Kiprah Arsawikrama, Pejuang Kemerdekaan dari Karangklesem

Pesawat Cocor Merah (Dokumen : jejaktapak.com)
Raungan Pesawat Cocor Merah milik Belanda tiba-tiba terdengar nyaring di langit Desa Karangklesem. Setegukan teh kemudian desingan artileri menyalak. Peluru berhamburan bak deras hujan menghujam sebuah rumah joglo, kediaman sang kepala desa, Arsawikrama.

Woiii, luuuurrr.... ana Cocor Abang Landaaa. Metu kabeh sekang umah, mlebu maring bunker!!Cepeeet... Tiaraaap!!”, ujar Kapten Kusworo lantang.

Semua pejuang yang tengah berkumpul di rumah tersebut, juga Arsawikrama dan keluarganya, bergergas tangkas mengikuti instruksi Sang Kapten. Mereka segera menjauhi rumah dan bersembunyi di dalam bunker darurat yang dibangun oleh penduduk Desa Karangklesem.

“Door... dooor... blarr....blarrr..,” bunyi artileri yang dimuntahkan dari cocor merah terdengar berulang-ulang.

Sepenanakan nasi kemudian, usai raungan pesawat sudah pasti tak terdengar lagi, para pejuang dan penduduk yang bersembunyi kembali ke rumah joglo itu. Keadaannya sungguh mengenaskan. Atap rumah dan dinding rumah itu bolong-bolong diterjang peluru. Bagian dalam rumah porak poranda. Bau mesiu menyengat, asapnya pun masih mengepul.

Alhamdulilah, seluruh pejuang republik selamat, juga keluarga sang kepala desa. Naas, seorang warga yang tengah bertandang ke meninggal diterjang mitraliur yang disemburkan dari Cocor Merah.
Bentuk Pesawat Cocor Merah (Dok : Kompasiana)
Cocor merah adalah pesawat tempur andalan Belanda untuk menggempur pasukan republik saat agresi militer I dan II. Pesawat itu jenis Mustang P-40 Kitty Hawk yang pada bagian ujung rotonya dicat merah dan diberi lukisan moncong hiu. Oleh karena itu, pejuang kita menyebut momok mereka dari udara itu sebagai cocor merah

Ilustrasi yang saya gambarkan diatas adalah salah satu fragmen peristiwa yang terjadi pada perang mempertahankan kemerdekaan di Purbalingga. Belanda yang tak rela negeri ini merdeka datang lagi setelah Jepang takluk akibat di bom sekutu. Agresi mereka juga sampai ke Purbalingga.

Nah, salah satu basis perlawanan pejuang Purbalingga yang terkenal adalah di Karangklesem dengan Arsawikrama sebagai salah satu tokohnya. Selain Kepala Desa Karangklesem, Ia juga seorang penatus atau kordinator beberapa kepala desa sekaligus diantaranya Desa Karangklesem, Karangaren, Karangreja, Limbangan dan Cendana (Saat ini berada di Kecamatan Kutasari).

Arsawikrama sangat anti Belanda. Jejak perjuangan masih lekat dalam ingatan masyarakat setempat. Ia dengan gagah berani memimpin warga desa untuk merobohkan Jembatan Sungai Ponggawa (perbatasan Karangklesem – Karanggambas) demi menghambat laju Pasukan Belanda.
Arsawikrama (Dok : TACB Purbalingga )
Sang kepala desa merelakan rumah joglonya sebagai markas pejuang republik. Kesatuan yang kerap singgah di Rumah Joglo Arsawikrama adalah Kompi Pujadi dan Kompi Kusworo. Kedua kompi ini dikenal sering merepotkan Pasukan Belanda.

Kompi Kusworo, misalnya, pada 8 Juli 1949 menyerang pos-pos Belanda di Kutasari dan Kota Purbalinga. Selang 4 hari, 12 juli 1949 pasukan mereka menyisir dari kutasari ke Kalimanah dengan sasaran Ondernemingswacht alias penjaga perkebunan / gudang milik Belanda dan District Politie atau polisi kolonial yang bertugas di district / kecamatan.

Kompi Kusworo berserta Pasukan Pelajar IMAM (Indonesia Merdeka Ataoe Mati) juga menjadi aktor utama dalam Pertempuran Lamuk yang membuat tiga peleton tentara KNIL (Koninklijke Nederlandsch Indische Leger alias Tentara Kerajaan Hindia Belanda) dari Batalyon Infanteri XI Gajah Merah Kocar-Kacir.

Kisah Pertempuran Lamuk yang terjadi pada minggu ketiga Juli 1949 itu sudah saya tulis sebelumnya dan bisa dibaca di sini

Pasukan Kompi Pujadi juga dikenal tangguh dan dalam suatu pertempuran berhasil  meluluh lantakan pasukan lawan sekaligus menawan 6 serdadu Belanda totok. Tawanan itulah yang ditukar dengan 39 tawanan pejuang republik di Bobotsari pada 9 September 1949.

Kisah Pertukaran Tawanan di Bobotsari sudah saya tulis sebelumnya dan bisa dibaca di sini

Selain dua kompi tersebut, Pasukan Pelajar IMAM dari Regu Sumarmo juga kerap singgah di Rumah Joglo Arsawikrama. Pada tanggal 13 Juni 1949, pasukan pejuang bocah ingusan yang masih duduk di bangku sekolah setingkat SMP-SMA itu  dengan gagah berani menghadang Pasukan Belanda pimpinan Letnan Hans Gerritzen di Jalan Raya Kutasari.

Pasukan IMAM ini meski anggotanya abege namun keberanianya patut diacungi jempol. Pada Pertempuran Lamuk mereka juga berada di garis terdepan yang menyerbu ‘Andjing NICA’ saat menyebrang Sungai Pekacangan.

Kembali ke kiprah Arsawikrama. Ia memang tak tanggung-tanggung dalam membantu. Selain memfasilitasi markas, Pak Kades Republiken juga membuatkan bunker atau tempat persembunyian. Kemudian, rumahnya juga sekaligus gudang logistik. Istrinya yang mengkoordinir para wanita untuk mengumpulkan bahan pangan bagi pejuang.

Aktivitas di rumah joglo tu pun tercium mata-mata Belanda hingga terjadilah serbuan pesawat itu. Sabotase Belanda terhadap Rumah Joglo Arsawikrama tak hanya sebatas itu saja. Kaki tangan Belanda juga berusaha membakar rumah tersebut.

Alhamdulilah, meski sudah disiram minyak tanah, rumah itu tak sampai terbakar total. Api hanya melalap satu bagian kamar saja beserta kasur dan kelambunya. Telik sandi itu segera kabur setelah diketahui penduduk desa dan api berhasil dipadamkan.

Rumah Joglo Arsawikrama

Sampai saat ini rumah yang berada di Desa Karangklesem, Kecamatan Kutasari itu masih berdiri dan sudah ditetapkan sebagai Cagar Budaya Kabupaten Purbalingga dengan nomor induk objek benda OBPO2018030800017 melalui SK Bupati Nomor 432/226 Tahun 2018. Rumah yang dibangun pada 1927-1932 itu cukup megah pada masanya. Pasalnya, selain sebagai hoofd dessa (kepala desa), Arsawikrama juga seorang penatus. 
Rumah Joglo Arsawikrama (Dok : TACB Purbalingga)
Menurut Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kabupaten Purbalingga rumah itu mengusung model Joglo Hageng yang serupa dengan Pendopo Dipokusumo Purbalingga. Rumahnya berorientasi ke utara, yang terdiri dari pendopo dan rumah tinggal

Kerangka atap keseluruhan bangunan masih asli termasuk bagian plafon atau langit-langit yang terbuat dari gribig (sebutan lokal untuk anyaman bambu yang terbuat hanya bagian kulit luar bambu). Plafon bagian ruang pendopo masih terdapat lubang-lubang bekas terkena pecahan peluru artileri. Ruang pendopo juga terdapat struktur rong-rongan (umpak-soko guru-blandar pengeret-sunduk kili dan tumpangsari) yang masih asli.

Pada pendopo terdapat bagian pringgitan yang dibatasi gebyog kayu yang masih asli sebagai pembatas dengan ruang dalem. Pada bagian kanan dan kiri terdapat kamar-kamar atau senthong yang masih tertutupi gebyog. Kemudian di ruang dalem merupakan ruang tengah dan bagian kanan-kirinya diapit ruang kamar, senthong kiwo dan senthong tengen masing-masing dihubungkan pintu yang masih asli. Ruang ini juga terdapat rong-rongan yang masih asli.
Tampak Lubang Bekas Terjangan Peluru (Dok : TACB Purbalingga)
Pada bagian soko guru terdapat sambungan karena pernah roboh terkena ledakan artileri. Plafon bagian ruang dalem juga masih asli dan terdapat lubang-lubang karena tertembus peluru artileri. Plafon rong-rongan yang sudah dihias dengan bahan yang baru. Atap ruang dalem hingga belakang mengusung model limasan.

Bagian paling belakang dari rumah ini terdapat ruang-ruang kamar atau senthong. Terdapat tiga ruang, dua ruang sebagai kamar tidur dan bagian tengah merupakan ruang khusus untuk menyepi atau ritual tertentu.

Pada, 1956 rumah itu direnovasi dengan sebagian dinding gribig diganti dengan dinding beton. Sejak 2002 rumah ini tidak aktif dihuni lagi namun masih dirawat oleh para ahli warisnya.

Tak hanya berjuang mempertahankan kemerdekaan, Arsawikrama juga peduli dengan pembangunan keagamaan. Pada masa pemerintahannya, Ia mendirikan mushola yang kini sudah menjadi Masjid Al-Mutaqin, Desa Karangklesem.

Kursi Bekas Duduk Pakubuwono X

Ada salah satu peninggalan yang unik yang dulunya disimpan di rumah joglo ini, yaitu, sebuah kursi yang ditaruh di atas almari. Kenapa kursi itu spesial dan sampai ditaruh diatas almari?

Ceritanya begini. Jadi, kursi tersebut pernah diduduki oleh Susuhunan Surakarta Pakubuwono X saat berkunjung ke Purbalingga. Saat itu, Bupati Purbalingga Raden Mas Adipati Aryo Sugondo (1925 – 1949) yang mempersunting B. R. A Koesmartinah, anak dari Susuhunan Surakarta Pakubuwono X.

Bupati meminta agar setiap kepala desa membawa kursi ke pendapa, untuk menyambut tamu dari Kasunanan Surakarta bersama Kanjeng Sinuhun. Kursi yang dikirim Arsawikrama menjadi kursi yang sempat diduduki oleh  Pakubuwono X. Oleh karena itu, kursi tersebut disimpan dan diabadikan oleh pihak keluarga karena sempat diduduki oleh seorang sultan.

Saat ini, kursi tersebut kini disimpan oleh salah satu anggota keluarga Arsawikrama yang tinggal di Desa Ledug, Kembaran, Banyumas.

Kaya kue lur, kisaeh Mbah Arsawikrama sekang Desa Karangklesem. Kue pemimpin sing patut dicontoh... serr

Sumber :
Data Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kabupaten Purbalingga
Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya (cagarbudaya.kemendikbud.go.id)
Foto dan Story by @kurniawa.ganda1990 di Purbalinggaku
Buku Darah Gerilyawan : Jejak Perjuangan Gerilyawan Purbalingga (Tri Atmo)
Artikel saya sebelumnya soal Pertempuran Lamuk dan Pertukaran Tawanan di Bobotsari

igo saputra Orang yang suka berkhayal dan berusaha membuatnya menjadi kenyataan. Jangan berhenti berimaji..

0 Response to "Kiprah Arsawikrama, Pejuang Kemerdekaan dari Karangklesem"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel