Babad Onje (I) : Pelangi di Langit Onje

Ilustrasi Tapa Brata (Dok : pinterest)
Suatu hari di tengah hutan belantara bernama Hutan Pengalasan Kulon yang ada di sebelah tenggara Gunung Slamet ada seorang petualang bernama Ki Tepus Rumput tengah khusyuk bersemedi. Ia duduk bersila diatas sebuah batu ceper membentuk sebuah altar, di bawah pohon besar nan rindang. Matanya terpejam, diam. 

Rambut di kepalanya sudah panjang tak terurus, kumis dan jambangnya awut-awutan. Tubuhnya kurus kering, pipinya cekung, pertanda sudah berhari-hari Ia menjalani semedi tanpa makan dan minum.

Petualang sebatangkara itu adalah murid Syech Subakir. Ia ditugaskan bersama istrinya untuk membuka hutan di wilayah tersebut dan menjadikannya sebagai pemukiman untuk ditempati bersama keturunannya. Malang tak dapat ditolak, belum sampai tugasnya usai, istrinya meninggal. 

Ki Tepus Rumput pun sendirian meratapi nasib malangnya. Ia kemudian menghabiskan waktunya dengan menenggelamkan diri dalam laku tapa brata.

Sampai pada suatu malam, ditengah semedinya, Ia didatangi sesosok manusia berjanggut panjang dan berjubah putih. Sosok tersebut mengaku sebagai leluhurnya dan bernama Ki Kantharaga. Ia lalu menasehati agar Ki Tepus menghapus kesedihannya, Ki Tepus disarankan Ki Kantha untuk ‘move on’
Petilasan Ki Kantharaga (Cagarbudaya)
Menurut Ki Kantha, Ia bisa memiliki istri kembali asal menemukan sebuah cincin bernama ‘Soca Ludira’. Ki Kantha juga memberikan ‘clue’ bahwa cincin tersebut berada di dekat sebuah pohon jati berbau wangi. Ki Kantharaga berpesan, bila cincin telah ditemukan agar segera serahkan kepada Sultan Hadiwijaya di Keraton Kasultanan Pajang. 

(Dalam Bahasa Jawa Kuno, ‘Soca’ berarti ‘Mata’ dan ‘Ludira’ adalah ‘Darah’)

Ki Tepus terjaga dari tapa brata. Otaknya dipenuhi kebingungan dan keheranan atas pertemuan ghaibnya dengan Ki Kantharaga. Ia berjalan mondar-mandir sambil mengumpulkan batu-batu yang terdapat di sekitar tempatnya bersemedi. Tumpukan batu paling atas lalu digambari wajah bayangan tadi dengan menggunakan kapur sirih. 

(Tempat dimana batu-batu itu dikumpulkan, sampai sekarang dikenal dengan Dusun Bata Putih yang saat ini ada di wilayah Desa Cipaku, Kecamatan Mrebet)

Untuk menenangkan diri dan mendapatkan petunjuk lebih lanjut mengenai cincin Soca Ludira, Ki Tepus Rumput kemudian melanjutkan semedinya. Ia baru terjaga mendengar kokok ayam jantan dan melihat pelangi berbendar di langit yang cerah. Kemudian, Ia mendekati sumber suara itu dan bertemu dengan sosok pertapa bernama Ki Onje Bukut. Di sekitar tempat pertemuannya banyak ditemukan bunga burus alias onje sehingga daerah tersebut dinamakan Trukah Onje. 
Bunga Onje (www.indonesia.id)
Kepada Ki Onje, Ki Tepus menceritakan pertemuan gaibnya dengan Ki Kantharaga dan pesan-pesan yang disampaikannya. Ki Onje kemudian menyarankan agar Ki Tepus mencari ‘Jati Wangi’ di Gunung Tukung yang terletak di sebelah timur Gunung Slamet.

Ki Tepus menuruti saran Ki Onje dan pergi ke Gunung Tukung. Ia menemukan sebuah pohon jati yang secara ajaib mengeluarkan aroma harum disekitarnya. Tepat di bawah pohon jati berbau wangi, Ia kemudian bersemedi. Setelah sekian lama bersemedi, Ia melihat cahaya merah berkilauan kemudian jatuh tepat ditengah kakinya yang tengah bersila. 

Ki Tepus lalu terjaga dan betapa terkejutnya sebuah cincin tergeletak di hadapannya. Ia kemudian menyadari, cincin itulah yang dimaksud Ki Kantharaga sebagai Cincin Soca Ludira. Sesuai pesan Ki Kantharaga, Ki Tepus kemudian berkemas dan mengantarkan cincin sakti itu ke pusat Kesultanan Pajang.

Sayembara Cincin Soca Ludira dan Berdirinya Kadipaten Onje

Sebelumnya, Keraton Pajang tengah dilanda geger. Cincin kesayangan sang sultan hilang tak tahu rimbanya. Sultan Hadiwijaya yang pada masa mudanya dikenal sebagai Jaka Tingkir dan memiliki nama kecil Mas Karebet itu kemudian mengadakan sayembara. Barangsiapa menemukan Cincin Soca Ludira, jika perempuan akan diangkat sebagai selir, jika laki-laki akan diberikan selirnya yang paling cantik.

Tidak dinyana tak diduga, cincin ini ternyata ditemukan oleh seorang yang jauh-jauh datang dari tenggara Gunung Slamet, Ki Tepus Rumput. Perkataan Sultan adalah Sabda Pandita Ratu, tak kena wola wali. Sultan Pajang pun memenuhi janjinya. Ki Tepus Rumput dianugerahi seorang selirnya yang paling cantik. Ia merupakan Putri Adipati Menoreh. 

Tak hanya itu, Ki Tepus Rumput diberi pula jabatan adipati untuk daerah dimana Ia bersemedi seluas 200 grumbul / kampung. Ia kemudian diberi gelar Ki Ageng Ore-ore atau Raden Ore-Ore.

Namun, pemberian selir ini juga disertai janji-janji agar Ki Tepus Rumput yang sekarang sudah bergelar bangsawan Raden Ore-Ore jangan dulu menggaulinya. Sebab, selir Jaka Tingkir tersebut sedang keadaan mengandung empat setengah bulan. Ki Tepus baru boleh menggaulinya setelah kelak kemudian hari bayi dalam kandungan dilahirkan.
/ingsun ora wani-wani sapa kang anemokaken manira paringi bojoningsun bocah desa asal putrane Kiyai Dipati Menoreh iya rawatana ananging iya wus meteng olih kapat tengah iya iku poma-poma aja kowe tumpangi, inggih sakelangkung saking panuwun kula lan sira manira paringi bumi karya rongatus mardika lan sira manira sengkakaken ing luhur sinebut Kiyai Ageng Ore-ore, nunten lajeng mantuk dhateng dhusun Teruka ing Onje, sareng dugi ing mangsa zhohir ingkang putra miyos kakung lajeng ngunjuki uninga dhateng/ - Babad Onje -
Setelah penganugerahan selir dan gelar adipati, Raden Ore-ore kemudian undur diri untuk kembali ke tempat asalnya. Sang Sultan memberikan pengawalan prajurit Pajang yang dipimpin oleh empat orang perwira bernama Puspa Jaga, Puspa Raga, Puspa Kantha dan Puspa Dipa. 

Setelah sampai di daerah hutan dekat tempat semedinya, rombongan Raden Ore-ore dihadang rombongan begal yang dipimpin bekas pengikut Harya Penangsang bernama Putera Jala. Ia bermaksud merampas puteri selir yang dibawa rombongan tersebut. Namun, empat serangkai Puspa berhasil mengalahkan Putera Jala dan mereka bisa melanjutkan perjalanan. Akhirnya, sampailah mereka di Trukah Onje dengan selamat.

Raden Ore-ore dibantu dengan Pasukan Pajang dan abdi dalem yang diberikan Sultan Pajang kemudian mengembangkan wilayah tersebut menjadi sebuah kadipaten. Tak lama kemudian, wilayah tersebut berkembang pesat dan di beri nama Kadipaten Onje. Ada salah satu grumbul / dusun di Kadipaten Onje diberi nama ‘Surti’ yang berasal dari perkataan ‘sur puteri’ atau ‘lungsuran puteri’. Hal itu merujuk bahwa Nyai Ore-Ore merupakan lungsuran atau bekas selir Sultan Pajang.

Tak lama kemudian Nyai Ore-ore melahirkan seorang bayi laki-laki. Bayi ini lalu dibawa ke Pajang dan oleh Sultan Hadiwijaya yang tak lain ayah kandungnya diberi nama Raden Anyakrapati. Sultan berpesan agar kelak, Raden Anyakrapati yang menggantikan Raden Ore-Ore menjadi adipati di Kadipaten Onje. Raden Ore-ore juga mendapatkan tambahan wilayah kekuasaan 835 grumbul dan 7 keluarga kepala desa untuk mengabdi di Kadipaten Onje.
/Sareng sampun dugi ing mangsa nunten kasaosaken melebu. Pangandikane Kanjeng Sultan, ”ingsun derma bae, iya sira kang anduweni anak. Iki dadi wewinih ana ing desa, lan manira paringi bumi karya wolungatus tigang lawe, sarta katandha upacaraning bupati, lan keparingan nama Kiyai Dipati Anyakrapati ing Onje, lan manira gawani sentana kamisepuh pitung somah dadia emban-embane aning desa Onje. Ana dene ratune Pandhomasan Timbang, Purbasari satus, Bobotsari Kertanegari satus, Kadipaten satus, Kontawijayan satus, Bodhas Mertasanan Mertamenggalan satus, Toyareka satus kawan desa, Selanga Kalikajar pitung desa, Onje kalihatus/ - Babad Onje -
Setelah dewasa dan dipandang mampu memegang tampuk pimpinan Raden Ore-ore memenuhi janjinya dan menyerahkan jabatan Adipati Onje kepada anak tirinya. Raden Anyakrapati pun menjabat sebagai Adipaten Onje II. Akhirnya, anak kandung Jaka Tingkir itu pun menjadi Adipati Onje. Sementara, Raden Ore-ore alias Ki Tepus Rumput memilih untuk berkelana kembali.

Makam Adipati Onje (instazu.com)
Tragedi Dua Puteri

Adipati Onje II memiliki dua orang istri. Pertama, Rara Kelingwati, puteri dari Kadipaten Pasir Luhur yang berada di Tanah Pasundan. Selain itu, Ia juga mempersunting seorang puteri dari Adipati Cipaku bernama Rara Pakuwati atau dipanggili juga Dewi Medang. Kedua orang isteri itu tinggal bersama serumah di Kadipaten Onje.
Adipati Onje dan Dua Istri (Dok : twiter/kisahtanahjawa)
Adipati Onje tidak mendapatkan keturunan dari Puteri Keling. Sedangkan dengan Rara Pakuwati, Ia menurunkan dua orang putera dan seorang puteri, yaitu, Raden Mangunjaya atau Raden Mangunegoro, Raden Citrakesuma dan yang paling bungsu adalah Rara Banowati. 

Raden Mangunegara namanya diabadikan menjadi sebuah desa yang saat ini berada di wilayah Kecamatan Mrebet. Rara Banowati kawin dengan seorang Arab bernama Sayid Abdullah yang kemudian diserahi jabatan penghulu merangkap Imam Masjid Onje. Sayid Abdulah inilah kemudian yang dikenal dengan nama Raden Sayid Kuning yang sekarang diabadikan menjadi nama masjid tertua di Desa Onje.

Ada kisah memilukan tentang dua istri Adipati Onje II ini. Suatu hari, saat Sang Adipati sedang nyenyak tidur, tiba-tiba dibangunkan oleh suara jeritan dua orang wanita. Adipati kemudian beranjak ke belakang rumah dan melihat kedua orang istrinya tengah bertengkar hebat. Pertengkaran keduanya tak bisa dilerai dan semakin menjadi. 

Akhirnya, Sang Adipati hilang kesabaran dan gelap mata, diambilnya sebuah pedang dan dengan kedua istrinya dibabat silih berganti sehingga mereka meninggal dunia. Peristiwa memilukan ini tentu saja terdengar Adipati Cipaku, mertuanya, sehingga murka luar biasa. Adipati Cipaku kemudian mengeluarkan larangan bagi anak turunannya agar tidak menikah dengan orang-orang Onje.

Setelah ditinggal dua orang istrinya, Adipati Onje kemudian kawin lagi dengan putri Adipati Arenan bernama Nyai Pingen. Perkawinanya dengan istri ketiga ini dikaruniai dua orang putera yaitu Ki Wangsantaka atau Ki Yudantaka dan Ki Arsantaka. Ki Arsantakalah inilah yang kemudian akan mengawali Kadipaten Purbalingga.

Pelangi pun kembali berpendar di langit Onje.

Bersambung

Catatan :

*Pelangi di Langit Onje adalah judul serial cerbung yang diterbitkan di Tabloid Kabare Bralink yang berlatarkan kisah pada Babad Onje. Saya dan Pak Tri Atmo adalah dewan redaksi di tabloid tersebut.

Sumber :
Kisah diatas disarikan dari berbagai sumber, diantaranya Buku Babad dan Sejarah Purbalingga karangan Tri Atmo yang diterbitkan Pemerintah Kabupaten Purbalingga Tahun 1984. Skripsi Diana Wisnandari berjudul Rekonstruksi Cerita Adipati Onje, Fakultas Bahasa dan Seni UNNES Tahun 2006. Diana membandingkan tiga naskah sejarah Kadipaten Onje pada Babad Purbalingga, naskah Punika Serat Sejarah Onje dan naskah Serat Sejarah Rupi Onje.

Ada beberapa perbedaan versi pada beberapa bagian cerita, misal, kisah tetang Ki Tepus Rumbut dan penemuan Cincin Soca Ludira. Ada yang menyebutkan cincin tersebut didapatkan dalam semedinya setelah mendapatkan petunjuk ki Kantharaga ada yang menyebutkan bahwa cincin tersebut jatuh ke dalam sumur dan Ki Tepus Rumputlah yang berhasil mengambilnya pada saat sayembara. 

Namun, pada berbagai versi itu ada persamaan bahwa Ki Tepus Rumputlah, tokoh yang mengawali Babad Onje. Ia mendapatkan anugerah selir Sultan Hadiwijaya yang tengah hamil empat setengah bulan setelah memenangkan sayembara. Kemudian, anak tirinyalah alias anak kandung Sultan Hadiwijaya alias Jaka Tingkir alias Mas Karebet yang melanjutkan tampuk kepemimpinan di Kadipaten Onje.

Onje, saat ini adalah sebuah desa di Kecamatan Mrebet, Purbalingga.


igo saputra Orang yang suka berkhayal dan berusaha membuatnya menjadi kenyataan. Jangan berhenti berimaji..

0 Response to "Babad Onje (I) : Pelangi di Langit Onje"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel