Kabut Misteri Wong Alas Carang Lembayung di Purbalingga

Hutan Purbalingga
Koridor Hutan Siregol, Purbalingga (Dok : Pribadi)
Ada sebuah komunitas masyarakat atau suku misterius yang ditengarai ada di pedalaman hutan Purbalingga. Mereka dikenal sebagai Wong Alas Carang Lembayung atau Suku Pijajaran yang kisahnya turun temurun beredar di kalangan masyarakat sepanjang koridor pegunungan sebelah utara Purbalingga.

Pegunungan yang jika di google map tampak seperti ‘Sisik Naga’ itu membentang dari Desa Gunung Wuled, Panusupan, Tanalum di Kecamatan Rembang. Kemudian ke Desa Sirau dan Kramat di Desa Tunjungmuli di Kecamatan Karangmoncol, lalu di Desa Jingkang, Kecamatan Karangjambu, Desa Gondang, Kecamatan Karangreja hingga perbatasan dengan Desa Watukumpul yang masuk wilayah Kabupaten Pemalang.
Jika dilihat sekilas koridor hutan itu tampak seperti Sisik Naga (Google Map)
Ada beberapa versi kisah suku tersebut yang berkelindan antara fakta, legenda (folklore), mistis dan mitos sehingga keberadaan Wong Alas tersebut masih menjadi misteri hingga sekarang. Keberadaan mereka pun mengundang penasaran. Apakah hanya sekedar mitos berbalut mistis belaka atau fakta yang benar adanya?

Kami pernah menggelar diskusi yang mencoba menyibak kabut misteri Wong Alas sekira dua tahun lalu di Aula Kedai Kebun (Kafe yang saya kelola dan kini sudah pindah jadi Kedai Pojok di Taman Kota yaa.. hehe).  Saat itu, berbagai elemen masyarakat, seperti, pecinta alam, budayawan, akademisi, birokrasi, pemerhati dan masyarakat lainya berbagi pengalaman, testimoni dan pengetahuan untuk mengupas keberadaan Suku Pijajaran itu.

Kisah yang umum beredar, asal muasal legenda Suku Pijajaran tak bisa lepas dari seorang tokoh bernama Syekh Jambu Karang. Ia adalah bangsawan dari Kerajaan Pajajaran bernama asli Raden Mundingwangi yang memilih untuk pergi dar kerajaanya lalu sampai ke wilayah Pegunungan Ardi  Lawet. Rombongan mereka bertemu dengan Syekh Atas Angin, seorang penyebar agama Islam.

Singkat kata, pertemuan kedua orang yang dikenal linuwih itu kemudian memantik adu ilmu kesaktian. Raden Mundingwangi kalah dan menyatakan diri masuk Islam serta berganti nama menjadi Syech Jambu karang. 

Namun, ada sebagian rombonganya yang tidak mau mengikuti keyakinan baru pimpinannya itu dan memilih untuk tetap menetap di hutan belantara. Inilah yang konon menjadi Suku Pijajaran atau Wong Alas tersebut.

Saat ini, petilasan Syekh Jambu Karang ada di Desa Panusupan, Kecamatan Rembang dan menjadi salah satu obyek wisata religius yang banyak dikunjungi peziarah. Namanya juga diabadikan menjadi salah satu nama jalan utama di sekitar alun-alun Purbalingga. Sementara, Makam Syekh Atas Angin juga ada di Desa Gunung Wuled, Kecamatan Rembang.
Suasana Diskusi Menyingkap Misteri Wong Alas, 19 November 2017 (Dok : Pribadi)
Berlatar cerita tersebut, masyarakat di sekitar pegunungan Ardi Lawet banyak yang meyakini keberadaan mereka hingga kini. Namun, mereka dinilai bukanlah manusia biasa seperti kita, melainkan manusia yang memiliki kelebihan khusus. "Suku Pijajaran disebut manusia setengah harimau dan memiliki berbagai kemampuan supranatural sehingga masyarakat menghormatinya dan enggan untuk bersentuhan dengan mereka. Saya meyakini mereka itu ada, akan tetapi tidak seperti kita," kata pemerhati Sejarah Purbalingga, Catur Purnawan.

Ciri fisik Suku Pijajaran, keta Catur, seperti manusia biasa. Hanya saja mereka tidak memiliki tumit atau cenderung berjalan jinjit dan tidak memiliki 'gumun' alias lekukan dibawah hidung.

Catur, yang leluhurnya berasal dari Desa Jingkang, Kecamatan Karangjambu juga mengaku sudah pernah berada di perkampungan Wong Alas. "Saya pernah berada di kampung mereka tetapi kemudian setelah keluar berubah menjadi hutan belantara lagi, "katanya.

Perjumpaan dengan Wong Alas
Faiz, warga Desa Kramat, Kecamatan Karangmoncol masih ingat betul kejadian sekitar setengah dasawarsa silam. Ia dan rekanya pernah dicegat orang yang tidak dikenal saat melintasi hutan. Mereka meminta seekor ayam yang dibawanya. "Kami sampai rebutan ayam dengan mereka," katanya.

Rombongan orang tersebut, kata Faiz, memiliki ciri-ciri yang sama dengan manusia biasa hanya berpakaian seadanya dan tidak banyak bicara.

Beberapa waktu kemudian, Ia bertemu dengan mereka tiga tahun kemudian di desa dan sesepuh desa menyebut mereka sebagai Wong Alas. "Jadi, dua kali saya bertemu dengan mereka, menurut sesepuh desa mereka Wong Alas dan dipimpin oleh seseorang bernama Cawing Tali," katanya.

Kris Hartoyo Yahya, politisi, tokoh masyarakat Tionghoa yang juga aktivis lingkungan juga tak bisa melupakan kejadian tahun 1999. Saat itu, Ia baru saja pulang seusai melakukan kegiatan politik di Desa Sirau dan sekitarnya. Nahas, waktu sudah tengah malam, mobilnya mogok ditengah jalan.

"Akses jalan dari dan ke Sirau tahun itu masih sangat jelek, mobil saya 4 WD mogok ditengah jalan. Tiba-tiba ada serombongan orang yang menolong untuk mendorong mobil saya. Setelah lepas dari jalan dan mobil bisa dihidupkan kembali, mereka pergi begitu saja," katanya.

Ia tidak yakin bahwa mereka adalah warga sekitar. "Saat itu sudah jauh dari perkampungan, saya rasa mereka bukan warga sekitar. Komunikasi yang terjadi antara kita juga minim. Mereka membantu tanpa pamrih. Saya ucapkan maturnuwun, mereka membalas sekedarnya lalu pergi begitu saja," katanya.

Lalu, Apakah mereka wong Alas? "Saya tidak begitu memperhatikan, namun saya rasa bukan warga sekitar," ujar pria yang lebih dikenal dengan panggilan Kris Hauw.
siregol
Papan Peringatan yang Dipasang di Hutan Siregol (Dok : Pribadi)
Taufik Katamso, sesepuh Perhimpunan Pecinta Alam (PPA) Gasda yang sejak 1998 telah mengumpulkan berbagai macam informasi mengenai keberadaan mereka mengungkapkan memang banyak laporan mengenai perjumpaan dengan Wong Alas. Penduduk Dusun Karanggintung, Desa Panusupan seringkali kedatangan tamu mereka. "Biasanya mereka datang untuk meminta makan atau rokok," katanya.

Wong Alas, kata dia, tidak mengenal kulonuwun (permisi) sehingga akan masuk jika ada rumah warga yang pintunya terbuka. "Ini yang sering kali mengangetkan penduduk, mereka tiba-tiba ada di rumah," katanya. Bahkan, ada cerita salah satu Wong Alas perempuan yang masuk ke rumah, menggendong balita berumur 2 tahunan yang ditinggal ibunya ke dapur. Wong Alas tersebut akhirnya diterima oleh tuan rumah dan menjadi pengasuh balita itu meskipun hanya selama dua minggu.

Kemudian, Ia juga menceritakan Wong Alas sudah mulai memenuhi kebutuhan di luar kebutuhan primernya melalui barter dengan warga sekitar. "Ada serombongan Wong Alas yang menjual kain belacu dan lalu membeli sabun cuci. Ketika ditanya untuk apa, mereka menjawab untuk mencuci rambut," katanya.

Taufik juga menambahkan ada Wong Alas remaja bernama Gimin yang sempat menjadi tukang cuci piring di warung warga sekitar untuk sekedar mendapatkan makan.

Pada diskusi itu, Taufik juga menceritakan ada perjumpaan warga dengan anak-anak yang diduga Wong Alas. Ada cerita warga pencari sarang semut yang bertemu dengan anak-anak yang tengah mencari laba laba air dan kepiting di sungai kecil di tengah hutan. "ketika dipanggil mereka lari dan masuk ke dalam hutan. Warga meyakini mereka bukanlah anak-anak dari desa sekitar," katanya.

Dengan berbagai cerita perjumpaan tersebut, Taufik meyakini bahwa mereka merupakan kelompok masyarakat yang tinggal di pedalaman hutan Purbalingga. Mereka memenuhi struktur masyarakat karena terdiri atas laki-laki, perempuan dan ada juga yang masih remaja, bahkan anak-anak.

Mereka juga hidup berkelompok, Ia mengidentifikasi setidaknya ada 2 kelompok Wong Alas yang ada di pedalaman hutan Purbalingga. Pertama, Kelompok pimpinan Cawing Tali dan Minarji seperti yang dijumpai oleh Faiz dan satu lagi Kelompok San Klonang.

Masyarakat sekitar hutan juga seringkali berinteraksi dengan mereka. Akan tetapi, masyarakat menaruh hormat dan enggan untuk memberikan informasi kepada khalayak luas karena takut akan hal-hal mistis dan mitos yang menyelimuti mereka. "Masyarakat khawatir mereka terganggu dan terkena malapetaka jika mereka marah, sehingga enggan membagi informasi tentang mereka," katanya.

Suatu ketika, di Dusun Tundagan, Desa Watukupul pernah ada salah satu Wong Alas perempuan yang meninggal akibat makan umpan beracun untuk babi hutan. Pimpinan mereka yang dikenal dengan nama San Klonang kemudian marah dan mengancam warga. Esoknya, 35 ekor kambing milik warga ditemukan mati. "Hal seperti inilah yang mereka hindari sehingga enggan untuk bercerita mengenai Wong Alas, masyarakat tidak mau merusak harmoni dengan mereka," katanya.
hutan
Salam Lestari (Dok : Pribadi)
Komentar saya pada diskusi itu saya ambilkan dari liputan media saja ya, yang menulis artikel tentang diskusi itu, salah duanya di liputan6 dan kompasiana seperti ini :

Gunanto Eko Saputro, lulusan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor juga menilai jika Wong Alas alias Suku Pijajaran alias Suku Carang Lembayung kemungkinan besar merupakan masyarakat yang tinggal di pedalaman hutan Purbalingga. "Jika mencermati ciri-ciri, perjumpaan dan interaksi yang terjadi dengan masyarakat sekitar hutan, kemungkinan besar mereka memang komunitas yang tinggal di pedalaman hutan Purbalingga," katanya.

Pria yang menyelesaikan master di Magister Ilmu Lingkungan, Universitas Jenderal Soedirman itu menilai berbagai informasi dan testimoni masyarakat menunjukan bahwa mereka manusia biasa. "Ada yang sampai 'magang' menjadi tukang cuci piring, mengasuh balita dan membeli sabun cuci untuk mencuci rambut, saya pikir ini aktivitas manusia biasa, bukan manusia jadi-jadian atau jin," katanya.

Hutan Koridor Siregol yang diduga menjadi hunian mereka juga masih relatif terjaga. Perbukitan tersebut yang sering disebut sebagai Amazon-nya Purbalingga itu memiliki hutan yang masih alami dengan berbagai tebing curam yang jarang dijamah manusia. "Bisa jadi mereka tinggal dikawasan tersebut, mungkin masih ada tempat tersembunyi atau gua yang bisa menjadi tempat tinggal mereka," katanya.

Lebih lanjut, Gunanto menilai asal muasal Suku Pijajaran mirip dengan Suku Baduy dan Kasepuhan yang ada di pegunungan Kendeng dan Halimun Jawa Barat. "Asalnya kok ya kebetulan sama, dari kerajaan Pajajaran yang menyingkir dan kemudian menjadi komunitas di pedalaman hutan," kata Gunanto yang pernah meneliti Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug di Pegunungan Haimun untuk skripsinya.

Oleh karena itu, kata dia, menjadi bukan kebetulan jika banyak nama tempat 'berbau' Sunda disekitar Ardi Lawet yang diduga menjadi wilayah Suku Pijajaran. Ada Sungai Kahuripan (kehidupan), Sungai Ideng atau Hideung (Hitam) dan Gunung Cahyana (cahaya), Dukuh Tundagan (menunda).

Ekspedisi
Untuk menyingkap berbagai misteri tersebut, Camar Rembang Suroto yang ikut hadir dalam diskusi tersebut mengusulkan ekspedisi atau penelitian secara komprehensif melibatkan berbagai stakeholder. "Selama ini belum ada bukti otentik mengenai keberadan mereka, saya pikir jawabannya harus dengan ekspedisi," katanya.

Menurutnya, dalam ekspedisi tersebut harus ada antropolog, arkeolog, sejarawan dan juga ahli lainya yang terkait serta tak lupa ahli yang mengetahui kehidupan metafisik agar kabut keberadaan Suku Pijajaran bisa tersingkap.

Iqbal Fahmi, anggota PPA Gasda juga mendukung ekspedisi sebagai jawaban atas misteri Wong Alas. Namun, Iqbal menekankan pentingnya kehati-hatian dalam ekspedisi tersebut. "Kita harus mempersiapkan semuanya dengan baik dan setelah mereka diketahui, lalu apa?," katanya.

Dan, sampai sekarang, Wong Alas atau Suku Pijajaran alias Suku Carang Lembayung masih menjadi misteri.
purbalingga
Diskusi Konservasi di Desa Kramat, 29 Februari 2020 (Dok : Nano Banyumili)
Hmmh, menurut saya, ada atau tidak ada Wong Alas di Pegunungan ‘Sisik Naga’ Purbalingga yang terpenting adalah kelestarian alamnya yang harus dijaga. Koridor hutan tersebut merupakan benteng terakhir hutan alam yang masih terjaga di Bumi Perwira. Itulah yang saya sampaikan pada Diskusi Konservasi dengan pecinta alam di Desa Kramat (salah satu desa di koridor hutan tersebut) pada 29 Februari 2020 lalu.

Salam Lestari
Lestari Alamku, Lestari Hutanku, Lestari Indonesiaku.
igo saputra Orang yang suka berkhayal dan berusaha membuatnya menjadi kenyataan. Jangan berhenti berimaji..

0 Response to "Kabut Misteri Wong Alas Carang Lembayung di Purbalingga"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel