Cerbung Babad Wirasaba (Bagian Satu) : Perjodohan

Kyai Dipati Wargautami Wirasaba Kacariyos

Pun Sakawan Putra Kathahe

Pembajeng Estri Sampun Akrami

Putraning Meranggi, Ing Kejawar Wau

 

Putrane Neng Guku Jalu Apekik Tinanem Ing Senon

Pan Katelah Ki Ageng Senone

Nulya Malih Putra Kang Samindhi

Nama Ki Ngabehi Wargawijaya

 

Ingkang Ginandhang Gentosin Liggih Anami Bupatos

Nunten Putra Esti Wuragile

Nun Warnane Pan Ayu Linuwih

Nanging Dereng Mawi Krami Semono Sang Ayu

 

Sang Dyah Wignya Sabarang Karsi Ngalu Ala Mraos

Nenun Lima Nyulam Miwah Nyongket

Sang Dyah Ayu Tan Anampik Karsi

Nate Meraboti, Ing Rama Lan Ibu

 

Rama Ibu Langkung Genya Asih Mring Putra Kang Sinom

Panjang Lamon Cinarayosoake

Duk Samana Pan Sampun Akrami

Kersane Sudarmi Angsal Kadangipun

 

Sanak Nanging Prenah Adhi Ingkang Dados Jodho

Ki Gedhe Toyareka Putrane

Pan Ndilalah Jodho Marang Adhi

Sang Dyah Ayu Elik Tan Atut Lan Kakung

-o-

Cublak-Cublak Suweng (Dok : Bobo)
Bagaskara beranjak ke peraduan sepenanakan nasi lalu. Sandekala sudah lewat. Sasadara mulai manjer kawuryan, sinarnya yang hangat mulai mengusir mega-mega. Purnama penuh hari kelima belas mulai menampakan diri, pelan tapi pasti semakin bersinar seiring malam yang semakin menanjak.

Kompleks pendopo Kadipaten Wirasaba tampak lebih ramai dari biasanya. Halamannya yang jembar, terang tertimpa sinar rembulan. Rerumputannya dipangkas rapi bak permadani empuk berwarna hijau, makin tampak mewah berkilauan, yang mengundang untuk menjatuhkan diri manja ke atasnya.

Ruang tengah pendopo tampak sumringah. Rembulan di luar dan lampu minyak jarak yang berderet di pilar-pilarnya membuat suasana malam seperti siang. Suara gending mengalun merdu. Penayagan menabuhkan gamelan dengan rancak, Sang Sinden nan ayu menyanyikan tembang sinom dengan nada ceria.

Sementara itu, ruang pringgitan sudah tertata rapi. Perabot kayu jati sudah mengkilap. Meja berhias bunga. Beraneka hidangan yang menggugah selera sudah cemawis. Pendopo Wirasaba sudah siap menerima tamu.

Tak lama kemudian, prajurit jaga regol depan pendopo tergopoh-gopoh mengabarkan tamu yang ditunggu sudah datang. Pesan berantai melalui ajudan, disampaikan ke tuan rumah, Adipati Warga Hutama. Segera, Sang Adipati dan garwa-nya diiringi keluarga dan para pembesar, keluar menyambut tetamu. Mereka adalah rombongan dari Kademangan Toyareka dengan Ki Gede Banyureka, Sang Demang, berjalan paling depan.

Saat melihat Sang Adipati menyambut, Ki Demang menyembah hormat. Segenap rombongan di belakangnya melakukan hal yang sama. Meski lebih muda dan juga masih berkerabat, orang di depannya adalah adipati, orang nomor satu di kadipaten yang harus Ia hormati. Toyareka yang dipimpin Ki Gede Banyureka adalah kademangan bawahan Wirasaba.

Kedua rombongan saling bertegur sapa di halaman pendopo. Akrab dan hangat. Usai saling bertukar kabar, adipati kemudian menyela.

“Mari Adimas Banyureka, kita ke langsung ke pringgitan, Adinda Kencana sudah menyiapkan hidangan istimewa” ujar Sang Adipati ramah.

“Baik Kangmas Adipati. Rasanya sudah lama banget saya tidak menikmati ingkung ayam dan sambel terasi racikan juru masak handal Wirasaba,” ujar Ki Demang.

“Ya, ya... ingkung ayam Wirasaba memang tiada duanya. Saya bisa habis nasi sebakul.. haha. Mari-mari, kita dhahar malam dulu. Sehabis itu baru rembug tua,” sambung sang Adipati.

Rombongan pun berjalan beriringan menuju pringgitan. Sementara itu, bocah-bocah dari kedua keluarga mengambil jalan lain. Mereka berhamburan ke halaman pendopo. Rembulan penuh dan cuaca yang cerah menjadi magnet untuk bergembira ria. Mereka berlarian kesana kemari. Bosan berlari-lari, lalu main cublak-cublak suweng, kemudian bermain sunda-manda. Sesudah permainan loncat-loncat itu, mereka kini bermain bentengan.

Bintang dari kumpulan bocah-bocah itu adalah Rara Sukartiyah, puteri bungsu Adipati Wargahutama. Selain busananya yang memang paling mewah. Bocah yang baru berumur sewindu itu juga memang sudah menampakan ke-jelita-annya. Kulitnya tak terlalu putih, tetapi cerah dan merona. Rambutnya panjang, hitam dan tebl. Matanya bak bintang kejora yang meskipun rembulan bersinar terang masih bisa menampilkan sinarnya. Tindak-tanduknya juga ceria. Menggemaskan.

Salah satu bocah lelaki, memandang penuh kekaguman kepada Rara. Ia selalu mengikuti gerak-gerik sang dara. Jika ada pembagian kelompok dalam permainan, Ia selalu ingin bersama dengan Rara. Jika harus berseberangan, Ia sengaja mengalah. Bocah itu adalah Bagus Sukra, anak Demang Toyareka. Usianya baru lepas satu dasawarsa.

Sementara itu, makan malam di pringgitan sudah usai. Kedua keluarga kini berpindah meja persamuhan. Adipati berada di ujung meja berhadapan dengan Ki Demang. Istri Adipati dan Nyai Demang ada di meja utama. Para kerabat mengelilingi meja, berjarak di belakangnya.

Setelah semua duduk, sesaat keheningan meraja. Ki Gede Banyureka kemudian memecahkan suasana.

“Kangmas Adipati, saya dan keluarga kesini pertama ingin mempererat tali silaturahmi. Sudah lama sejak pernikahan Ananda Joko Kaiman dan Rara Sukartimah kita sekeluarga Toyareka belum bertandang lagi,” ujar Demang Toyareka penuh hormat, lalu mengambil jeda sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya.

“Kedua, kami kemari untuk mengesahkan yang dulu kita berdua pernah berjanji, bahwa kita berdua akan menjadi besan. Begitu Kangmas Adipati”

Adipati Warga Utama menyimak dengan baik. Setelah menarik nafas panjang, Ia lalu menjawab.

“Adhimas Banyureka, saya jelas tidak lupa akan hal itu. Si bungsu Rara Sukartiyah anaku kini sudah sewindu umurnya. Anada Bagus Sukra juga sudah mulai tumbuh remaja. Perjodohan keduanya yang dulu pernah kita sepakati, mari kita ikat lebih erat. Kita berdua akan menjadi besan. Wirasaba dan Toyareka menjadi satu keluarga sekarang,” ujar adipati penuh wibawa.

Maturnuwun Kangmas. Kami sekeluarga sangat tersanjung bisa menjadi besan Keluarga Adipati Wirasaba,” ujar Ki Gede Banyureka dengan senyum sumringah. Nyai Banyureka pun tersenyum bahagia.

Sementara itu, di halaman pendopo, Rara dan Bagus tengah berhadapan dalam permainan bentengan. Mereka tak tahu bahwa nasib mereka sedang dibicarakan serius di pringgitan.

Rara yang jelita tapi tomboy dengan lincah berlari dan menerobos ‘benteng’. Bagus yang harusnya menjadi penjaga terakhir membiarkan Rara menyentuh bentengnya.

“Bentengg!!! Menang, kita menang!,” ujar Rara girang, lalu berjingkrak manja.

Bagus, meski kalah, justru tersenyum.

Permainan berakhir. Regu Rara, putri Adipati Wirasaba menang, Regu Bagus, putra Demang Toyareka kalah.


Bersambung...


Referensi : Serat Turunan Sejarah Wirasaba

igo saputra Orang yang suka berkhayal dan berusaha membuatnya menjadi kenyataan. Jangan berhenti berimaji..

2 Responses to "Cerbung Babad Wirasaba (Bagian Satu) : Perjodohan"

aryo said...

bagian selanjutnya pundi mas

aryo said...
This comment has been removed by the author.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel