Djongos, Baboe dan Koeli daripada Belanda di Poerbalingga

Onze djongos te Poerbolinggo, Soelatin en Harry’

Kalimat itu menjadi keterangan salah satu koleksi foto P.A Tazelaar, seorang serdadu Belanda yang bertugas di Purbalingga kala Agresi Militer II, 1948-1950. Pada foto itu tampak dua orang bocah Purbalingga tengah berpose, satunya berdiri bekacak pinggang, lainnya bertumpu satu kaki di rerumputan.

 

Arti kalimat diatas adalah ‘Djongos kami di Purbalingga, Soelatin dan Harry.

 

Jadi, kedua bocah itu adalah djongos alias pembantu para serdadu Belanda yang sedang bertugas di Purbalingga. Mereka membantu menyiapkan segala macam keperluan para Tentara Belanda.

 

Selain Soelatin dan Harry, ada Simin yang juga djongos para serdadu belanda di Purbalingga. Ini fotonya Simin berpose dengan latar belakang kendaraan tempur di markas Belanda

de djongos Simin bij de carriers te poerbolinggo
Ketiga djongos itu tampak masih sangat belia. Jika melihat dari fotonya mereka berumur belasan tahun tampaknya.

Para djongos tampak akrab dengan serdadu Belanda. Salah satunya tergambar dalam foto Harry yang tengah memberi makan burung merpati bersama Sersan Jansen.

Bij de duiven Serg Jansen en Harry te Poerbolinggo
By the way, para serdadu memang mempekerjakan para bocah karena pemuda-pemuda sulit dicari. Pemuda Bumi Perwira biasanya menjadi pejuang dan menyingkir untuk bergerilya. Selain itu, jika mempekerjakan para Pemuda mereka takut dimata-matai atau sewaktu-waktu diserang.

 

Sebagai informasi, para serdadu Belanda yang dikirim perang banyak yang masih berusia sangat muda. Hans Gerritsen, penulis buku De Hinderlag Bij Sindoeraja, yang sudah berpangkat letnan saat berdinas di Purbalingga, baru berumur 21 tahun. Jan Seekles yang tewas disergap pejuang di Sinduraja, masih 20 tahun, sebaya dengan PA Tazelaar.

 

Baca artikel penyergapan di Sinduraja di sini dan kisah Letnan Hans Gerittsen lainnya disini dan di sini

 

Nah, mereka juga biasanya belum berumah tangga. Kalaupun berumah tangga, biasanya dikirim tanpa didampingi istri mereka. Sebab, hanya tentara atau pejabat berpangkat tinggi lah yang datang ke Indonesia bisa membawa pasangan / keluarganya.

 

Oleh karena itu, selain djongos adapula baboe alias pembantu wanita. Mereka bertugas mengurusi tetek-bengek rumah tangga yang  biasanya dikerjakan perempuan, seperti, memasak dan merapikan rumah. Untuk mencuci, Belanda punya istilah sendiri, washbaboe.

 

Ini foto para baboe yang melayani keperluan serdadu Belanda di Purbalingga. Foto pertama empat orang baboe berpose dengan serdadu-serdadu Belanda di Bandara Wirasaba dan yang kedua seorang washbaboe di markas besar militer belanda di Poerbalingga (Kini menjadi Makodim Purbalingga)

Groepfoto op Vliegveld Wirasaba
Onze washbaboe op de achtergrond de stukken van 2-12 RVA en een cariier bokkenrijders Poerbolinggo
Pada baboe ini, tak jarang mereka juga kerap diminta untuk memenuhi hasrat para serdadu Belanda itu. Hal itu seperti disebutkan dalam tulisan di situs tirto.id berjudul 'Babu dan Jongos di Masa Kolonial Bikin Betah Tuan Eropa'.


Sebab mereka lajang, banyak pula yang menjalin romansa dengan gadis pribumi. Arie Opter contohnya, rekan Hans dan Tazelaar, memacari gadis Purbalingga. Ini fotonya saat mereka berpacaran di tanggul Kali Gringsing, Curgecang.

Arie Opter meet aan Javantje Poerbolinggo
Kisahnya sudah saya tulis Romansa Serdadu Belanda dan Gadis Purbalingga yang bisa dibaca di sini.


Kapiten Bosch, perwira KNIL juga menikahi gadis pribumi. Selain itu ada Hans Bruggman, pimpinan pabrik tembakau di Purbalingga juga menikahi perempuan Purbalingga bernama Dijem sampai memiliki empat orang anak.

 

Kisah Kapiten Bosch bisa dibaca di sini. Sedangkan tentang Hans Bruggman bisa dibaca di sini.

 

Selain djongos dan baboe, ada juga koeli, yaitu para pekerja. Koeli ini selevel lebih tinggi dari djongos. Mereka ini sebutan untuk para pekerja, baik yang bekerja sendiri maupun bekerja untuk Belanda, koeli contract.

 

Pada foto di bawah ini serdadu belanda bernama H Snaar sedang memangku monyet dengan lima orang koeli di Vliegveld (pangkalan udara) Wirasaba yang dipotret oleh Tazelaar. Keterangannya : H Snaar meet een aap en vijf koelies vliegveld Wirasaba.

Kira-kira begitu slurr kondisi sosial di Purbalinga saat perang kemerdekaan yang tergambar dari foto-foto jepretan Mas Tazelaar, serdadu Belanda yang pernah bertugas di Bumi Perwira. Ada baboe, djongos dan juga koeli

 

Kata-kata itu, dulu sering kali terdengar dan digunakan. Namun, maknanya peyoratif (bermakna lebih buruk/rendah) sehingga seiring perkembangan jaman, kata-kata itu sudah jarang digunakan dan diganti dengan kata yang dianggap lebih baik / sopan (amelioratif).

 

Sumber :

Keterangan dan koleksi Foto P.A Tazelaar di situs Belanda www.indieganger.nl dan artikel di kompas berjudul "Pekerja Rumah Tangga Pribumi" serta artikel tirto.id berjudul 'Babu dan Jongos di Masa Kolonial Bikin Betah Tuan Eropa'.

igo saputra Orang yang suka berkhayal dan berusaha membuatnya menjadi kenyataan. Jangan berhenti berimaji..

0 Response to "Djongos, Baboe dan Koeli daripada Belanda di Poerbalingga"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel