Geger di Padamara

Seri Cerita Perjuangan Kemerdekaan di Purbalingga
Ilustrasi Pejuang Kemerdekaan (Dok : merdeka.com)
Perjuangan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia juga berlangsung di Purbalingga. Rakyat Bumi Perwira turut bergolak menolak bercokolnya kembali penjajah di Bumi Pertiwi.
Salah satu fragmen dalam perjuangan rakyat Purbalingga melawan ‘Kompeni Belanda’ itu terjadi di sekitar wilayah Desa Padamara dan Kalitinggar (Saat ini masuk wilayah Kecamatan Padamara, dulunya Kecamatan Kalimanah).

Fragmen itu bagi saya menarik karena tak hanya mengisahkan pertempuran bersenjata dan kepahlawanan, ada kisah perteliksandian, juga kesalahpahaman yang mengharu biru.

Saya meramu kisahnya dari buku karya Almarhum Pak Tri Atmo, Sejarawan Purbalingga yang berjudul : ‘Darah Gerilyawan : Jejak Perjuangan Gerilyawan Purbalingga’. Saya bersama Pak Tri Atmo, dulu sama-sama mengampu Tabloid Kabare Bralink dan sering berdiskusi soal sejarah dan legenda Purbalingga.
purbalingga
Buku Darah Gerilyawan (Dok.Pribadi)
Cerita itu dimulai pada Minggu, 3 Agustus 1947, Pasukan Belanda mengadakan patroli jalan kaki ke Padamara. Sesampai di pasar, seorang Pasukan Belanda berkulit hitam menembak mati pengunjung pasar yang di duga pejuang republik. Sorenya, patroli Belanda kembali menggrebek desa-desa di Kecamatan Kalimanah. Pada kesempatan itu mereka menembak seorang penduduk Padamara bernama Yaswan.

Sejak peristiwa itu, Padamara dan sekitarnya geger, penduduk mejadi takut dan waspada. Penjagaan diperketat di kampung-kampung oleh barisan laskar dan pemuda. Namun, tak jarang kewaspadaan itu juga berujung salah paham.

Misalnya, pada 26 Agustus 1947, seorang bernama Hadipura asal Desa Gembong, Bojongsari ditembak pemuda saat sedang mengungsi ke Desa Kalitinggar. Mereka berselisih paham dan Hadipura dikira mata-mata Belanda. Kemudian di Pasar Silado, yang berbataan dengan Desa Kalitinggar, seorang penjual gula merah bernama Raji juga menjadi korban amuk masa karena dikira telik sandi Belanda.

Kejadian-kejadian tersebut membuat kewaspadaan semakin meningkat. Pimpinan pejuang menginsruksikan untuk hati-hati agar tidak mengulang peristiwa yang menyebabkan korban bangsa sendiri.

Pada Jumat Pon, 29 Agustus 1947 terjadi lagi kesalahpahaman saat ada orang tak dikenal ikut Sholat Jumat di Desa Kalitinggar. Apalagi, Ia mengatakan sedang mencari Anggota Laskar Hisbulah atau TNI dan gerak geriknya mencurigakan. Orang itu yang mengaku bernama Sahudi dari Sokaraja Lor kemudian dihadapkan kepada pimpinan pejuang, Marto Suparno.

Saat ditanya, jawabannya ngawur dan ketakutan sehingga pemuda langsung akan menghakiminya. Beruntung Marto Suparno dapat menenangkan situasi dan tak ingin peristiwa sebelumnya terulang. Ia pun melindungi orang tersebut di rumahnya dan tak menyerahkannya ke pemuda.

Tak puas, sorenya, rombongan pemuda datang lagi ke rumah Marto Suparno dan kembali akan menghakiminya. Melihat suasana memanas, Marto Suparno bertindak tegas. Ia tampil ditengah masa dan berteriak lantang.
“Saudara-saudara sekalian, berhubung yang menangkap mata-mata ini adalah saya, maka sayalah yang akan memotong lehernya dengan tangan saya sendiri. Oleh karena iru, saudara-saudara pemuda yang saya hormati dan cintai, berjaga-jagalah dikelompok masing-masing. Merdeka! Selamat Berjuang!”
Setelah mendengar Marto Suparno, satu demi satu pemuda reda amarahnya dan kembali ke posnya masing-masing.

Malamnya, diadakan rapat antara Kades Kalitinggar Sudirjo, Kadus Satrowirejo dan Marto Suparno selaku pimpinan laskar. Mereka menginterogasi Sahudi lagi dengan suasana lebih santai. Saat itu, sambil menangis tersedu, Sahudi menjelaskan bahwa dirinya sedang mengungsi, sementara anak istrinya dititipkan di rumah Rosidi, Sambeng Kulon.

Akhinya, Sahudi diantar ke Sambeng Kulon dan ternyata pengakuannya benar. Istri dan anaknya pun menyambut penuh haru karena mengira tak akan berjumpalagi dengan Sahudi.

Kalitinggar dan Padamara yang menjadi pusat kejadian lokasinya berdekatan (Dok : KotaKita.com)
Pada 1 September 1947, Belanda semakin mengintensifkan penjagaan di Padamara dan sekitarnya. Mereka membangun pos di rumah Haji Ngali di Desa Padamara yang ditinggal penghuninya. Adanya pos ini membuat Belanda makin menjadi-jadi. Hampir tiap hari ada penangkapan pemuda yang diduga pejuang sehingga penduduknya banyak yang mengungsi.

Pada 7 September 1947 patroli Belanda masuk rumah Kasan Mochamad (70 tahun). Ia selamat namun, keponakanya yang bernama Nakirun (19 Tahun) ditembak mati. Mereka juga masuk di rumah Kasmeja dan Suryowirejo. Keduanya dibawa ke Purbalingga dan dijebloskan ke penjara.

Patroli juga masuk ke rumah Sastrowirejo (60 tahun), seorang Bau / perangkat, Desa Padamara. Ia tidak diapa-apakan, namun pembantunya yang bernama Wiradipa (50 tahun) ditembak mati.

Penculikan juga terjadi pada 14 September 1947 di Desa Kalitinggar. Ranasemita dan ayahnya Tirtawireja ditangkap. Keduanya tak jelas rimbanya dan tak pernah kembali.

Masih di wilayah Kecamatan Kalimanah, yaitu Desa Sidakangen. Sepasukan Belanda melakukan penggrebekan karena kehilangan senjata yang disimpan di mobil patroli saat mobil dicuci di Sungai Ponggawa. Pada penggrebekan itu, seorang warga bernama Mochamad ditembak mati saat ditemukan bersembunyi di bawah kolong tempat tidur.

Kejadian demi kejadian itu membuat para pejuang di Kecamatan Kalimanah merapatkan barisan. Mereka kemudian berkumpul di Desa Mipiran dipimpin Camat Darurat Pujowiyoto yang dihadiri pejuang dan kepala desa se Kecamatan Kalimanah. Pada rapat itu, Pujowiyoto ditunjuk sebagai pimpinan didampingi Siswosumarto dan Marto Suparno.

Marto Suparno ditugaskan memimpin laskar untuk mengadakan sabotase dan gerilya terhadap Belanda. Ia juga membentuk Front Padi Perjuangan (FPP) untuk menghimpun perbekalan bagi pejuang.FPP meminta kepada penduduk jatah padi 50 kg setiap seluas 1 bau (0,5 ha). Penyimpanan padi di tempat penduduk dan akan diambil jika dibutuhkan. Bantuan mengalir deras sehingga pejuang tak pernah kekurangan makanan.

Pada setiap perjuangan, ada saja penghianat. Salah satu yang terkenal di wilayah kecamatan kalimanah adalah seorang bernama Blaur, asal Karangturi, Sumbang, Banyumas. Atas petunjuk dia lah pejuang banyak yang kemudian diketahui persembunyianya dan ditangkap Belanda. Contohnya, Sakian Siswowiejo dan Madwireja Nyakiman yang ditangkap atas aduan Blaur pada 23 September 1947.

Blaur pun diincar pejuang republik untk dihabisi. Namun, Ia cukup cerdik dan selalu tidur di Pos Belanda.

Para pejuang tak tinggal diam melihat kesewenang-wenangan Belanda. Mereka sering melakokan serangan sporadis dengan metode gerilya. Salah satu penyerangan pejuang republik yang cukup terkordinasi dilaksanakan pada 26 September 1947. Sasarannya Pos Polisi Belanda di Padamara.

Malam hari, pejuang menyerang Pos Belanda sampai kewalahan. Mereka pun meminta bantuan dari Purbalingga. Mobil Patroli dan Lapis Baja pun diturunkan. Pejuang gantian kewalahan dan mundur. Pasukan Belanda mengejar namun terhalang jembatan yang sudah dihancurkan pejuang.

Para pejuang menyingkir ke Dukuh Kaligawe, Kalitinggar. Kemudian menyingkir kembali ke utara sampai di Desa Limbagan dan Candiwulan, Kecamatan Kutasari.

Pada pertempuran di malam itu, satu orang pejang bernama Sudrajat gugur sebagai kusuma bangsa. Tak diketahui korban dari pihak Belanda.

Itulah sekelumit kisah perjuangan mempertahankan kemerdekaan NKRI di Purbalingga. Supaya gampang diingat, peristiwa itu saya sebut dengan ‘Geger Padamara’.

Salam hangat dan selamat puasa lurr...

Special thanks kagem Almarhum Bapak Triatmo 
Bapak Tri Atmo (Dok : Blog Mbak Engky)
(05 Juni 1940 – 26 Juli 2016)

igo saputra Orang yang suka berkhayal dan berusaha membuatnya menjadi kenyataan. Jangan berhenti berimaji..

0 Response to "Geger di Padamara"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel