GUGURNYA PUJOWIYOTO

Lukisan Perjuangan (Dok : Pinterest)
Keheningan pagi itu terkoyak oleh deru kendaraan militer disusul derap laras sepatu serdadu. Suara senapan menyalak, umpatan, sumpah serapah, pekik penyemangat dan jerit kesakitan kemudian bersahut-sahutan. 

Hari itu, 2 Januari 1949, kumpeni Belanda menggelar patroli besar-besaran di wilayah Desa Mipiran, Karangreja, Kalitinggar, Limbangan, Karangklesem, Karanggambas, Purbayasa, Kutasari dan sekitarnya. Para ‘Andjing NICA’ itu menyasar tempat-tempat yang dicurigai menjadi markas atau persembunyian Pejuang Republik. Rumah-rumah digeledah. Penduduk yang dicurigai sebagai gerilyawan digelandang, jika melawan dihajar tanpa ampun.

Meskipun agak terlambat, aksi tentara landa hari itu sudah diketahui oleh pihak republik. Oleh karena itu, mereka segera mengkoordinasikan perlawanan yang dipimpin oleh Poedjowijoto (Pujowiyoto). Ia seorang mantan guru yang kemudian diangkat menjadi Camat Darurat Kalimanah oleh Pemerintah Republik. Selain pejabat, Pujowiyoto juga komandan para pejuang.

Catatan : Saat itu Kecamatan Kalimanah membawahi 31 desa yang saat ini ada masuk dalam 3 kecamatan, yaitu, Kecamatan Kalimanah, Padamara dan Kutasari.

Para pejuang dibawah komando Pujowiyoto menghadang patroli Belanda dengan gagah berani, meski dengan persiapan mendadak dan perlengkapan ala kadarnya. Rakyat pun bahu membahu membantu di belakang mereka.

Pertempuran berlangsung sengit. Belanda sempat kewalahan mengadapi serangan hit and run para gerilyawan. Namun, keunggulan persenjataan Belanda tak bisa dipungkiri. Perlawanan Pasukan Republik berhasil dipatahkan. Mereka berbalik terdesak hebat. Pujowiyoto pun mengeluarkan perintah untuk menyingkir.

Nah, dalam gerak mundur itu, regu kecil yang di dalamnya ada Pujowiyoto menjumpai Pasukan Belanda yang menyamar sebagai pejuang di areal persawahan sebelah utara Desa Mipiran. Pujowiyoto dan pasukannya tanpa curiga mendekat dan bahkan melambaikan tangan untuk saling memberi kode

Catatan : Pasukan Belanda banyak anggotanya merupakan penduduk pribumi. Pejuang menyebut mereka ‘Andjing NICA’ atau ‘Landa Ireng’. Seringkali mereka menyamar untuk mengelabui para pejuang.

Setelah dalam jarak dekat, secara pengecut regu pejuang gadungan itu menembaki Pujowiyoto dan pasukannya. Banyak yang bertumbangan, termasuk guru, camat yang juga pejuang itu tubuhnya ambruk diterjang berondongan peluru. Darahnya tumpah membasahi ibu pertiwi yang dicintainya.

Poedjowijoto pun gugur sebagai kusuma bangsa.

Matahari sudah mulai tergelincir. Pasukan Belanda kembali ke markasnya. Sepanjang perjalanan pulang, mereka mengobral kekejian. Tanpa pandang bulu, penduduk yang ditemui ditembaki membabi buta. Hari itu, puluhan warga Mipiran dan sekitarnya gugur membersamai Pujowiyoto.

-o-

Pujowiyoto lahir pada Kamis Pon, 12 Juli 1917 di Desa Mipiran (Saat ini masuk di Kecamatan Padamara). Ia termasuk kalangan terpelajar sehingga dipercaya menjadi guru Sekolah Rakyat yang berada di Desa Kalimanah Wetan.

Menurut kesaksian rekannya sesama guru, Pujowiyoto merupakan guru yang berdedikasi. Ia pulang pergi mengajar dengan berjalan kaki dengan membawa tas kulit kumal berisi buku-buku pelajaran yang ditenteng atau dikempit di ketiaknya. Ya, mirip Guru Omar Bakri dalam gambaran lagu Iwan Fals...

Ia guru yang cukup disegani oleh murid-muridnya. Pujowiyoto dikenal tegas namun humanis. Pujowiyoto jago main sulap dan itu digunakan untuk mengajar. Suatu ketika, Ia memberikan pelajaran berhitung. Muridnya ditugaskan menulis angka pada selembar kertas secara rahasia. Pujowiyoto menebak angka-angka yang ditulisnya dengan tepat.

Rupanya ada seorang murid bengal bernama Misban yang berlaku kurangajar. Bukan angka yang ditulis dikertas, melainkan kata 'kon... eh, alat kelamin pria. Misban pun dihukum berat sehingga jera.

Oawalah Misban... Misban...., kayane ukumane dibalang penghapus, disabet tuding, dikongkon njanggeng sikil siji tangane njewer kupinge dewek, terus kon mlayu keliling lapangan terus dipe..

Selain itu, Pujowiyoto juga pandai mendongeng. Ia banyak menceritakan kisah-kisah pewayangan dengan pesan moral kepada murid-muridnya.

Karir guru Pujowiyoto berakhir saat Indonesia merdeka lalu datang Agresi Militer Belanda. Ia diangkat oleh Pemerintah RI sebagai Camat Darurat Kalimanah. Saat itu, pemerintah Belanda juga mengangkat camat sendiri yaitu Raden Soemardi yang disebut dengan Camat RECOMBA.

Catatan : Saat berlangsung Revolusi Kemerdekaan memang ada dualisme pemerintahan, yaitu, versi Republik dan pemerintahan versi Belanda yang disebut Regeringscommissaris voor Bestuursaangelegenheden (RECOMBA). Oleh karena itu, ada dua versi pimpinan wilayah, misal, ada Bupati Republik ada Bupati RECOMBA begitu pula level di bawahnya seperti camat, bahkan lurah. (Penjelasan ada di tulisan saya sebelumnya yang bisa dibaca di sini)

Sebagai camat darurat republik, Pujowiyoto tak punya kantor tetap. Apalagi Ia juga pimpinan pejuang, maka, Pujowiyoto berpindah-pindah desa untuk menghindari intelejen Belanda. Dalam menjalankan tugasnya, Pujowiyoto dibantu oleh staf bernama Siswo Sumarto dan Marto Suparno. Kalau rekan pejuang ada Kisam (Kades Limbangan), Sumarto (Marto Jenggot), Kamsi dan lainnya.

Pujowiyoto mengorganisir perlawanan di wilayahnya. Ia memimpin langsung pertemuan-pertemuan pejuang untuk merencanakan sabotase dan perlawanan terhadap Belanda. Pujowiyoto juga membentuk Front Padi Perjuangan yang bertugas untuk mengumpulkan perbekalan dan bahan makanan bagi para pejuang.

Serangan dan sabotase yang dipimpin oleh Pujowiyoto cukup merepotkan Belanda. Ia menjadi incaran telik sandi musuh. Salah satu mata-mata pribumi yang tekenal bernama Blaur. Banyak pejuang di wilayah Padamara dan sekitarnya yang ditangkap berkat informasinya. (Bisa baca tulisan saya sebelumnya Geger Padamara di sini)

Patroli besar-besaran Belanda itu pun di duga berkat informasi Blaur. Sampai akhirnya, Ia gugur di ‘Palagan Mipiran’ yang merupakan desa kelahirannya.

Sepeninggal Pujowiyoto, 13 Maret 1949, kepala-kepala desa se-Kecamatan Kalimanah menggelar rapat di Desa Kalitingar. Mereka berembug untuk memilih pengganti Pujowoyoto. Hasilnya, terpilih Marto Suparno sebagai penggantinya

Sebagai bentuk penghargaan, Pujowiyoto saat ini diabadikan sebagai nama jalan di Kelurahan Purbalingga Wetan.

Kaya kue lur, salah sawijining kisah pahlawan sekang Purbalingga. Siki dewek wis merdeka ya mayuh pada menghargai jasa para pahlawan sing wis berkorban gemiyen...

Ahai.. Serr..

Tulisan tersebut diolah dari sumber berikut :

1.    Buku ‘Tokoh-Tokoh Purbalingga’ karya Tri Atmo dimana penulis turut sebagai kontributornya.

2.    Buku ‘Darah Gerilyawan : Jejak Perjuangan Gerilyawan Purbalingga’ karya Tri Atmo

 

Catatan :

1.    Saya dan Alm. Pak Tri Atmo sama-sama mengampu Tabloid Kabare Bralik (2010-2016) dan sering berdiskusi sejarah dan legenda Purbalingga

2.    Sampai sekarang saya belum mendapatkan foto Pujowiyoto dan tulisan mengenai kepahlawanan beliau baru saya temukan sumbernya di dua Buku Pak Tri Atmo itu.

igo saputra Orang yang suka berkhayal dan berusaha membuatnya menjadi kenyataan. Jangan berhenti berimaji..

1 Response to " GUGURNYA PUJOWIYOTO"

Unknown said...

Terima kasih Pak, sudah berbagi. Saya cukup lama mencari tau tentang sejarah beliau (Bapak Pujo Wiyoto) ternyata seorang pejuang dari Purbalingga

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel