Melacak Jejak Perjuangan Raden Prawatasari dan Benteng Kertanegara

Peta Koleksi Digital Perpustakaan Universiteit Leiden
Peta kuno bertarikh 1706 dengan tone shepia khas kertas lawas itu sangat memantik perhatian, juga penasaran. Pada peta yang ada pada koleksi digital Perpustakaan Universitas Leiden - Belanda itu jelas merujuk ke daerah bernama Cartanagara yang menjadi bagian wilayah Banjoemas.

Bunyi judul petanya : “Afbeeldinge van de schans gemaakt door den E[dele] Capitein Bintang, tot Cartanagara, in de Land-streek van Banjoe-Maas, achter de berg van Tagal, nadat hij de laatste slag tegen de landlooper Radin Parwata Sari, int jaar 1706 heeft gedaan etc”.

Artinya kurang lebih seperti ini setelah diterjemahkan lewat google translate : “Penggambaran benteng yang dibuat oleh Capitein Bintang, ke Cartanagara, di wilayah Banjoe-Maas, di belakang Gunung Tagal (Gunung Slamet), setelah Ia melakukan pertempuran terakhir melawan gelandangan (buronan) Radin Parwata Sari, pada tahun 1706 dst.

Benteng tersebut memiliki fasilitas yang cukup lengkap sesuai dengan keterangan pada peta. Ada De capiteins wooning (kediaman kapten), De officiers wooning (kediaman petugas) lalu ‘t sieken huys atau rumah yang indah / tempat berkumpul. Kemudian ada Corps du guarde atau koorps penjaga di 4 sisi mata angin di dalam benteng yang diketuai oleh De hoofd wagt (kepala penjaga).

Kemudian ada 3 lapis pertahanan yang disebut (Drie vriese ruyters) dengan De water poort atau gerbang air yang menghadap ke De Reivier van Cartanagara (Sungai Kertanegara) dan De land poort alias gerbang darat yang menghadap ke De groote weg alias jalan besar.

Lalu, ada yang disebut Vol met voet angels beset (kalau artinya ditranslate agak aneh, yaitu, ‘penuh dengan malaikat kaki’) posisinya bersisian dengan 3 lapis pertahanan. Ada juga Secreete huysen om by nacht te gebruyken atau Rumah rahasia untuk digunakan pada malam hari.

Selanjutnya ada Het compement van de Temanggong Racfanagara alias Wilayah Tumenggung Kertanegara di sisi (atas / utara) benteng dan Het compement van Temanggong Marta Joeda alias wilayah Tumenggung Martayuda di sisi kanan / timur benteng.

Ada juga rumah tahanan (‘t gevangen huy), Pasce - baan of waght huys yang diartikan pekerjaan serta ‘t secreet alias jalan rahasia di pojok kiri bawah luar benteng dekat dengan sungai. Peta tersebut diterangkan berskala ‘chale van 10 rhynlandse roeden’.

Jadi, benteng itu dibangun oleh VOC dengan sekutu pribumi untuk mengunci posisi kelompok yang disebut ‘pemberontak’ di bawah pimpinan Radin Parwata Sari. Tokoh tersebut sepertinya cukup penting sehingga kompeni perlu mengerahkan segala daya upaya untuk meringkusnya.

Informasi dari peta dalam arsip Leiden tersebut, bagi saya menerbitkan dua pertanyaan besar. Pertama, siapakah gerangan Radin Parwata Sari yang dikejar-kejar VOC sampai ke wilayah Cartanagara? Kedua, di manakah letak Benteng Cartanegara?

Raden Prawata Sari, Pejuang dari Cianjur

Lukisan Raden Prawatasari (Dok : Wikipedia)

Menurut berbagai referensi, Radin atau Raden Parwata atau Prawatasari adalah pejuang yang gigih melawan kesewenang-wenangan VOC yang berasal dari daerah Cianjur. Laman Wikipedia menyebut, Ia masih keturunan bangsawan daerah Panjalu, Kabupaten Ciamis kini.

Prawatasari mengorganisir petani untuk menolak pajak hasil bumi yang ditarik oleh Pemerintah Cianjur atas perintah Kompeni Belanda. Perlawanannya berkembang menjadi perang dengan cara bergerilya di daerah Jampang, perbatasan Cianjur-Bogor yang selanjutnya meluas ke seluruh Priangan Timur, Cirebon dan Banyumas antara 1703-1707.

Kemudian, Hendi Jauhari dalam tulisannya di historia.id juga menukil dokumen dan arsip-arsip Belanda yang melaporkan sepak terjang Prawatasari yang memiliki nama kecil Raden Alit itu. Jan Breman, sejarawan Belanda dalam buku Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa ; Sistem Priangan Dari Tanam Paksa Kopi di Jawa, 1720-1870menyebut Prawatasari sebagai seorang Haji dan “ulama fanatik” yang mengobarkan perlawanan terhadap “orang asing tak beragama”.

Gerakan Prawatasari menyebabkan gangguan besar bagi kepentingan VOC dan kroni-kroninya di Tanah Priangan. Oleh karena itu, Prawatasari dicap pemberontak.

Perlawanan Prawatasari sebenarnya melawan kakaknya sendiri Raden Wiramanggala yang pada 1691 diangkat menjadi penguasa Cianjur dengan gelar Aria Wiratanu II. Saat itu, Cianjur resmi menjadi bagian dari kekuasaan  VOC yang harus menyerahkan beberapa produk-nya seperti belerang, nila (tarum) dan hasil bumi lainnya.

Pelaksanaan kerja paksa memberatkan rakyat. Keluh kesah dan ketidakpuasan itu diserap oleh Prawatasari dan mengajukan protes keras terhadap kakaknya sendiri dan VOC. Pada 1703, para petani melakukan boikot pengambilan belerang dari kawasan Gunung Gede dan membakar lahan kebun tarum secara masif. Prawatasari menjadi tersangka utama aksi tersebut.

Seorang utusan bernama Cakrayudha lantas dikirim oleh Bupati Cianjur untuk menyelesaikannya, namun malah berujung bentrok fisik. Pihak Cianjur lalu mengerahkan prajurit yang dibantu VOC untuk menangkap Prawatasari yang ternyata sudah siap melawan bersama pengikutnya yang didukung rakyat.

Maka, perlawanan itu berubah menjadi perang terbuka. Bangsawan Sunda itu mampu menghimpun kekuatan sampai 3000 orang pasukan yang merupakan suatu jumlah yang besar saat itu yang mampu merepotkan VOC dan sekutunya.

Awal Maret 1704, pasukan Haji Prawatasari bergerak menyerang titik-titik vital militer VOC di Bogor, Tangerang dan beberapa kawasan Priangan Timur seperti Galuh, Imbanagara, Kawasen, Karawang, Bojonglopang dan daerah muara Sungai Citanduy. Sesekali mereka juga melakukan gangguan-gangguan kecil di pinggiran Batavia.

Pihak VOC membalas dengan melancarkan operasi perburuan ang dipimpin oleh Sersan Pieter Scipio bersama pasukan Letnan Ki Mas Tanu (Wedana Tanuwijaya), seorang Letnan VOC keturunan sunda. Tidak cukup mengerahkan para serdadunya, kompeni juga menjanjikan imbalan uang sebesar 300 ringgit kepada sesiapa yang berhasil menangkap Prawatasari hidup atau mati.

Joan Van Hoorn (Dok : Wikipedia)

Upaya itu ternyata tak kunjung membuahkan hasil. Prawatasari masih kokoh melakukan perlawanan. Situasi tersebut tentu saja menjadikan Gubernur Jenderal VOC Joan van Hoorn (1704—1709) berang. Dia lantas mengeluarkan intruksi keras berupa surat perintah bertanggal 22 Maret 1704 kepada seluruh Bupati Priangan untuk menangkap Paap Prawatasari (Kyai Prawatasari) yang disebut Karaman van Java atau Penjahat Besar dari Jawa. Bagi yang tidak mendukung atau melindungi Prawatasari terancam hukuman pemecatan.

Surat perintah penangkapan itu berbunyi :

“Zij (de regenten) zullen vooral de quade menschen en roovers of oproermakers als den Paap Prawata en alle vijanden van de Comp. en ‘t Cheribonsche rijk uit haar landen moeten weeren, en alle dezelve, ‘it zij heevende of doot san den Pangerang Aria Cheribon of te de Comp. Gezaghebber op Cheribon overleeveren. Op poepe van andere selven daar over te sullen worden gestraft en uit haar gezaggezet”. (dikutip dari sejarawan Belanda F. de Haan dalam de Preanger Regentschappen Onder het Nederlandsche Bestuur tot 1811).

Yang artinya “Para bupati harus melarang masuk para penjahat atau perampok seperti Prawata serta semua musuh Kompeni dan Kerajaan Cirebon ke daerahnya, atau menyerahkan mereka hidup atau mati kepada Pangeran Aria Cirebon atau penguasa Kompeni di Cirebon, jika tidak demikian maka para bupati itu akan dihukum dan dipecat”

Prawatasari Menyingkir ke Kertanegara

Setelah itu, Prawata mulai terjepit. Serangan mengalir deras dari pasukan VOC dan sekutu pribuminya. Para bangsawan yang diam-diam membantunya takut karena ancaman pemecatan. Apalagi ada sayembara berhadiah untuk kepalanya yang menggoyahkan pengikut dan rakyat yang mendukungnya.

Oleh karena itu, Prawata dan pasukan setianya menyingkir cukup jauh sampai ke wilayah Kertanegara di Banyumas. Namun, tak lama posisinya di daerah sebelah timur Gunung Slamet itu juga terendus oleh VOC.

Pasukan pemburu pun bergegas menuju tempat yang sekarang masuk dalam wilayah Kabupaten Purbalingga tersebut. Pada 1706, sepasukan serdadu VOC pimpinan Kapiten Zacharias Bintang (1660—1730) berhasil memukul mundur pasukan kecil Prawatasari dari Kertanegara.

“Usai mengusir penjahat Radin Prawata Sari dari wilayah Kertanegara, Kapiten Bintang pun mendirikan benteng di wilayah itu,” demikian penuturan Valentijn Zie dalam Oud en Niew Oost Indie.

Kapiten Bintang merupakan salah satu perwira VOC terkemuka asal Manipa, Maluku. Dia memiliki pengalaman tempur yang mumpuni dan bersama Kapiten Jonker yang masih sepupunya pernah melakukan operasi militer di Palembang, Sailan, India.

Setelah mundur dari Kertanegara, Prawatasari dan pasukannya menyingkir ke Bagelen, suatu wilayah yang terletak di Purworejo kini. Di sinilah, pada 1707 pasukan Maung dari Cianjur dikalahkan oleh kompeni. Ulama pejuang itu tertangkap hidup-hidup dan dibawa ke Kartasura. Tidak lama kemudian, Radin Prawatasari dihukum mati pada 12 Juli 1707.

Jasadnya dimakamkan di Dayeuhluhur - kini masuk wilayah Kabupaten Cilacap - di tepi Sungai Cibeet. Masyarakat setempat menyebutnya Kuburan Keramat Turunan Panjalu. Pejuang pembela rakyat itu namanya harum di Cianjur, tanah tempatnya berjuang membela rakyat. Nama Raden Prawatasari diabadikan menjadi nama sebuah Stadion dan Taman di Kota Cianjur. Sosoknya juga tengah diperjuangkan menjadi pahlawan nasional.

Jejak Prawatasari dan Benteng Kertanegara

Struktur Batu Bata yang terkubur dalam tanah di Desa Condong, Kertanegara
(Dok : Imam Hart)

Berdasar peta tersebut saya mencoba menggali referensi selanjutnya untuk melacak jejak Raden Alit Prawatasari di Kertanegara. Kemudian, saya juga memburu narasumber yang barangkali mengetahui informasi yang bisa menguak teka-teki keberadaan benteng itu.

Sayangnya, informasi sangat minim. Tak banyak catatan sejarah mengenai sepak terjang Prawatasari di Purbalingga, juga tak ada tulisan yang mengulas Benteng Kertanegara.

FYI, Kertanegara sekarang menjadi nama kecamatan dan desa di Kabupaten Purbalingga. Pada era kolonial, Kertanegara juga menjadi salah satu district di Afdeling Poerbolinggo (Kabupaten Purbalingga).

Pucuk dicinta ulam tiba, Ilham, warga Desa Condong, Kecamatan Kertanegara yang menghubungi saya menjelaskan bahwa ada temuan batu bata kuno di desanya. Maka, pada 10 Oktober 2023 lalu saya mengunjunginya ditemani sejarawan Mas Ganda Kurniawan, Mas Imam dan Mas Bastian.

Struktur Batu Bata di Bawah Ladang Jagung

Lokasi temuan batu bata kuno itu ada pada ladang di tanah bengkok desa yang sedang ditanami jagung. Ladang itu berada di RT 3 RW 1, sebelah barat Sungai Wotan. Struktur batu bata itu, informasinya baru terbuka setelah ada pembangunan jalan usaha tani dan gerusan erosi di sebelahnya.

Dimensi batu bata itu panjang 24 cm, lebar 12 cm dan tebal 4,5 cm. Batu bata disusun bersilang lapis pertama vertikal lapis berikutnya horizontal. Hanya sedikit yang kita bisa lihat karena selebihnya masih tertutup tanah. Saya tak berani menggali lebih lanjut karena bukan ahlinya.

Batu Bata yang disusun vertikal - horizontal 

Pertanyaannya, apakah batu bata itu sisa struktur bangunan Benteng Kertanegara yang dibangun oleh Kapiten Bintang setelah mengusir Prawatasari seperti dijelaskan di peta?

Mas Ganda yang sejarawan tidak bisa memastikan, apalagi saya.. hehe. Kami menyarankan agar desa setempat melaporkan kepada pihak yang berwenang. Menurut Ilham, Pemerintah Desa Condong sudah bersurat ke Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah, juga Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Purbalingga tertanggal 11 Oktober 2023.

Sepekan berikutnya, telah turun tim untuk meninjau lokasi dan hasilnya sedang dalam tahap verifikasi untuk dilansir sebulan kemudian.

Saya mencoba menganalisis lewat google map, lokasi yang dimaksud agak mirip. Sebelah barat temuan batu bata ada Sungai Wotan yang mirip dengan lokasi Rivier Cartanegara seperti disebut di peta. Kemudian, tak jauh dari situ juga ada dukuh yang bernama Barak, yang mirip dengan Barak yang berarti mess tentara.

Selanjutnya, saya berharap semoga teka-teki Benteng Kertanegara bisa segera terkuak. Hal ini tentu saja akan menambah khazanah sejarah, bukan hanya di Purbalingga tetapi juga Indonesia bahwa 1 abad lebih sebelum Pangeran Diponegoro mengobarkan Perang Jawa (1825-1830) ada tokoh bernama Radin Prawatasari yang memimpin perlawanan terhadap kompeni.

Salam Historia Perwira!

Referensi :

1. Radin Alit Prawatasari di Wikipedia https://id.wikipedia.org/wiki/Raden_Alit_Prawatasari 

2. Akhir Petualangan Haji Prawatasari di Historia https://historia.id/militer/articles/akhir-petualangan-haji-prawatasari-v5be4/page/1

 3. Menak Pemberontak dari Jampang Manggung di Historia https://historia.id/militer/articles/menak-pemberontak-dari-jampang-manggung-6m7zB/page/1

 4. Peta Koleksi Digital Perpustakaan Universiteit Leiden - Belanda


igo saputra Orang yang suka berkhayal dan berusaha membuatnya menjadi kenyataan. Jangan berhenti berimaji..

1 Response to "Melacak Jejak Perjuangan Raden Prawatasari dan Benteng Kertanegara"

Wong A Piek An said...

Terima kasih telah mengungkap sejarah yang jarang dibahan si sekolah, wawasan kami semakin terbuka.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel