BOBOTSARI LAUTAN API

Zo doen we dat als we beschieting uit een kampong krijgen Dit is tussen Poerbolinggo en Bobotsari ligt ong 10 km uit elkaar / Beginilah cara kami melakukan aksi di kampung. Jarak antara Poerbolinggo dan Bobotsari sekitar 10 km (Album Foto PA Tazelaar di www.indigangers.nl)
Republik Indonesia sudah berdiri. Kemerdekaan telah diproklamasikan. Tentu saja tak sudi kita dijajah kembali, maka, seluruh nusantara termasuk rakyat Purbalingga bangkit melawan saat Belanda melaksanakan Agresi Militer. Tentara, pejuang, laskar dan rakyat bahu membahu melawan kumpeni.

Salah satu peristiwa heroik perjuangan semesta rakyat ‘Bumi Perwira’ terjadi di Palagan Bobotsari, tepatnya yang kini masuk di wilayah Desa Karangmalang, Majapura, Banjarsari dan sekitarnya. Saat itu, perlawanan sengit pejuang republik mampu merepotkan Belanda sehingga mereka menyerang membabibuta dan melakukan pembakaran yang menyebabkan peristiwa ‘Bobotsari Lautan api’.

Kisah tersebut diceritakan dua orang veteran perang yang merupakan warga Desa Karangmalang, Kecamatan Bobotsari. Pertama, Bapak Parna anggota Barisan Bengseng Soeci (BBS), salah satu elemen laskar yang anggotanya para narapidana / pelaku kriminal (bengseng) yang dibebaskan dari penjara untuk ikut membantu TNI. Kedua, Bapak Rasian mantan prajurit Kompi I, Bataliyon III yang dipimpin oleh Kapten Jaenal Bagong.

Hasil wawancara dengan kedua mantan pejuang itu terangkum dalam buku ‘Dengan Semangat Jenderal Soedirman : Purbalingga Berjuang dan Membangun’ karya Mayor (Purnawirawan TNI) Pdt. Dr. A. Abu Arifin, anggota pasukan pengawal Panglima Besar Jenderal Soedirman (Halaman 57-71).

Saya kemudian mencoba merangkainya dengan data-dokumentasi Belanda yang menggambarkan peristiwa-peristiwa Agresi Militer Belanda I dan II di wilayah Bobotsari dan sekitarnya. Hasilnya, saya gambarkan peristiwa ‘Bobotsari Lautan Api’ sebagai berikut :

Een stukje natuur tussen Poerbolinggo en Bobotsari / Sepotong Pemandangan Alam antara Purbalingga dan Bobotsari (Album Foto P.A Tazelaar di www.indiganger.nl) 
Distrik Bobotsari, pada era pendudukan Belanda dan sampai sekarang memang strategis. Wilayahnya itu merupakan ‘kota satelit’ yang dilalui jalur untuk menuju Pemalang di utara maupun Banjarnegara di timur atau sebaliknya jika akan menuju ke Banyumas dan sekitarnya. Maka, untuk memudahkan mobilisasi, Bobotsari wajib dikuasai.

Oleh karena itu, baik pihak Belanda maupun pejuang republik mati-matian untuk mempertahankan atau merebut Bobotsari. Misalnya, saat Agresi Militer I Juli 1947, Pasukan Belanda yang mau merangsek ke Kota Purbalingga via Belik (Pemalang) dihambat habis-habisan saat melewati wilayah Bobotsari. Jalan-jalan disabotase untuk menahan gerak laju konvoi militer Belanda.

Sabotase Rakyat Menghalangi Gerak Laju Pasukan Belanda (Album Foto Sold G Tulp di www.indigangers.nl)
Setelah berhasil menduduki Purbalingga dan merebut Pangkalan Udara Wirasaba, Tentara Belanda masih kerap menghadapi gangguan. Mereka relatif aman hanya di wilayah perkotaan. Sementara daerah pinggiran, termasuk Bobotsari, masih dikuasai republik.

Hal ini tentu saja berbahaya bagi keselamatan serdadu Belanda dan antek-anteknya. Pada malam hari, mereka kerap mendapatkan serangan sporadis yang ditujukan ke markas dan pos militer Belanda. Siang harinya, para pejuang juga tak segan menggangu patroli mereka jika sudah sampai di wilayah pinggiran.

Selain itu, untuk menyulitkan gerak Pasukan Belanda dengan berbagai kendaraan tempurnya, pejuang dibantu rakyat masih melanjutkan aksi sabotase. Jalan-jalan dirusak, jembatan dihancurkan, pohon-pohon ditumbangkan dan dipasang melintang jalan.

wegsversperringen / penghalang jalan (Album Foto Sold G Tulp di www.indigangers.nl)
Belanda sangat kerepotan dengan aksi pejuang dan rakyat Bobotsari ini, maka, untuk membereskannya operasi 'penertiban' dilancarkan. Pertama, untuk memperbaiki jalur transportasi yang disabotase, Belanda memaksa para tawanan dan rakyat untuk kerja rodi. Kedua, patroli-patroli gencar digelar.

Op patrouille tussen Poerbolinggo en Bobotsari / Saat patroli antara Poerbolinggo dan Bobotsari (Album Foto P.A Tazelaar di www.indigangers.nl)
Suatu hari, untuk menggempur posisi Pasukan Republik di Bobotsari, Belanda menggelar patroli besar-besaran. Kekuatanya tidak main-main. Seluruh kesatuan dikerahkan. Ada pasukan KNIL(Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger) yang didalamnya banyak terdapat prajurit pribumi, juga ada pasukan KL (Koninklijke Landmacht) yang bule totok. Kemudian, didukung dengan pasukan artileri 2-12 RVA (Regiment Veldartillerie). Lalu, masih ada angkatan Udara Lucht Strijd Krachten (LSK) Lanud Wirasaba juga siap sewaktu-waktu dibutuhkan.

Iring-iringan Pasukan Belanda berangkat pagi hari saat mentari baru beranjak dari peraduannya. Ratusan serdadu KNIL ber-badge ‘Gajah Merah’ diangkut menggunakan truk meluncur dari Purbalingga. Gerak pasukan infanteri ini diikuti kavaleri berkekuatan panser dan tank tempur serta kesatuan artileri medan di belakangnya.

Perjalanan mereka dari Purbalingga sampai di Bobotsari lancar jaya. Laju mereka baru terhambat sebelum memasuki Desa Karangmalang. Jembatan penghubungnya putus, kendaraan tak bisa melintas. Para Serdadu Belanda pun terpaksa melanjutkan patroli dengan berjalan kaki. Mereka menuruni sungai atau jalan kaki melewati bagian jembatan yang tersisa.

Zo zag de weg er naar Bobotsari uit ligt ong 10 km van Poerbolinggo / Ini penampakan jalan ke Bobotsari sekitar 10 km dari Poerbolinggo (Album Foto PA Tazelaar di www.indigangers.nl)
Momen itu rupanya ditunggu-tunggu oleh para pejuang yang sudah mengintai di seberang sungai sejak malam. Mereka telah mendapatkan informasi patroli besar-besaran itu dari telik sandi di kota, maka, kekuatan penuh disiapkan untuk menghadang Pasukan Belanda.

Kekuatan inti para pejuang berasal dari dua kompi pasukan TNI, yaitu, Kompi Pujadi dan Kompi Kusworo. Mereka didukung satu kompi Pasukan Pelajar IMAM (Indonesia Merdeka Ataoe Mati) serta pemuda Karangmalang dan sekitarnya. Mereka mengendap di balik rimbunnya pepohonan. Kompi Pujadi mengambil posisi selatan jalan di pemakaman umum, sementara Kompi Kusworo dan Tentara Pelajar di sisi utara pada areal perkebunan warga. Posisinya cukup strategis karena lebih tinggi dari area jalan yang akan dilalui Pasukan Belanda.

Begitu pasukan Belanda lewat dan masuk jarak tembak, maka, aba-aba pun diberikan.

“Serbuuuuu! Tembaaakkk! Majuuu!! Seraaangg!!”.

Peluru menghujani serdadu Belanda yang berada dalam posisi begitu terbuka, sangat empuk sebagai sasaran tembak. Hasilnya, mereka kocar-kacir dan untuk membalas serbuan pejuang republik juga sulit.

Melihat situasi itu, kavaleri Belanda segera memberikan dukungan bagi para prajurit infanteri yang tengah keteteran. Meriam dilontarkan, namun rupanya panser tak efektif untuk serbuan jarak pendek. Demikian pula kanon dari kesatuan artileri, mortir yang dtembakan bertubi-tubi banyak yang melambung jauh dari sasaran.

Pimpinan Pasukan Belanda segera mengkontak markas Purbalingga untuk mengirimkan bantuan tambahan. Angkatan udara segera merespon. Pesawat tempur jenis Mustang atau yang dikenal dengan sebutan ‘Cocor Merah’ meluncur dari Lapangan Udara Wirasaba. Squadron pesawat tempur buatan Amerika itu pun meraung-raung diangkasa, terbang rendah dan segera membombardir posisi Pasukan Republik.

Pesawat Militer Belanda di Langit Purbalingga (Album Foto PA Tazelaar di www.indigangers.nl)
Serbuan panser, kanon dan curahan bom-bom yang dijatuhkan dari Cocor Merah membuat situasi berbalik. Pasukan Republik gantian terdesak. Selain menyasar posisi pejuang, hujan kanon dan bom itu tanpa ampun menghajar fasilitas publik maupun rumah-rumah penduduk yang menyebabkan kerusakan dan kebakaran hebat.

Untungnya, seluruh penduduk Karangmalang dan sekitarnya sudah mengosongkan kampung. Mereka sudah mengungsi sebelum pertempuran pecah ke arah perbukitan di utara dan timur.

Hari makin siang, dampak keunggulan persenjataan militer Belanda semakin jelas terlihat. Para pejuang semakin terdesak. Maka, untuk menghindari jatuhnya korban mereka pun menyingkir. “Mundur Lurrr,” demikian kira-kira para komandan pasukan memberikan instruksi.

Menurut penuturan di buku karya Mayor Abu Arifin itu, meski akhirnya menyingkir dari Bobotsari, pertempuran berakhir gilang gemilang untuk pihak republik. Puluhan serdadu Belanda diperkirakan tewas yang sebagian besar terjadi pada penyergapan pertama, dua orang ‘Andjing NICA’ (sebutan pejuang untuk Serdadu Belanda dari etnis pribumi) ditawan. Puluhan pucuk senjata juga berhasil dirampas.

Setelah pejuang republik mundur, Belanda leluasa masuk ke Karangmalang, Majapura dan sekitarnya lalu ke timur sampai di Kertanegara. Mereka melakukan operasi pembersihan. Sebab, tak ada lagi pejuang atau rakyat yang ditemui, mereka melampiaskan kekesalannya dengan membakar rumah-rumah warga yang tersisa.

Hari itu, Bobotsari pun menjadi lautan api. Desa Karangmalang yang menjadi pusat pertempuran membara menjadi ‘Karangabang’. Hampir seluruh rumah di desa itu dibakar, hanya menyisakan Balai Desa dan rumah Pak Lurah.

-o-

Nah, patroli besar-besaran di Bobotsari juga diceritakan dalam buku serdadu Belanda bernama Letnan Hans Gerritsen berjudul De Hinderlag Bij Sindoeradja (Penyergapan di Sinduraja) pada bagian 8 yang bertajuk : Patrouillies, Hinderlagen en Actie (Patroli, Penyergapan dan Aksi). Meski judulnya Sinduraja, Hans menceritakan catatannya selama berdinas di Purbalingga dan sekitarnya, termasuk Bobotsari.

Hans menceritakan, salah satu operasi militer besar-besaran ke wilayah Bobotsari terjadi pada 1 Maret 1949. Aksi itu dipimpin oleh perwira KNIL bernama H.J.W Bosch (Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger) berpangkat Kapitein atau Kapten. Kapten Bosch datang ke Poerbolinggo dengan kompi pasukan khusus KNIL yang diperbantukan melaksanakan operasi tersebut.

De leider van deze acties naar Bobotsari Kapitein Bos / Pemimpin tindakan ini untuk Bobotsari Kapten Bos (Album Foto P.A Tazelaar di www.indigangers.nl)
(Tentang Kapiten Bos sudah saya tulis dan selengkapnya bisa dibaca di sini).

Menurut Hans, aksi itu sudah direncanakan sangat matang. Artileri sudah digunakan ketika baru sampai di Bodjongsari untuk merusak posisi-posisi yang diduga menjadi markas TNI. Sesaat kemudian terjadi baku tembak. Pejuang menyerang dalam jakar yang cukup dekat. Hans memberikan kesaksian, Ia mendengar instruksi komandan pasukan republik.

“Kami bisa dengan jelas mendengar komandan TNI memberi perintah, setelah itu tentara musuh berteriak ‘Madjoe, Madjoe!, Serang!’, ” ujar Hans (Hal. 90).

Setelah baku tembak yang berlangsung sekitar lima belas menit, menurut Hans, TNI mundur. Kapten Bosch kemudian memberi perintah pasukan Belanda untuk maju lebih jauh.

Blak-blakan, Letnan Hans mengakui serangan pejuang republik berhasil membuat militer Belanda kerepotan. Ia menggambarkan, mereka mendapat tekanan penuh. TNI dengan gagah berani memberikan perlawanan sengit dengan mengandalkan persenjataan karaben dan senapan rampasan dari Jepang.

Untuk menghadapi para pejuang, para prajurit detasemen KNIL yang saat itu masih berada di barisan belakang dipanggil menggunakan radio dan disuruh menyeberangi kali kemudian melakukan gerakan melingkar ke tepi utara kampung. Gerak mereka terbaca pasukan republik dan terjadi baku tembak. “Ketika mereka sampai di sana, baku tembak terjadi lagi dan lebih intensif,” ujar Hans (Hal. 91)

Militer Belanda masih kerepotan sehingga mereka meminta bantuan serangan udara. “Komandan aksi kami muak dan meminta dukungan udara melalui radio. Sekitar sepuluh menit kemudian, beberapa pesawat pemburu berputar-putar di atas kami, siap menyerang. Bagi kami, cukup melegakan melihat pesawat melakukan penerbangan bermanuver dan tembakan senapan mesin di atas garis depan. Kami menderngar deru mesin yang memekakan dan ledakan tembakan. Pecahan mesiu seperti bersiul di atas kami. Yang pasti, kami terlindungi dengan baik” (Hal. 91).

Hans memberikan pujian khusus kepada kepemimpinan Kapten Bosch. Menurutnya, di saat anak buahnya merunduk ketakutan, Kapten Bosch malah tegar berdiri memandang aksi para pesawat pemburu dengan seksama. Perwira militer Belanda itu terlihat sangat menikmati perang. “Dia seorang yang fatalis,” kata Hans.

Ketika pesawat berbalik selesai membombardir dan kembali ke markas mereka, infanteri Belanda melanjutkan perjalanan. Serangan bombardir pesawat rupanya efektif menghancurkan posisi TNI. Sejak saat itu mereka sementara tidak lagi muncul dan pasukan belanda melenggang mulus.

Sampai di Bobotsari mereka melihat susana sudah porak poranda. Gedung dan rumah hancur, pepohonan berselang-seling di jalan, di mana-mana jalan digali, jembatan hancur, aliran air sengaja dilewakan ke jalan supaya jalan semakin rusak. Aksi sabotase tentara republik dibantu rakyat dan bombardir pasukan belanda membuat Bobotsari hancur lebur.

“Malapetaka yang mengerikan telah terjadi. Itu menyedihkan,” ujar Hans menggambarkan.

Setelah pertempuran berakhir, satu peleton detasemen KNIL tetap tinggal di Bobotsari untuk mengamankan situasi. Hans dan kesatuanya kembali ke Kota Poerbolinggo. Detasemen engginer kemudian sibuk memperbaiki jalan, gedung dan sambungan telepon. Alat berat seperti buldoser dikerahkan.

“Ratusan kuli yang telah diambil dari penjara atau dibawa secara paksa dari kampung tetangga dipanggil. Di bawah pengawasan prajurit kami, batu-batu terlempar, pohon-pohon dipindahkan dan jalan-jalan berlubang,” kata Hans.

Kuli dan Tahanan Dikerahkan Untuk Memperbaiki Jalan (Album Foto P.A Tazelaar di www.indigangers.nl)
Dadi kaya kue luurrr salah sewijining kisah perjuangan rakyat Purbalingga, khususe nang wilayah Bocari pas ngelawan penjajahan Landa.

Sumber :

1. Buku ‘Dengan Semangat Jenderal Soedirman : Purbalingga Berjuang dan Membangun’ karya Mayor (Purnawirawan TNI) Pdt. Dr. A. Abu Arifin

2. Buku ‘De Hinderlag Bij Sindoeradja’ karya Letnan Hans Gerritsen

3. Album Foto P.A Tazelaar dan Sold G Tulp di laman www.indigangers.nl

Disclaimer

1. Pada tulisan ada interpretasi pribadi terhadap sumber foto dan tulisan yang diperoleh penulis.

2. Sumber Buku Letnan Hans menyebutkan waktu yang jelas sedangkan sumber dari buku Mayor Abu Arifin waktunya tidak disebutkan tepat. Namun, kedua peristiwa tersebut disebutkan terjadi di wilayah Bobotsari sehingga bisa jadi kejadian yang sama bisa pula tidak.

3. Keterangan foto merupakan keterangan asli sumber dan penulis terjemahkan via google translate

4. Jika ingin mengutip/menyadur/mempublikasikan ulang tulisan ini mohon sebutkan sumbernya

igo saputra Orang yang suka berkhayal dan berusaha membuatnya menjadi kenyataan. Jangan berhenti berimaji..

3 Responses to "BOBOTSARI LAUTAN API"

Dalpinsaurus said...

Mantep mantep....sanggar pasukan TNI gemien sanajan senjatane terbatas tapi teyeng gawe belanda mumet....ya lur

igo saputra said...

semangat membara melawahkan segalanya... nyerr

Bambang Setiawan said...

betul mas bobotsari lautan api termasuk karangmalang...itu kata eyangku sebagai saksi kejadian yg masih hidup...sekarang berumur hampir 100 th...dan ada rumah yg konon dulu tidak bisa dibakar oleh belanda yaitu rumah buyutku dan skrgpun masih berdiri kokoh...peninggalan peninggalan perjuangan sepeti tombak pun masih ada...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel