid Kuning.

Masjid Sayyid Kuding di Onje (Dok, Penulis)
Sementara, Rara Surtikanti sejak kecil akrab dengan dalang kesayangan Adipati Anyakrapati yang benama Ki Lebdakandhah. Dalang ini lebih mahir memainkan wayang golek dibandingkan memainkan wayang kulit, maka Ki Lebdakandhah lebih terkenal sebagai dalang wayang golek. Ki Lebdakandhah dan keluarganya dibuatkan rumah, diberi fasilitas wayang, gending, dan kebutuhan yang lain. Kini bekas mukim sang dalang dikenal dengan nama Dukuh Pedalangan.

Mushola Nurul Iman di Dusun Pedalangan, Onje (Dok. Penulis)
Ketika ada peristiwa tragis di Kadipaten Onje, yaitu terbunuhnya kedua istri Adipati Anyakrapati oleh Sang Adipati sendiri, usia Rara Surtikanti waktu itu sekitar 6 tahun. (versi Prof. Sugeng 4 tahun). Kepergian ibunya pun menjadikan Surti seakan kehilangan kedua orang tuanya. Ia pun semakin lengket dengan Ki Dalang Lebdakandhah sampai diangkat menjadi anak. Surti kerap ikut pentas sehingga belajar kesenian wayang dan mahir menjadi pesinden.

 

Saat Rara Surtikanti menginjak remaja dewasa, umurnya menginjak 17 tahun, Ia diajak ayah angkatnya ikut pentas wayang sampai di Kadipaten Tegal. Singkat kata, Adipati Tegal terpikat dengan kecantikan sang Putri Onje ini yang menyaksikannya saat menyinden. Rara Surtikanti pun dipersunting dan menjadi istri Adipati Tegal. Pernikahan mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Raden Nur Alim. (Raden Nur Alim ada di tulisan versi Pak Toto, sementara Prof Sugeng mengutip Babad Purbalingga hanya menyebut Raja Namrut)

 

Nur Alim tumbuh di bawah bimbingan ibunya yang berbudi pekerti luhur serta mencintai kesenian dan ayahnya yang dikenal taat beragama. Ia mendapat cerita-cerita dari kisah para nabi dan pengetahuan mengenai negara-negara asalnya seperti Arab, NgeRuum (Turki), Persia (Iran) juga Mesir.

 

Setelah dewasa Nur Alim rupanya terpanggil untuk mengunjungi nenek moyangnya di Onje. Ketika sampai di Onje, buyut dan kakeknya sudah meninggal dunia. Kadipaten Onje sudah ‘silep’ dan ‘suwung’. Setelah ditinggal Adipati Anyakrapati (kakeknya) Onje telah surut. Raden Nur Alim tergerak untuk menghidupkan kembali tanah leluhurnya. Namun, Ia tidak mau meneruskan pemerintahan Kadipaten Onje yang sudah dinodai oleh peristiwa pembunuhan terhadap neneknya itu. Akhirnya, Ia membangun pusat kadipaten baru di sebelah timur Sungai Klawing yang diberi nama Kadipaten Mesir. Nama itu terinspirasi dari nama negara besar yang sering didengar dari kisah ayahnya.

 

Singkat kata, Mesir pun tumbuh dan berkembang menjadi kadipaten yang cukup disegani, bahkan sampai disebut dengan ‘Negeri Mesir’. Konon, orang-orang berpengaruh di sekitar kawasan Gunung Slamet banyak yang berhimpun di Mesir. Raden Nur Alim pun membangun benteng yang cukup kokoh untuk melindungi wilayahnya. Pada sebelah barat, bentengnya dikelilingi parit yang cukup dalam, juga ada pertahanan alami berupa Sungai Klawing. Sebelah timur Negeri Mesir terdapat bentang alam berupa pegunungan sebagai benteng pengamatan dan pertahanan yang disebut sebagai Pager Gunung.

 

Munculnya Julukan Namrud

 

Saat itu, kekuasaan di Jawa sudah berganti dari Pajang ke Mataram. Berdasarkan silsilah di atas Nur Alim adalah cucu buyut dari Sultan Pajang Hadiwijaya alias Jaka Tingkir. Hadiwijaya sebagaimana diketahui dikalahkan oleh Danang Sutawijaya sehingga Kesultanan Pajang berakhir dan berganti menjadi Mataram.

 

(Kisah pendirian Kadipaten Onje oleh Ki Tepus Rumput dan kaitannya dengan Jaka Tingkir termaktub dalam Babad Onje yang bisa dibaca dalam tulisan saya sebelumnya atau novel saya Lembayung di Langit Onje).

 

Sebagai buyut Hadiwijaya yang dikalahkan oleh pendiri Mataram, tentu Nur Alim memiliki keengganan terhadap para penerus Mataram. Oleh karena itu, Ia memberontak terhadap kekuasaan mataram. Apalagi saat itu, Mataram dipimpin oleh Susuhunan Amangkurat II (Amangkurat Amral) yang dikenal dekat dengan VOC dan kurang suka terhadap ulama.

 

Pak Toto menyebutkan dalam tulisannya munculnya nama Namrud berdasarkan penolakan Nur Alim atas permintaan utusan dari Mataram untuk menghadap ke Susuhunan Amangkurat selaku penguasa tertinggi di Tanah Jawa saat itu. Nur Alim merasa terhina dan berniat memberontak. Sifat sombong dan suka marah meluap seketika. Ia tidak ingin tunduk kepada Raja Mataram. Namun beruntung, atas saran dan bujukan dari para kerabatnya, yang berpendapat bahwa Mataram adalah negara yang sangat kuat dan besar, maka Ia pun urung memberontak. Ia pun pada akhirnya tunduk terhadap kekuasaan Mataram namun terlanjur diberi julukan olok-olok 'Raja Namrut' karena kesombongannya.

 

Jadi, Namrud adalah julukan bernada ejekan yang diberikan Susuhunan Amangkurat II terhadap Nur Alim karena dianggap jumawa dengan tidak mau tunduk terhadap Mataram.

 

Ada juga keterangan dari Prof. Sugeng berdasarkan Babad Tanah Jawi yang diterjemahkan De Graaf bahwa Namrud adalah pemimpin Laskar Makasar yang tersingkir sampai ke wilayah Banyumas. Ia akhirnya mendirikan benteng di sekitar wilayah Kadipaten Onje yang disebut dengan Benteng Slinga, bukan Benteng Mesir.

 

Namun, kedua versi-versi ini tidak sejalan dengan keterangan pada peta Benteng Mesir yang menyebutkan kadipaten itu diserang habis-habisan oleh gabungan tentara Eropa dan Mataram pada 16 Desember 1681. Peta itu saya angap bukti  yang lebih otentik dan cukup lengkap.

 

Oleh karena itu, saya menganalisis sendiri dan menyimpulkan bahwa pemberontakan Nur Alim terhadap Mataram adalah benar adanya. Ia dianggap sombong dan tidak mau tunduk terhadap Susuhunan Amangkurat II sehingga dijuluki Raja Namrud dan VOC pun menulisnya Raja Namrod, bukan Nur Alim.

 

(Circa 16 Desember 1681 pada peta kuno tersebut sesuai dengan masa kekuasaan Amangkurat II yaitu pada 1677 s/d 1703)

 

Mesir pun dibumihanguskan dan Nur Alim alias Raja Namrud dibunuh, lalu jasadnya dibakar. Benteng Mesir yang kokoh pun menjadi arang. Ini sejalan dengan keterangan sesepuh Mesir yang menyebutkan dulu masih ada temuan kayu-kayu gelondongan yang sudah berubah menjadi arang.

 

Aksi Komandan Couper dan Tumenggung Suwanata beserta bala tentaranya mengakhiri kisah Kadipaten Mesir sehingga hilang dari peradaban. Saya menduga selain bumi hangus juga terjadi pembantaian seluruh keturunan dan pengikut Nur Alim. Oleh karenanya, Mesir menjadi 'kadipaten yang hilang' bahkan dibenak orang-orang yang saat ini tinggal di dukuh mungil yang ada di Desa Onje itu.

 

Ada cerita menarik namun tragis dari para sesepuh Mesir dan Onje yang bisa jadi terkait dengan penyerangan Mesir. Selain Banowati, Majapahit, Slinga, Tambakbaya dan Onje, ada pedukuhan bernama Pejajaran dan Limbuk yang ada di tak jauh dari Mesir. Menurut para sesepuh, Pejajaran ini berasal dari kata ‘Pejah Jaran’ (Pejah = Mati, Jaran = Kuda), tempat kuda-kuda terbunuh. Kemudian Limbuk berasal dari kata ‘Peli Ngumbuk’ (Peli = Penis, Ngumbuk = terkumpul/bertumpuk), tempat penis bertumpuk-tumpuk.

 

Kedua tempat itu sampai sekarang dikenal ada tempat yang angker. Saya menduga, hal itu ada kaitan dengan pembantaian yang terjadi di Mesir di mana kuda-kuda mati bertumbangan dan para prajurit Mesir pengikut Nur Alim dibunuh dan dikumpulkan menjadi satu.

 

Ah, agak pilu menceritakan sebuah tragedi yang sampai hampir menghilangkan sejarah sebuah wilayah yang pernah eksis dan cukup berpengaruh di Purbalingga itu. Saya berdoa, semoga ada yang peduli dan dilanjutkan dengan kajian komprehensif mengenai kadipaten itu. Peta kuno yang saya gambarkan di awal itu bisa menjadi cucuk lampah dalam upaya menyingkap tabir misteri Kadipaten Mesir.

 

Jarang sekali lho ditemukan peta dengan keterangan yang cukup lengkap beserta tanggal kejadiannya. Wilayah yang lebih dikenal seperti Kadipaten Onje, Wirasaba atau yang jauh lebih muda, Kadipaten Purbalingga pun tidak memiliki peta seperti itu.

 

Salam Historia Perwira. 

Gerbang Majapahitan Menuju Situs yang Diduga Pusat Kadipaten Mesir (Dok. Pribadi)
Sumber :

1.    Peta Benteng Mesir di koleksi digital Nationaal Archief, Belanda

2.    Tulisan Pak Toto Endargo di blog pribadinya yang berjudul ‘Kadipaten Mesir di Onje’ (26 April 2017),

3.    Jurnal Prof. Sugeng Priyadi dalam Humaniora Edisi 2 Juni 2006 berjudul ‘Konflik Sosial Tabu Nikah pada Masyarakat di Pedesaan Purbalingga dan Banyumas’ (Halaman 165-177)

4.    Keterangan mengenai ukuran panjang roede di situs berikut https://nl.wikipedia.org/wiki/Roede_(lengtemaat)

5.    keterangan mengenai Susuhunan Amangkurat II pada wikipedia di link berikut https://id.wikipedia.org/wiki/Amangkurat_II

 

Terimakasih kepada Bro Torik Juned Bawazier yang membantu menerjemahkan, Okta Prihastono yang menemani jalan-jalan juga masyarakat Desa Onje (Pak Kades Mugi Ari Purwono dan Bu Kades, Kyai Khiyarudin, Ki Sanurji, Ki Madroji, Pak Turofik, Bro Alal dan lainnya)

 

NB : Mohon jika ada yang ada yang mau mengutip atau membuat narasi konten video dari tulisan ini disebutkan sumbernya ya. Terimakasih


 

igo saputra Orang yang suka berkhayal dan berusaha membuatnya menjadi kenyataan. Jangan berhenti berimaji..

1 Response to " Menguak Tabir Misteri Mesir di Purbalingga, Sebuah Kadipaten Yang Hilang"

jos gandos said...

blog yang mantap mas igo... bahas yang ini juga mas https://jurnalarkeologi.kemdikbud.go.id/index.php/kalpataru/article/view/781/618

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel