Nampang di Tempo a.k.a Narsum Figuran!

Baca dua paragraf terakhir tulisan ini...hehe. Majalah Tempo edisi 2 Mei 2011

Semangat Warga Jadi Pewarta

Akhmad Rovahan tak menyangka artikelnya berbuntut panjang. Akhmad bukan wartawan. Pengajar di sebuah madrasah di Buntet, Cirebon, itu menulis karut-marut pengucuran dana pendidikan untuk tujuh sekolah di Kecamatan Astanajapura. Karyanya itu kemudian diunggah di Suara Komunitas, salah satu portal tempat para pewarta warga berbagi informasi, akhir tahun lalu.

Tulisannya mengalir sampai ke Jakarta. Petugas Badan Pemeriksa Keuangan mengecek langsung, juga tim pemantau dari beberapa kampus. Kasus itu menjadi pembicaraan di tingkat provinsi. "Orang pemerintah daerah sampai minta tulisannya dicabut," kata Akhmad.

Kejadian itu bukan satu-satunya. Seorang warga mengunggah tulisan tentang sekolah yang siswanya belajar secara lesehan. "Dua hari kemudian, datang meja-kursi dari pemerintah," kata Akhmad. Ada juga cerita pengusutan kasus meninggalnya tenaga kerja asal Cirebon di Jawa Tengah oleh pemerintah setelah beredarnya tulisan dari kerabat korban di situs media komunitas.

Pengaruh media warga atau kadang disebut media komunitas, yang dikelola dengan prinsip jurnalisme publik (citizen journalism)-dari, oleh, dan untuk warga-memang terasa menguat. Tidak sedikit "teriakan" media-media komunitas yang bercokolan di berbagai penjuru negeri ini terdengar sampai ke Ibu Kota Jakarta.
Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan pun sampai menggelar rapat khusus tentang media komunitas pada Rabu dua pekan lalu. Pejabat bidang komunikasi kementerian tersebut membahas cara mengoptimalkan manfaat media komunitas untuk sosialisasi program pemerintah. Harapan pemerintah, sosialisasi lebih efektif dan tepat sasaran dengan menggunakan media warga ketimbang melalui media arus utama (mainstream).

Media warga memang berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Suara Komunitas, misalnya, dalam kurun tiga tahun, kontributornya mencapai 350 orang, yang tersebar di 17 wilayah se-Indonesia. Akhir Maret lalu para editor dari berbagai wilayah berkumpul di Cirebon untuk membahas pengembangan Suara Komunitas. Sejauh ini, tercatat peningkatan konten dari 673 tulisan pada 2008 menjadi 2.023 tulisan sepanjang 2010. "Bukan hanya kuantitas, kami juga mulai konsentrasi menguatkan dampak ke khalayak," kata Nasir, salah satu pengurus.

Dari Bandung, muncul Citizen Journal akhir bulan lalu, yang dimotori oleh Urbane Community, gerakan peduli kota berbasis komunitas. Buahnya, warga pun mendadak jadi pewarta.

M. Achsan, siswa Sekolah Menengah Kejuruan Pekerjaan Umum Kota Bandung, contohnya. Selain kegiatan sekolah, kini dia rajin mengamati peristiwa di lingkungannya. Begitu ada yang menarik, kameranya pun langsung beraksi: jepret! "Saya ingin menyampaikan informasi sekitar," kata dia bersemangat.

Wartawan komunitas lainnya melakukan peliputan sesuai dengan lokasi tinggal atau kegiatan. Hingga kini sudah 20 komunitas rukun warga sukarelawan Citizen Journal. Para pewarta itu merekam fakta yang diunggah ke Facebook, lalu semua informasi itu digabung tayang di situs http://www.citizenjournal-bdg.org/. "Mereka cinta Bandung, ingin berpartisipasi dengan berbagi informasi," kata arsitek Ridwan Kamil, pendiri Urbane Community.

Tiap-tiap komunitas dibekali kamera dari dana sosial perusahaan Ridwan. "Tahap awal dengan kamera, lebih fun dan relatif ringan," kata Reggy Kayong Munggaran, salah satu penggiatnya. Berita foto atau tulisan itu tayang sesuai dengan kategori yang ditetapkan.

Situs itu memang Sunda pisan. Nama kanalnya antara lain Sindang Heula, berisi berita tentang lokasi menarik. Jawara Kampung bercerita tentang sosok-sosok lokal inspiratif. Jika ingin mengetahui keluhan warga, bisa baca di Kukulutus atau Seratan Hate. Tentu tidak semua harus serius. Ingin bergosip? Mari baca-baca Harewos Bojong.

Semua dipersiapkan untuk menampung partisipasi lebih luas. Targetnya, total 3.000 komunitas RW di Bandung bergabung. "Nantinya tak ada lagi alasan pemerintah tidak tahu persoalan di bawah," kata Ridwan.
Di Bali, ada Balebengong. Warga bebas mengirim tulisan opini atau reportase ke situs berita http://www.balebengong.net/, yang berslogan "Berbagi Kabar dari Bali". Di sini pembaca dapat menikmati beragam tulisan. Dari kuliner di Bali, obyek wisata, hingga masalah sosial.

Balebengong ada sejak pertengahan 2007, ketika blog pribadi marak. Anton Muhajir, wartawan lepas penggagas Balebengong, memodifikasi blog pribadi menjadi publik, seperti Panyingkul.com di Makassar dan Wikimo.com di Jakarta. "Namanya menunjukkan tempat orang bisa mengobrol sesuka hati," katanya. Awalnya hanya mencakup wilayah Denpasar, selanjutnya meluas ke seluruh Bali. Situs ini juga menyediakan link blog para kontributor, yang kemudian bergabung dalam komunitas Bali Blogger.

Selain memiliki domain sendiri, kontributor Balebengong kini mencapai 160 orang. Sebagai penjaga, Anton dibantu enam orang. Jumlah pengakses rata-rata seribu orang per hari, pernah tembus hingga 6.000 ketika ada tulisan tentang Superman is Dead, nama band berpengaruh di Bali.

Melihat potensi kunjungan itu, sejumlah pemilik produk pun berminat memasang iklan di Balebengong. Tapi sejauh ini pengelola sepakat menolak. Ada kekhawatiran para penulis berorientasi komersial. "Sejak awal maunya gotong-royong saja," kata Anton.

Para kontributor memposisikan Balebengong sebagai media alternatif. Salah satunya Gayatri, aktivis gerakan perempuan di Bali, yang kecewa terhadap media arus utama karena tidak menerima tulisan-tulisan kritisnya, terutama soal adat setempat. Di Balebengong tulisannya mengalir tanpa sensor, dan makin meluas setelah diunggah ulang ke Facebook.

Reaksi pembaca bukannya tak ada. Pande Nyoman Artawibawa, pegawai pemerintah daerah Badung, yang rajin mengunggah tulisan kritis, misalnya tentang kegagalan wilayah Dalung menjadi kota satelit Denpasar, sering diprotes teman-temannya dan dianggap kurang kerjaan.

Jumlah penulis pun bertambah. Pengelola juga rutin menyelenggarakan pelatihan jurnalisme warga. Saat ini sudah mencapai tujuh angkatan, masing-masing 15-20 orang. Langkah ini sekaligus mengatasi kendala soal kemampuan menulis dan menjaga konsistensi media warga. "Kami optimistis bertahan melihat semakin banyak orang melek Internet," kata Anton.

Teknologi Internet memacu jurnalisme warga berkembang pesat. Ini fenomena global. Salah satu tonggak penting jurnalisme warga adalah kejadian bom yang mengguncang London, 7 Juli 2005. Saat itu Tim Porter yang istrinya berada di lokasi menyiarkan tragedi itu dengan cepat melalui situs pribadinya, First Draft. Sebelumnya, dia mengumpulkan informasi dari video yang diunggah warga di lokasi kejadian.

Wujud jurnalisme warga lain yang fenomenal adalah situs OhmyNews, yang diluncurkan pada awal 2000 di Seoul, Korea Selatan. Dari sekitar 60 ribu reporternya yang tersebar di berbagai negara, 80 persen di antaranya warga biasa yang aktif berbagi informasi. Tak mengherankan, slogannya pun mengundang: "Every Citizen is a Reporter".

Berbekal semangat melihat gelora jurnalisme warga, baik di dalam maupun di luar negeri itu, Gunanto, pengusaha peternakan di Purbalingga, Jawa Tengah, pun merintis hal serupa setelah mundur dari profesi wartawan di Jakarta. Dia mengumpulkan anak muda setempat untuk menjadi jurnalis warga. "Banyak yang bersemangat, mungkin dorongan mendasar orang ingin bercerita," katanya.

Buahnya, sejak Januari lalu meluncurlah media Kabare Bralink-sebutan lain kawasan Purbalingga. Semua kontributor bebas menuliskan berita apa saja. Muatan lokal disematkan dengan cara menggunakan parikan atau pantun berbahasa setempat. Satu berita yang berisi kritik keras ditutup dengan parikan yang bermakna permintaan maaf: lawuh welut segane pera, salah luput njaluk ngapura.

Harun Mahbub, Angga Sukma Wijaya (Bandung), Rofiqi Hasan (Bali)
igo saputra Orang yang suka berkhayal dan berusaha membuatnya menjadi kenyataan. Jangan berhenti berimaji..

1 Response to "Nampang di Tempo a.k.a Narsum Figuran!"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel