Serdadu Belanda, Gunung Slamet dan Ramalan Jayabaya

De Slamat in Werking Poerbolinggo : Gunung Slamet yang Sedang Aktif.
(Dok : Album Foto PA Tazelaar di www.indieganger.nl)

Gunung Slamet, gunung terbesar dan tertinggi kedua di Pulau Jawa mendapatkan tempat tersendiri di hati seorang serdadu Belanda yang pernah berdinas di Purbalingga pada Agresi Militer II, 1948-1950. Begitu pula tentang kehidupan sosial-budaya masyarakat yang hidup di sekitarnya.

Adalah Letnan Hans Gerritsen, serdadu itu. Ia menulis sebuah buku berjudul De Hinderlag Bij Sindoeradja yang berisi catatannya berdinas di nusantara, termasuk Purbalingga, selama kurang lebih 3 tahun.

Hans banyak menceritakan Gunung Slamet. Kemudian, P.A Tazelaar, rekannya pun banyak memotret gunung legendaris itu.

Foto di atas adalah salah satu jepretan Tazelaar tentang gunung itu. Pada gambar tersebut jelas terlihat gunung yang pada jaman Hindu-Budha dikenal dengan Gunung Agung itu tengah aktif. Ada kepulan asap di atas gunung tersebut yang cukup besar. Berdasarkan penelusuran aktivitas vulkanologi, pada 1949, Gunung Slamet memang erupsi cukup besar. 

Foto tersebut cukup langka. Saya baru melihat dari sumber ini saja tentang erupsi Gunung Slamet di tahun 1949.

Sebenarnya ada beberapa foto lagi koleksi Tazelaar tentang Gunung Slamet, sayangnya banyak yang ngeblur. Salah satu yang cukup jelas di bawah ini, keterangannya : het terrein voor het gebouw van het kamp in poerbolinggo, artinya, pemandangan di depan kamp di Poerbolinggo.

Pada Bukunya di Bab 8 : Patroullies, Hinderlagen en Acties atau Patroli, Penyergapan dan Aksi, Hans mengawali dengan menceritakan kondisi operasi di tengah aktifnya Gunung Slamet. 

Begini cerita Sang Letnan Belanda dalam bukunya :

Pada periode ini, hingga gencatan senjata pada pertengahan Agustus 1949, merupakan rangkaian patroli, penyergapan dan aktivitas tempur lainnya yang masif. Seiring berjalannya waktu, kami menghadapi tentangan yang semakin meningkat.

Kami beroperasi di wilayah di selatan Gunung Slamet, gunung berapi yang masih aktif, pemandangannya mendominasi lanskap. Saat kami melakukan perjalanan melalui persawahan atau menyusuri jalur kampung di kaki lereng gunung, kami terkadang tiba-tiba dikejutkan oleh gerimis abu vulkanik halus yang berputar-putar di atas kami dan menutupi seluruh lanskap dengan lapisan tipis bubuk abu vulkanis. Itu seperti salju yang mengapung kotor.

Kadang-kadang kami merasakan gempa bumi yang sangat ringan, tetapi itu tidak begitu penting. Gumpalan uap menggantung di atas puncak gunung berbentuk segitiga simetris hijau megah yang menonjol tajam di cakrawala. Keindahan alam dengan kemegahan yang luar biasa.

Semakin tinggi Anda di kaki lereng, semakin subur dan murni vegetasi itu dan semakin jelas pemandangan itu terlihat kepada kami. Meskipun dapat dimengerti bahwa kami tidak terlalu memperhatikan hal itu pada saat itu, namun, hal itu masih memengaruhi kami. Pemandangan itu tersimpan dalam ingatan kita.

Itulah sebabnya mengapa begitu banyak mantan tentara di tahun-tahun berikutnya ingin kembali lagi. Segalanya tampak begitu damai dan indah. Pegunungan, sawah hijau dengan fitur air berkilauan di bawah sinar matahari yang cerah, ladang jagung, kampung-kampung di bawah pohon kelapa yang tinggi, vegetasi dalam segala nuansa hijau.

Kemudian, Orang Jawa yang selalu ramah dan penurut dengan pakaian mereka yang didominasi sarung warna-warni.

Akan tetapi penampilan bisa menipu : tampak tenang diatas tetapi bergemuruh di bawah.

Situasi di Poerbolinggo sendiri keadaan relatif sepi selama ini, kecuali untuk beberapa kasus pembakaran sporadis ketika gencatan senjata akan disepakati. Kondisi di kota, kehidupan berjalan dengan sendirinya. Tidak ada tanda-tanda permusuhan di sana. Akan tetapi begitu, segera setelah kami mengambil beberapa ratus langkah di luar gedung, ternyata itu salah.

-0-

Selain mengenai Gunung Slamet, Hans juga mempelajari Budaya Jawa, bahkan dia tahu tentang Ramalan Joyoboyo / Jayabaya yang legendaris. Ramalan atau Jangka Jayabaya menurut cerita ditulis oleh Jayabaya, seorang Raja Kediri yang berkuasa pada abad ke-12. Nubuat itu populer di masyarakat Jawa dan dipercaya banyak terbukti kemudian. Salah satunya, tentang datang dan perginya penjajahan di nusantara, kemudian lahirnya Ratu Adil. Hans juga memahami bagaimana Soekarno memanfaatkannya untuk membangkitkan persatuan dan harapan rakyat Indonesia.

Ilustrasi Jayabaya (Dok : Jatim Times)
Tentang Ramalan Jayabaya dan kaitanya dengan Soekarno, Letnan Hans menulis seperti ini dalam bukunya di halaman 86 :

Di seberang jalan di seberang markas staf mengalir Kali Serajoe yang luas dan megah, sungai yang memainkan peran besar dalam semua jenis legenda Hindu-Jawa kuno. Yang paling terkenal adalah yang terkait dengan lenyapnya pemerintahan kolonial kulit putih : legenda pangeran yang saleh, 'Ratu Adil'.

Dalam kitab nubuatan Hindu tentang Djojobojo, yang dicatat oleh seorang suci dari Panjalu pada pertengahan abad ke-12, terdapat bagian berikut :

“Pada hari-hari ketika kereta bergerak tanpa kuda dan digantung di bumi, lalu orang kulit putih akan tinggal di Jawa. Orang kulit putih ini akan dipenjara oleh orang kulit kuning. Orang kulit putih akan menderita, tapi nanti mereka akan dibebaskan. Orang - orang cebol kuning [Orang Jepang] akan pergi, setelah itu masa-masa buruk. Kali Serajoe kemudian akan menjadi merah darah, tetapi waktu yang lebih baik akan datang, ditandai dengan panen yang melimpah. Kemudian,  Kerbau Putih [Orang Kulit Putih] juga akan kembali ke kandangnya”

Tidak diragukan lagi, Sukarno akan melihat dirinya sebagai 'pangeran yang saleh' dan Orang Jawa yang sederhana akan memikirkannya juga

-0-

Salah satu yang membuat salut orang Belanda adalah kemauan belajarnya. Hans, hanya 3 tahun di nusantara, termasuk di Purbalingga, namun catatannya lengkap. Ia pun banyak bejalar tentang sejarah, kondisi sosial dan budaya tempat yang dikunjunginya.

Buku Hans sangat kaya dan banyak memberikan informasi bagaimana kondisi di Indonesia dan Bumi Perwira khususnya saat perang kemerdekaan.

Tulisannya saya yang berdasarkan buku Letnan Hans sebelumnya bisa dibaca di sini, di sini, di sini, di sini dan di sini

Sumber :

Buku De Hinderlag Bij Sindoeradja, karya Hans Gerritsen, Baarn, Holandia, 1987. Special thanks to Torik Juned Bawazier di Amsterdam yang sudah mengirimkan buku tersebut.

igo saputra Orang yang suka berkhayal dan berusaha membuatnya menjadi kenyataan. Jangan berhenti berimaji..

0 Response to " Serdadu Belanda, Gunung Slamet dan Ramalan Jayabaya"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel