SENJA DI PAKEDJEN

Sebuah cerita pendek 'gado-gado' tentang kehidupan di perkebunan milik seorang Meneer Belanda di Pakedjen, Koetosari.

MATAHARI baru lewat sedikit diatas kepala. Sinarnya yang keemasan masih deras berjatuhan menerobos rerantingan. Angin semilir sepoi-sepoi menyegarkan. Kicau burung merdu menggelitik telinga. Suasana itu menyempurnakan pemandangan hamparan kebun teh yang sungguh sangat elok ketika ditingkahi cahaya mentari bak permadani hijau berkilauan.

 

Perkebunan teh jembar di lereng Gunung Slamet itu adalah Pakedjen Lanbouw Onderneming Koetasari (PLOK) milik seorang Belanda yang eksis sejak awal abad 19. Lahan subur ‘berkah’ dari gunung dan iklim yang dingin sudah diteliti pemerintah kolonial cocok dengan tanaman teh. Walhasil, ratusan hektar ladang warga dan hutan di Pekedjen itu pun dibabat, kemudian beralih menjadi kebun teh. Daun-daunya dipetik, diolah dan dikirim lintas benua untuk diseduh menemani sore orang-orang bule bermata biru.

 

Sebagai penanda adanya pabrik, sederet gedong kokoh pun tampak mencolok berdiri di tengah kebun teh. Ada tiga rupa bangunan. Pertama, paling luas dan bertembok jangkung dengan cerobong yang lebih tinggi menjulang, itu pabrik pengolahan teh. Mesin-mesin di dalamnya bekerja keras, sering kali siang sudah kerja malam masih begadang mengolah daun-daun teh. Bau harum daun yang diseduh menenangkan itu menguar kemana-mana menandakan aktivitasnya.

 

Kedua, tak jauh dari pabrik, ada rumah megah mencolok khas arsitektur kolonial. Wajahnya menghadap ke selatan, arah Kota Poerbolinggo. Ada teras lebar di samping kanan dan kebun bunga disekelilingnya. Pada samping kirinya ada garasi berisi sebuah mobil berkelir merah dan dua unit sepeda motor bertampang gahar. Gardu penjaga dan kandang anjing, tepat berada di depan rumah.

 

Itu adalah rumah eignaar alias pemilik pabrik. Penduduk setempat memanggilnya Tuan Besar. Namanya Meneer Flohil. Ia masih muda dan belum beristri. Sosoknya tinggi besar, bule totok, kumisnya tebal. Galaknya minta ampun. Anjing herder penjaga rumahnya yang sudah seram kalah garang dengan dirinya. Apalagi Flohil tak segan main tangan ke bawahannya, terlebih ke kuli-kuli rendahan pabrik yang disebutnya inlander.

 

Flohil ini memang kaya raya. Ia juga punya pabrik gula cukup besar di Bodjong alias Suikerfabriek Bodjong, tak jauh dari pusat kota Poerbolinggo. (Baca : Juragan-juragan Gula di Purbalingga)

 

Kemudian, bangunan ketiga ada di samping kirinya garasi Sang Tuan Besar. Tak semegah griya tuan besar, paling separuhnya. Ada dua unit rumah, arsitekturnya kembar. Rumah itu adalah kediaman administrateur dan petinggi pabrik. Warga memanggilnya Tuan Sinder. Bawahan Tuan Besar Flohil ini berganti-ganti, ada seorang Belanda Ambon, ada yang bernama Tuan Leeuwen, Tuan Drenges ada juga Tuan Dopicon dan Tuan Mazmer.

 

Mereka tak segalak Flohil, malah ada yang mau berbaur dengan kuli dan penduduk sekitar. Tuan Dopicon bahkan terpikat dengan gadis pribumi. Ia mempersunting Darsinem, ‘Kembang Pakedjen’, meski hanya sebagai gundiknya. Sayangnya mereka tak dikaruniai keturunan sehingga tak ada blasteran Pakedjen-Landa.

 

Perkebunan Pakedjen maju dan berkembang. Pasar Benua Biru sangat mengemari teh dari Hindia-Belanda. Oleh karenanya, Pakedjen dari sebuah kampung di gunung menjadi ramai. Para kuli pabrik sebagian besar pria dan buruh di kebun yang didominasi wanita jumlahnya ratusan. Ibarat ada gula, pasti dirubung semut, tak hanya orang Pakedjen, banyak juga pekerja dari luar. Mereka datang dari Koetasari, Poerbalingga, Kalimanah, Bodjongsari bahkan dari luar kota seperti Moentilan.

 

Jika datang hari pengupahan mereka antri mengular di depan pabrik. Meski uang lelah mereka kecil, itu menjadi ‘oase’ bagi kaum pribumi di negeri terjajah. Peluang itu jua dimanfaatkan buat para bakul berjualan. Pakedjen bak kota kecil di lereng gunung.

 

-o-


PADA tengah hari itu, serombongan kuli pabrik berjalan beriringan. Mereka baru saja rehat siang dan akan bekerja kembali. Para kuli itu tampak ‘mbladus’. Kulitnya menghitam terpapar matahari. Pakainnya lusuh. Hanya celana lancing berwarna hitam sederhana, kaos murahan yang sudah usang dan bercaping bambu.

 

Tarsudi, anak yang baru berusia sedasa sudah ikut bekerja. Ia bahu membahu dengan ayahnya Minarji, pamannya Tarno dan tetangganya Amblong dan Gonteng. Mereka tak punya pilihan lain selain menjadi kuli perkebunan milik landa itu. Tanah mereka sudah dikuasai semua dengan paksa untuk menjadi lahan kebun teh.

 

Minarji tiba-tiba menghentikan jalannya. Empat orang yang dibelakangnya melakukan hal serupa. Mereka berjejer menghadap jalan berbatu yang cukup rapi ditata. Minarji lalu menekuk mukanya dalam-dalam. Tudung-nya dilepas. Amblong dan Gonteng mengikuti. Tarsudi masih bingung. Tarno ogah-ogahan.

 

“Blaur, temungkul! Turunge dicopot gagean!,” Minarji memberikan instruksi dengan nada keras ke anaknya. Blaur adalah panggilan Tarsudi. Asal muasalnya karena Ia suka mblaur alias bandel.

 

Blaur pun mengikuti contoh ayahnya, tudung bambunya yang sedikit kebesaran dilepas. Ia melirik kesamping. Tarno pamannya, enggan mencopot capingnya.

 

Tampak menuju ke arah mereka seorang meneer Belanda dengan sepeda motornya yang gagah. Rupanya Tuan Besar Flohil, sepertinya habis anjangsana dari kota. Lajunya diperlambat saat akan melewati mereka.

 

Tabe Tuan Besar,” serentak mereka mengucapkan kata itu kala Sang Meneer tepat melintas di depan mereka.

 

Tuan Flohil yang berpakain rapi jali, serba putih dari sepatu hingga topinya itu, menghentikan sepeda motornya. Ia turun dari motornya. Mendekat ke arah lima kuli itu dengan wajah angkuh. Tatapannya tajam, mengelilingi mereka. Tarsudi semakin menekuk mukanya, meniru ayahnya.

 

Tiba-tiba, tanpa ba bi bu. Kaki sang menir tiba-tiba menendang Tarno sampai terjengkang. Sang meneer menyunggingkan senyum bengis, Tarno meringis kesakitan.

 

Inlander bodoh. Verdomme, klotzaak! Kalian harus hormat sama saya ya. Kalau tidak semua akan saya pecat dari perkebunan saya,” katanya lantang. “Itu contoh untuk Inlander bodoh seperti kalian yang tidak bisa hormat dengan benar,” ujarnya dengan kesal lalu meludah ke tanah.

 

Tarno gemetaran. “Aaaammpuun Tuan Besar. Saya tidak lagi-lagi tuan. Estu tuan,” ujarnya terbata sambil menjura.

 

“Kalian semua harus hormat kepada saya ya. Ngarti kalean??,” ujar Flohil.

 

“Iya Tuan Besar, mengertiii,” ujar kelima kuli itu serempak.

 

Sang Meneer tampak puas dengan jawaban penurut mereka dan aksi sewenang-wenang yang sudah dilakukanya. Ia lalu kembali ke motornya. Kemudian berlalu memacu kendaraanya menuju rumahnya yang megah.

 

Kelima kuli itu memandang sampai sepeda motor Flohil lenyap dari pandangan. Lalu, Amblong dan Gonteng membantu Tarno berdiri.

 

Ko ora papa mbok No??,” ujar Amblong salah seorang tetangganya sambil membantu Sutarno berdiri.

 

Ora papa ndasmu peyang, matamu melek mbok inyong miki ditengang nganti kejengkang??,” ujar Tarno ketus sambil menyingkirkan tangan Amblong.

 

Owalahh direwangi malah ngomeih, jejek sisan maning ko!,” ujar Amblong sembari akan menendang ulang Tarno. Minarji menengahi, “Salahe ko sih ngerti-ngerti ana Tuan Besar Flohil liwat deneng tudunge ora dibukak ya wis de dupak”.

 

Tuan Besar kaya Asuuu, pribumi kaya dewek deneng selot suwe diidek-idek temen ya,” ujar Tarno bersungut-sungut.


Wis-wis, mayuh pada kerja maning, nyatane dewek lagi dijajah nang landa. Ya, moga-moga landane gagean merad sekang kene,” timpal Gonteng bijak. “Mayuh lur, kerja maning,” imbuhnya.

 

Minarji memimpin di depan. Blaur tepat di belakangnya. Tarno, Amblong dan Gonteng berurutan mengikuti. Mereka berjalan kencang ke pabrik. Jam istrirahat yang singkat segera usai dan harus segera bekerja jika tidak ingin kena omelan para sinder atau bahkan dipotong upahnya yang sudah kecil.

 

-0-


SEPERTI itulah Pekedjen berjalan hari demi hari. Denyut nadi kampung itu ditopang dari pergerakan pabrik teh milik Tuan Besar Belanda. Sampai suatu saat perang dunia kedua berkecamuk. Belanda bertekuk lutut ke Jepang. Saudara tua itupun sampai ke Poerbolinggo, Pakedjen juga tak luput.

 

Kedatangan Dai Nippon mengubah segalanya. Pabrik teh itu dengan segala aktivitasnya ditutup. Orang-orang Belanda ditangkap semua, termasuk Tuan Besar Flohil.

 

Hari itu, jelang senja, Tarsudi melihat sendiri tuan bule nan garang itu diciduk tentara kuntet berkulit kuning. Flohil yang tadinya super galak ke pribumi hanya bisa tertunduk lesu. Tangannya terikat. Wajahnya lebam-lebam. Tampaknya habis dibogem tentara Jepang. Ia berjalan gontai saat digiring ke truk.

 

Sejak saat itu, Tarsudi alias Blaur tak pernah melihat kembali tuan besar dan para sindernya. Kabarnya mereka dikurung dan disiksa Jepang. Entah bagaimana nasibnya.

 

Nasib Perkebunan Pakedjen amburadul oleh Jepang. Pabriknya diubah menjadi penjara dan gudang senjata. Rumah Flohil dan sindernya tetap dijadikan rumah tinggal namun sudah mulai tak terurus. Pohon-pohon teh dibabat diganti dengan kentang, singkong dan tanaman pokok lainnya. Jepang memang sedang butuh banyak bahan makanan untuk menopang perang.

 

Nasib kaum pribumi tak jua berubah baik dibawah pendudukan saudara tua, malah makin sengsara. Tak ada pekerjaan meski sekedar jadi kuli. Untung sudah tak dijadikan romusha. Sandang, pangan, papan menjadi hal yang sangat susah dijangkau oleh Tarsudi, Minarji, Tarno, Gonteng, Amblong dan umumnya penduduk Pekedjen. Bisa pakai baju selevel karung goni saja mereka sudah untung. Tak ada beras, ares batang pisang pun jadi makanan pokok mereka.

 

Untung saja Jepang hanya seumur jagung menjajah nusantara. Mereka bertekuk lutut ke sekutu setelah negerinya dijatuhi bom atom. Manusia yang tak bisa lancar bilang huruf ‘el’ itu hengkang, pulang ke negara mentari terbit.

 

Kenang-kenangan Jepang di Pakedjen ada tiga tentaranya yang mati dan dikubur di situ. Salah satunya bernama Yusihara. Makamnya sudah dipindah dan bekasnya kini menjadi lapangan yang ada di sebelah utara bekas pabrik

 

Usai Jepang, Hindia-Belanda merdeka jadi Indonesia. Baru sebentar, Belanda datang lagi. Ketagihan mereka menjajah negeri ini. Sontoloyo bin djuanjuk memang mereka.

 

Saat itu, Blaur sudah besar. Ia sudah remaja, sudah tumbuh jiwa patriotismenya. Tarno pamannya menjadi gerilyawan. Begitu pula Amblong dan Gonteng juga seringkali membantu pejuang republik. Mereka tak sudi dijajah kembali. Tak mau Flohil-Flohil yang lain mengusai tumpah darah mereka.

 

Blaur tak ikut mengangkat senjata tetapi bertugas menjadi ‘porter’ membawakan perlengkapan tempur dan amunisi bagi para pejuang. Blaur menjadi saksi mata perang mempertahankan kemerdekaan. Ia yang masih belum terlalu dewasa seringkali tak dicurigai dan bisa mendekat ke Tentara Belanda.

 

Blaur ingat, di sekitar pabrik itu, Belanda memasang kanon. Dari situ ditembakan ke segala penjuru menyasar kedudukan para pejuang. Blaur menilai seringkali tentara landa ngawur. Mortir tak jatuh di sasaran yang tepat atau bahkan tak meledak sama sekali.

 

Agresi Militer Belanda berakhir. Indonesia sepenuhnya berdaulat. Republik Indonesia berdiri.

 

Pakedjen justru sepi. Pabrik terbengkalai. Rumah Tuan Besar dan para sindernya rusak secara alami maupun disengaja.

 

Pemerintahan saat itu kemudian mengambil kebijakan membagi tanah-tanah bekas perkebunan Pakedjen ke rakyat. Kata Blaur, saat itu, sudah ada semaca korupsi. Sudah disuruh bayar, jatahnya dikurangi. Owalah....

 

Namun, itu masih untung buat Blaur. Ia mendapatkan tanah 150 ubin dan tepat ditanahnya itu yang dulu berdiri rumah Tuan Besar. Saat ini, diatas tanah Blaur yang sudah diwariskan itu hanya tersisa pondasi rumah.

 

Pagi di akhir Januari di saat hujan turun hari-hari. Saya menyambangi bekas pabrik belanda, juga eks rumah tuan besar dan sindernya. Sejenak saya merenung, membayangkan betapa megahnya pabrik itu. Sungguh indahnya hamparan kebun teh yang menghijau.

 

Dua pekan kemudian. Senja di Hari Imlek bershio Kerbau Logam menjelang hari kasih sayang. Saya menyambangi kediaman Tarsudi. Umurnya sudah menjelas seabad, tetapi Ia masih tampak sehat, ingatanya masih kuat. Bicaranya juga lantang. Sembari ngopi dan tak berhenti ngudud, Ia bercerita lebar dan panjang, mengenang Pakedjen Lanbouw Onderneming Koetasari.

 

Senja itu berlalu di Pakedjen, mentari kembali ke peraduan, hari berganti malam. Kisah Blaur menghantui mimpiku malam itu dan sekarang kuceritakan padamu.

 

Catatan :

Artikel ini gado-gado. Ada reportase, ada rekonstruksi, ada rekaan. Sumber dari data di Cultuur Adresboek vor Nederlandsch Indie 1937, reportase langsung di lapangan dan wawancara Pak Tarsudi, 12 Februari 2021. 

Kisah perkebunan Belanda di Purbalingga era kolonial sudah saya tulis sebelumnya dan bisa dibaca di sini.
Cover Buku Cultuur Adresboek vor Nederlandsch Indie 1937


igo saputra Orang yang suka berkhayal dan berusaha membuatnya menjadi kenyataan. Jangan berhenti berimaji..

0 Response to "SENJA DI PAKEDJEN"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel