SURYA MEMERAH DI LANGIT PEPEDAN

Jumat Pon, 20 Oktober 1948

Satu regu pasukan republik dari Divisi Siliwangi tengah rehat di tepi sawah Grumbul Jetis, Desa Pepedan, Karangmoncol, Kabupaten Purbalingga. Para ‘Maung Siliwangi’ itu singgah di Purbalingga dalam perjalanan pulang ke kampung halamannya.

 

Mereka sudah lebih dari setahun bergerilya jauh dari tanah kelahirannya sebagai konsekuensi Perjanjian Renville 17 Januari 1947 : Jawa Barat yang dikuasai Belanda harus kosong dari tentara republik. Kesatuan setingkat batalyon pimpinan Mayor R.A Nasuhi ditugasi hijrah ke wilayah sekitar Gunung Slamet sampai Pegunungan Dieng, termasuk Purbalingga.


Belanda memang licik, perjanjian tak mereka tepati. Oleh karena itu, Panglima Besar Jenderal Soedirman dalam Perintah Siasat No.1 pada Mei 1948 memberikan maklumat Pasukan Siliwangi harus kembali bergerak ke Jawa Barat dan membangun kembali perlawanan total di sana. Perintah sambung menyambung itu baru diterima dan saat itu mereka tengah long march untuk bergerak pulang.

 

Usai Sholat Jumat, mereka melepas penat dan mengisi energi sebelum melanjutkan kembali perjalanan. Warga Pepedan menyambut baik mereka. Pasukan Republik itu pun dijamu. Beberapa tandan kelapa muda, ditemani cimplung dan mendoan diantar warga untuk mengobati lapar dan dahaga para tentara dari Tatar Sunda itu.

 

Belum selesai menikmati kudapan tiba-tiba terdengar raungan pesawat di langit Pepedan. Tak hanya satu, pesawat berikutnya menyusul. Pesawat temput itu bergambar ikan hiu dengan gerigi tajamnya, moncongnya dicat warna merah menyala. Sontak suasana rileks yang baru terbangun menjadi tegang.

 

Kapten Suhaebi, pimpinan pasukan, sigap menangkap tanda bahaya. Pesawat yang dikenal dengan sebutan ‘Cocor Merah’ itu jelas bukan milik pasukan republik. Lukisan bendera merah putih biru terlihat jelas di ekor pesawat. Rupanya gerak mereka tercium telik sandi Belanda dan pesawat tempur legendaris itu dikirim dari Bandara Wirasaba untuk menghadang mereka.

 

Segera diinstruksikan seluruh pasukannya untuk bersiap menghadapi kemungkinan terburuk yang menurut firasatnya akan segera terjadi. “Pasukan berlindung segera!!. Tiaraaap!!! Ada Cocor Merah Belandaa!!,” ujar sang kapten lantang bersaing dengan nyaringnya raungan pesawat. Rekannya, Kapten Soeparjo segera memberikan perintah serupa.

 

Belum juga instruksi mereka dijalankan sempurna. Senapan dari Cocor Merah sudah menyalak galak. Pasukannya dibuat panik bukan kepalang.

 

Mereka berlindung sekenanya. Ada yang tiarap di jalan, berlindung di balik pematang, berlari ke arah Kali Gasong yang mengalr tak jauh dari tempat mereka rehat atau di bawah pepohonan yang celakanya jarang juga tak bertajuk rindang karena di tengah areal persawahan.

 

Sepeminuman teh kemudian, pesawat tempur buatan Amerika Serikat yang bernama asli Mustang Kity Hawk P-40 itu sudah mendapatkan korban. Soeganda, prajurit muda berpangkat Serda menjadi korban pertama. Serma Muchi menyusul terterjang peluru saat berusaha berlindung di pematang sawah.

 

Medan tempur dadakan yang berada di tengah sawah yang minim perlindungan memang membuat Pasukan Siliwangi kesusahan untuk membangun pertahanan. Cocor Merah pun leluasa memuntahkan pelurunya mengincar pasukan republik yang berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan diri.

 

Kapten Suhaebi menginstruksikan pasukannya untuk membalas sebisa mungkin. Ia juga turut mengokang senapanya mengincar badan pesawat Cocor Merah. Namun, upaya mereka sia-sia. Pesawat tempur landa itu terlalu jauh dari jangkauan peluru yang keluar dari senapan rampasan Jepang, pun terbangnya secepat kilat.

 

Cocor Merah segera bermanuver dan kembali menyemburkan timah panas, menebar maut, mengail nyawa Pasukan Republik.

 

Lettu Mahmud yang berda tak jauh dari posisinya disaksikannya sudah berlumuran darah. Erangan kesakitan diikuti dengan menyebut nama besar Sang Maha Pencipta terdengar dari mulutnya. Jerit pilu dan kepanikan terdengar di mana-mana.

 

Lettu Rukiman, Letda Umar, Letda Bastomi, Letda Achmad dan Letda Karyadi terlihat berusaha keluar dari perlindungan untuk membalas tembakan dari Cocor Merah, namun upaya itu malah berakibat fatal. Berondongan peluru dari penembak jitu di Cocor Merah membuat prajutit-prajurit muda itu terkapar.

 

Kapten Suhaibi memanggil Sulaiman, Iman, Muhaimi, Soekarjo, Achmad Badawi untuk waspada dan tetap berlindung. Mereka sudah tak menyahut ketika Ia memanggil nama mereka. Lagi pula, desingan peluru ditingkahi raungan pesawat jauh lebih keras dari suara teriakanya.

 

Sang Kapten matanya berkabut melihat anak buahnya bergelimpangan. Ia makin tercekat ketika melihat Euis, sang perawat dari Palang Merah Indonesia (PMI) yang ikut bersama kesatuannya juga telah bersimbah darah. Baju perawat jelita yang berwarna putih itu sudah memerah.

 

Ia segera mengisi senapannya dan menembak sekenanya ke arah Cocor Merah. “Belanda Jahanam!,” geramnya sembari mengokang senapan.

 

Pelurunya ada yang berhasil mengenai badan pesawat namun tak begitu berarti. Cocor Merah kembali menyalak, seolah ingin menghabisi seluruh pasukannya. Empat orang anak buahnya kembali menjadi korban.

 

Berikutnya, Kapten Soeparjo, rekan yang sangat dihormatinya berkalang tanah. Mata Soehabi makin berkabut. Air matanya tumpah ketika Pak Sakun, warga desa yang mengantarkan kelapa muda untuk mereka ikut menjadi korban. “Allahu Akbar,” pekikan itu yang terdengar terakhir dari mulutnya.

 

Soehabi tak kuat melihat rentetan peristiwa itu. Sambil menyebut Nama Allah dia keluar dari perlindunganya dan menembak membabi buta ke ara Cocor Merah. Namun, aksi heroiknya hanya bertahan sekejap, pelurunya habis dan di saat yang sama penembak dari pesawat Cocor Merah mengokang senapan. Semburan mitraliur menerjang mengincar Sang Kapten.

 

Beberapa peluru menjangkaunya. Suehabi tersungkur. Matanya Nanar. Ia sempat mengacungkan kepalan tangannya ke atas sebelum berondongan peluru kembali menerjangnya.

 

Soehabi mengumpulkan sisa-sisa tenaganya. Lalu, dengan tangan masih mengepal ke atas Ia berteriak lantang. “Merdeka Atau Mati. Allahu Akbar!”. Setelah itu tubuhnya ambruk, darahnya tumpah membasahi ibu pertiwi.

 

Sang Kapten gugur di Pepedan, Karangmoncol, Purbalingga menyusul rekan-rekanya. Mereka semua gugur jauh dari kampung halamannya di Tanah Sunda sana mengorbankan jiwa dan raganya untuk mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

Pada siang yang beranjak sore itu, sang surya memerah di langit Pepedan.

 

-o-

 

Usai Cocor Merah tak lagi terdengar raungannya, prajuit yang selamat beranjak dari perlindunganya. Penduduk Pepedan pun tergerak ke medan laga. Sembari menangis dan menyebut asma Allah mereka mengumpulkan jenazah para syuhada yang gugur di Pepedan dan memakamkannya.

 

Sebanyak 21 orang gugur hari itu, 19 orang prajurit, 1 orang perawat PMI dan 1 orang penduduk Pepedan.

 

Alam ikut menangis usai pemakaman dilakukan. Air mata dan hujan berlomba tumpah membasahi bumi pertiwi.

 

Catatan :

 

Cerpen tersebut berdasarkan cerita nyata hijrah Pasukan Siliwangi yang melewati Purbalingga. Peristiwa itu terjadi pada kurun Agresi Militer Belanda II, Jumat, 20 Oktober 1948.

 

Lokasi di mana terjadinya perang tersebut kini sudah dibangun sebuah monumen untuk mengenang jasa-jasa mereka. Bentuk bangunannya berupa tangan mengepal keatas, dibawahnya ada bambu runcing yang berdiri di atas batu lonjong. Kemudian di belakangnya ada relief yang menggambarkan fragmen peristiwa tersebut.

 

Pada prasasti tergores tulisan sebagai berikut :

Di sini telah gugur sebagai pahlawan kusuma bangsa 19 orang anggota TNI AD Korps Siliwangi, seorang anggota PMI, seorang penduduk setempat pada hari Jumat Pon, tanggal 20 Oktober 1948 dalam rangka mempertahankan Republik Indonesia.

1.    Soeparjo, Kapten

2.    Soehabi, Kapten

3.    Mahmud, Lettu

4.    Rukiman, Lettu

5.    Umar, Letda

6.    Achmad, Letda

7.    Bastomi, Letnan Muda

8.    Karyadi, Letnan Muda

9.    Muchi, Serma

10. Sulaiman, Serma

11. Iman, Serma

12. Muhaimi, Serda

13. Soekarjo, Serda

14. Achmad Badawi, Serda

15. Soeganda, Serda

16. Tak Dikenal, Pratu

17. Tak Dikenal, Pratu

18. Tak Dikenal, Pratu

19. Tak Dikenal, Pratu

20. Tak Dikenal, PMI

21. Sakun, Penduduk

 

MERDEKA!


Sumber : Buku Sejarah Purbalingga #2 : Jejak Perjuangan Kemerdekaan di Bumi Perwira (buku bisa didapatkan dengan kontak penulis atau pembelian langsung di Kedai Pojok, Taman Kota). Ilustrasi by Guntur Hanafi.

Monumen Perang Pepedan


igo saputra Orang yang suka berkhayal dan berusaha membuatnya menjadi kenyataan. Jangan berhenti berimaji..

0 Response to "SURYA MEMERAH DI LANGIT PEPEDAN"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel