HARI JADI PURBALINGGA PERNAH DIUBAH, PERLUKAH LAGI?

Alun-Alun Purbalingga Circa 1905 (Collectie Tropenmuseum)
Sedulur, ternyata Kabupaten Purbalingga kita tercinta sudah pernah mengubah Hari Jadi - nya lho. Apa dasarnya perubahan tersebut? Lalu, apakah kita perlu merubahnya kembali? Berikut ini ulasannya...

Sebagaimana kita ketahui dan kita peringati setiap tahunnya, Hari Jadi Purbalingga adalah 18 Desember 1830. Ternyata, sebelumnya bukanlah tanggal tersebut, melainkan pada 22 Januari 1829. Inilah versi pertama Hari Jadi kita yang ditetapkan melalui Peraturan Daerah (Perda) Seri D Nomor 6 Tahun 1988 tentang Penetapan Hari Jadi Kabupaten Purbalingga.

Kemarin, saya mendapatkan salinan Perda tersebut dengan bantuan Mas Achmad Sirojudin dari Dinarpus Purbalingga. Perda itu dibuat pada masa Bupati Purbalingga dijabat oleh Drs. Soekirman dan Ketua DPRDnya Karsono yang ditetapkan pada 5 Oktober 1988

Catatan ini cukup berharga karena menerangkan pertama kalinya Purbalingga menetapkan Hari Jadi. Ini juga membuktikan bahwa kabupaten kita pernah mengubah Hari Jadi – nya.

Hari Jadi kita yang sekarang ini adalah versi Peraturan Daerah (Perda) Seri D Nomor 7 Tahun 1996 tanggal 19 Nopember 1996 yang ditetapkan pada era Bupati Drs. Soelarno dan Ketua DPRDnya Drs. H. Harun Rais. Kalau dibandingkan dengan versi Perda 1988, Kabupaten Purbalingga lebih muda hampir 2 tahun.

Dasar Hari Jadi Purbalingga 22 Januari 1829

Menurut catatan risalah Perda 1988 yang disebutkan dibuat berdasarkan kajian sejak 1984, Hari Jadi Purbalingga merujuk pada peningkatkan status Purbalingga menjadi kabupaten mandiri. Tanggal 22 Januari 1829 itu adalah hari di mana turun keputusan Komisaris Jenderal Hindia Belanda Nomor 39 selaku Menteri Dalam Negeri Hindia Belanda Atas Nama Raja Belanda yang meningkatkan secara resmi status purbalingga menjadi kabupaten mandiri lepas dari kekuasaan Kabupaten Magelang*.

Saat itu, pertama kali diangkat Bupati Purbalingga beserta perangkatnya dengan batas-batas wilayah yang jelas.

Bupati Pertama Purbalingga yang diangkat Belanda adalah Raden Ronggo Joedo Negoro yang tadinya adalah Demang Purbalingga. Ia kemudian dinaikan pangkatnya menjadi Raden Toemenggoeng. Joedo Negoro didampingi seorang Patih bernama Raden Ing Ngabei Tirto Atmodjo dan Mas Merto Joedo sebagai Kliwon. Pemerintah Kolonial Belanda memberikan gaji Bupati sebesar f.400 (gulden), Patih f.60 dan Kliwon sebesar f.20. Saat itu, Purbalingga membawahi 169 desa.

Namun, Joedo Negoro ternyata seorang patriot. Ia kadung benci Belanda, maka, meskipun sudah diangkat sebagai Bupati justru mengorganisir pemberontakan. Oleh karena itu, tak sampai  dua tahun jadi Bupati, dirinya ditangkap pada 15 Desember 1830 dengan tuduhan mengumpulkan dana, senjata dan amunisi yang diberikan kepada pemberontak, yaitu, pasukan Pangeran Diponegoro. Setelah ditangkap, Joedo Negoro dibuang ke Pulau Timor.

Selanjutnya, berdasarkan keputusan Pemerintah Hindia Belanda Nomor 1 tanggal 22 Agustus 1831 diangkat pengganti Joedo Negoro, yaitu, Raden Mas Toemenggoeng Dhipo Koesoemo. Bersamaan dengan itu juga dilakukan pembagian distrik di bawah Kabupaten Purbalingga, yaitu : (1). Distrik Purbalingga (2). Distrik Sokaraja, (3). Distrik Kertanegara / Bobotsari dan (4). Distrik Cahyana / Pekiringan.

Dengan demikian, Bupati Purbalingga pertama adalah Raden Toemenggoeng Joedo Negoro yang diangkat pada 22 Januari 1829 dilanjutkan oleh Raden Mas Toemenggong Dhipo Koesoemo (Dipokusumo I) yang diangkat pada 22 Januari 1831 dan seterusnya.

Atas dasar hal tersebut kemudian ditetapkan Hari Jadi Kabupaten Purbalingga adalah Hari Kamis Manis tanggal 22 Januari 1829 atau 17 Rejab 1756 Ehe atau 17 Rajab 1244 Hijriah dengan Surya Sengkalanya : Trus Hangrenga Sariraning Aji dan Candra Sengkalanya : Krida Wisaya Wasitaning Budi

Hari Jadi Purbalingga Diubah

Setelah ditetapkan ternyata penetapan hari jadi tersebut banyak mendapat kritik dari masyarakat. Dasar penetapannya dinilai tidak sesuai dan tidak relevan sehingga publik saat itu mendesak untuk diubah. Gubernur Jawa Tengah saat itu sampai turun tangan dengan mengeluarkan Surat Nomor 180/01631 tanggal 4 Februari 1993 tentang Peninjauan Kembali Hari Jadi Kabupaten Purbalingga.


Pemkab Purbalingga yang saat itu dipimpin Bupati Drs. Soelarno dengan Ketua DPRD Drs. H. Harun Rais mengambil langkah untuk meninjau kembali hari jadinya dengan membentuk tim kajian. Kemudian, ditunjuklah Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) Universitas Gajah Mada (UGM) sebagai Tim Peneliti Kembali Hari Jadi Kabupaten Purbalingga pada 27 Juni 1995.

Setelah dilakukan kajian, hasilnya diseminarkan pada 14 Agustus 1966. Selanjutnya dibawa ke Sidang Paripurna DPRD dan ditetapkan menjadi Perda Nomor 7 Tahun 1996 Seri D No. 6 Tanggal 19 Nopember 1996 tentang Penetapan Hari Jadi Kabupaten Purbalingga.

Hari Jadi Purbalingga ditetapkan jatuh pada Sabtu Legi, 18 Desember 1830 atau 3 Rajab 1246 Hijriah atau 3 Rajab 1758 JE dengan Surya Sengkala : Sireping Rananggana Hangesti Praja dan Candra Sengkala : Anggelar Pakarti Sumujuding Hyang Wisesa.


Setelah ditetapkanya Perda 1996, maka, Hari Jadi 22 Januari 1829 yang ditetapkan berdasarkan Perda 1988 dinyatakan tidak berlaku lagi dan diganti dengan 18 Desember 1830.

Kejanggalan Hari Jadi Versi 22 Januari 1829

Pada penjelasan Perda 1996 hanya disebutkan hari Jadi Purbalingga diubah berdasarkan kritik dan desakan masyarakat yang merasa dasar-dasar penetapannya tidak sesuai dan tidak relevan. Risalah Perda 1996 tak menjelaskan detail apa itu dasar yang tak sesuai.

Kalau saya boleh menganalisis, memang ada beberapa kejanggalan pada dasar penetapan Hari Jadi versi Perda 1988. Pertama, yang paling mencolok adalah disebutkan Purbalingga ditingkatkan statusnya menjadi kabupaten mandiri yang lepas dari Kabupaten Magelang. Ini kurang pas karena Purbalingga sejak era Mataram atau kemudian beralih ke Belanda kaitannya selalu dengan Banyumas, bukan Magelang*.

Kejanggalan berikutnya. Joedo Negoro yang disebut menjabat Bupati Pertama tidak disebutkan dalam babad-babad dan catatan sejarah, kecuali catatan Perda 1988 ini. Hal yang tentu saja tidak cocok dengan Silsilah Bupati Purbalingga dari masa ke masa.

Bersasar dua hal tersebut di atas, tak mengherankan jika kemudian masyarakat mengkritisi dan mendesak untuk dtinjau ulang. Kemudian, lahirlah kajian peninjauan kembali dari LPM UGM tersebut yang dinilai sumber-sumbernya lebih pas, valid dan relevan yang menetapkan 18 Desember 1830.

Dasar utama dari kajian LPM UGM adalah Besluit Gubernur Jenderal Belanda Nomor 1 tanggal 18 Desember 1830 yang ditetapkan pasca berakhirnya Perang Diponegoro. Besluit tersebut menetapkan pengambilalihan wilayah-wilayah vorsetenlanden (Bekas Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta), yaitu, Kedu, Bagelen dan Banyumas oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Salah satunya termasuk Purbalingga resmi menjadi di bawah Pemerintahan kolonial Belanda, tak lagi menginduk ke Kasunanan Surakarta.

Kedua keraton pecahan Mataram itu terpaksa melepaskan wilayahnya karena sudah masuk dalam cengkeraman Belanda. Mereka sudah sangat tergantung kepada para meener landa itu, ditambah ‘hutang budi akibat diselamatkan’ dari Perang Diponegoro, sehingga tak kuasa menolak ketika satu per satu wilayahnya dipreteli untuk diambil alih Belanda.

Perlu Mengubah Hari Jadi Lagi??

Kalau menurut opini saya pribadi, dasar penetapan versi Perda 96 ini juga agak ‘unik’. Sebab, secara tidak langsung hari jadi kita merupakan tanda dimulainya penguasaan kolonial atas Purbalingga. ‘Keunikan’ berikutnya, penetapan hari jadi kok di masa bupati ketiga, bukan yang pertama.

Sebagai informasi, baik 22 Januari 1829 atau 18 Desember 1830 masuk era kepeimpinan Bupati Purbalingga ke III, Raden Tumenggung Brotosudiro (1811-1831). Catatan sejarah, babad ataupun foto-foto yang terpampang di Pendopo Kabupaten menyebutkan bahwa Bupati I adalah Arsayuda, putera Ki Arsantaka. Ia bergelar Raden Tumenggung Dipayuda III yang memerintah tahun 1759-1787.

Dipayuda III kemudian dilanjutkan oleh anaknya, Dipakusuma I sebagai adipati kedua (1787-1811). Setelah itu, baru kemudian Danakusuma yang bergelar Raden Mas Tumenggung Bratasudira menggantikan Dipakusuma I sebagai bupati ketiga yang memerintah tahun 1811-1831.

Nah, dengan ‘keunikan-keunikan’ ini, apakah perlu kita mengubah Hari Jadi lagi? Apa alternatifnya jika ingin diubah serta dasarnya apa?.

Memang pasti ada perdebatan. Dasar sebuah Hari Jadi di sebuah daerah, katanya seperti analogi siklus hidup manusia, bisa ditetapkan berdasarkan hari kelahirannya, hari dia menikah yang mensyahkan resmi menjadi sebuah keluarga, bahkan bisa hari pertunangannya atau hari perkawinan kedua orang tuanya.

Kajian-kajian para ahli saat itu yang menetapkan 18 Desember 1830 berdasarkan resminya Purbalingga menjadi kabupaten, juga alasan kelengkapan arsip yang tersedia. Jadi, seperti analogi manusia tadi, Hari Jadi Purbalingga bukan saat ‘lahirnya’ tetapi saat ‘menikahnya’.

Kalau berdasarkan lahir dan terbentuknya, Babad-Babad Purbalingga sudah menjelaskan dengan gamblang, Pendiri Purbalingga adalah ayah-anak, Ki Arsantaka dan Ki Arsayuda. Ki Arsantaka menyarankan kepada anaknya yang saat itu menjadi Ngabehi Karanglewas di bawah Kadipaten Banyumas untuk membentuk kadipaten sendiri. Adipati Banyumas Yudanegara III mengabulkan permintaan Arsayuda yang merupakan menantunya.

Atas petunjuk Ki Arsantaka, Arsayuda memindahkan pusat pemerintahan dari Karanglewas ke sebuah wilayah yang dianggap lebih subur dan strategis bernama Purbalingga. Sejak saat itulah, Purbalingga lepas dari Banyumas dan menjadi kadipaten yang tersendiri yang menginduk ke Kasunanan Surakarta.

Menurut catatan sejarah Purbalingga, pada dokumen yang katanya ada di Kantor Kesantanan Sidikoro, Baluwerti, Keraton Surakarta, peristiwa itu terjadi pada Hari Senin Legi, 26 Selo 1684 Tahun Ehe atau 23 Juli 1759. Saat itu dibangunlah alun-alun, rumah kadipaten serta segala sesuatunya yang berkaitan dengan pusat pemerintahan.

Jadi, kalau mendasari lahirnya, menurut saya hari dimana Arsayuda dan Arsantaka babad alas lebih pas untuk ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Purbalingga. Maka, Kabupaten Purbalingga seharusnya 71 tahun lebih tua dari versi yang ditetapkan Perda 1996.

Kemudian, jika menggunakan referensi sejarah lain, yaitu Babad Wirasaba, Kabupaten Purbalingga bisa jauh lebih tua lagi . Sumber ini menjelaskan adanya Peristiwa Mrapat Kadipaten Wirasaba yang sudah dijadikan dasar hari jadi kabupaten tetangga kita, Banyumas dan Banjarnegara.

Dok : FB Kadipaten Wirasaba
Peristiwa Mrapat terjadi di era Kasultanan Pajang yang diawali dari tragedi memilukan terbunuhnya Adipati Wargautama. Pasca tragedi itu, Jaka Kaiman sang menantu yang dipercaya untuk meneruskan kekuasaaan di Kadipaten Wirasaba membagi empat kekuasaan, yaitu, Kejawar, Pamerden, Banjar Petambakan dan Wirasaba.

Kejawar kelak menjadi Banyumas yang dipimpin Jaka Kaiman. Saudara iparnya Wirayuda memimpin Banjar Petambakan yang menjadi Banjarnegara, Pamerden dipimpin Wirakusuma yang sekarang berada di Cilacap dan Wirasaba diberikan ke Wargawijaya yang sekarang berada di wilayah Purbalingga.

Banyumas dan Banjarnegara menjadikan ‘Peristiwa Mrapat’ ini sebagai dasar penetapan Hari Jadi. Mereka menetapkan hari jadinya hampir bersamaan, hanya terpaut 4 hari, Banyumas pada 22 Februari 1571 sementara Banjarnegara pada 26 Februari 1571. Tahun 2021, kedua kabupaten itu sama-sama berusia 450 tahun.

Jika Banyumas dan Banjarnegara mendasari terbagi empatnya Wirasaba sebagai hari jadi, rasanya Purbalingga juga sangat berhak. Sebab, meskipun Wirasaba lalu meredup pasca mrapat dan hanya menjadi desa, lokasinya ada di Purbalingga

Uniknya, Banyumas dan Banjarnegara juga pernah merevisi hari jadinya. Kabupaten Banyumas mengubah hari jadinya pada 2015 lalu dari 6 April 1582 menjadi 22 Februari 1571. Sementara, Kabupaten Banjarnegara malah baru 2019 mengubah hari jadinya dari 22 Agustus 1831 menjadi 26 Februari 1571.

Sebelumnya, kabupaten yang dikenal dengan dawet ayunya itu sama dengan Purbalingga, mendasarkan ulang tahun pada Besluit Gouverneur General Pemerintah Kolonial Belanda. Setelah melakukan kajian terutama berdasarkan pada Babad Wirasaba dan Naskah Kalibening mereka merubahnya merujuk kepada Peristiwa Mrapat.

Pada penjelasan resmi Pemkab Banjarnegara mengenai alasan diubahnya hari jadi berbunyi demikian : "Peringatan hari jadi pada tanggal sebelumnya 22 Agutus 1831 merupakan tanda dimulainya kekuasaan Kolonial Belanda secara administratif terhadap Banjarnegara. Berbeda dengan tanggal 26 Februari 1571 ini jauh sebelumnya dan memiliki spirit nasionalisme dan patriotisme".

Jadi, tak tabu kok merevisi hari jadi sebuah kabupaten. Kita sudah pernah melakukanya. Kedua tetangga kita sudah melakukanya dengan spirit untuk meletakan pada dasar sejarah yang lebih valid dan lebih tepat.

Lalu, Apakah Kabupaten Purbalingga akan mengubah hari jadinya lagi??

Salam Purbalingga Perwira... Ahaii... Serrr...

Sumber :

1.    Peraturan Daerah Seri D Nomor 6 Tahun 1988 tentang Penetapan Hari Jadi Kabupaten Purbalingga

2.    Peraturan Daerah Seri D Nomor 7 Tahun 1996 tentang Penetapan Hari Jadi Kabupaten Purbalingga

3.    Kajian Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) Universitas Gajah Mada (UGM) Tahun 1996 sebagai Tim Peneliti Kembali Hari Jadi Kabupaten Purbalingga

4.    Buku ‘Purbalingga dari Masa ke Masa’ karya Pak Tri Atmo

5.    Sepak terjang Ki Arsantaka dan anaknya dalam mendirikan Purbalingga bisa dibaca pada tulisan saya sebelumnya di link ini.

6.    Tragedi yang berakibat terbagi empatnya Kadipaten Wirasaba bisa dibaca pada tulisan saya sebelumnya di link ini.

 

igo saputra Orang yang suka berkhayal dan berusaha membuatnya menjadi kenyataan. Jangan berhenti berimaji..

0 Response to "HARI JADI PURBALINGGA PERNAH DIUBAH, PERLUKAH LAGI?"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel