Bernard Allaart, Dokter Belanda di Purbalingga

Dokter Bernard Allaart (Dok : www.digibron.nl)
Belanda memang sudah hengkang dari Nusantara, Indonesia sudah merdeka, lepas dari penjajahan. Namun, banyak orang Negeri Kincir Angin itu masih tetap tinggal, terutama pengusaha, misionaris dan tenaga kesehatan.

Salah satu wong landa yang tak pulang ke negaranya meski terjadi peralihan kekuasaan ada di Purbalingga. Ia adalah seorang dokter bernama Bernard Allaart, pimpinan Zendingsziekenhuis te Poerbolinggo (Rumah Sakit Zending Purbalingga) yang dikenal masyarakat dengan Rumah Sakit Trenggling karena ada di Trenggiling (Saat ini nama dusun di Desa Kalikajar, Kecamatan Kaligondang).

Kisah mengenai Rumah Sakit Trenggiling bisa dibaca di sini

Selama 11 tahun, 1948-1959, dr. Allaart tinggal dan mengabdi di Purbalingga. Periode itu adalah masa yang panas, ada agresi militer lalu pengambilalihan kekuasaan. Meneer Allart ini tak ikut hengkang mungkin karena profesinya, selain sebagai dokter, Ia juga seorang misionaris.

Namun, keteguhannya akhirnya habis juga. Dokter Allart pergi meninggalkan Purbalingga untuk kembali ke negaranya pada 2 Juni 1959. Kiprah, lalu kepulangannya tercatat dalam laporan lembaga misionaris yang menaunginya Het Zendingsblad (Lembar Misionaris) edisi 12 Desember 1959 pada halaman 343 itu berjudul ‘Dokter B. Allaart Vertrok’ artinya ‘Dokter B.Allaart Pergi’

Cover Het Zendingsblad Edisi 12 Desember 1959 (Dok : www.digibron.nl)
Nukilan Hal 343 Het Zendingsblad Edisi 12 Desember 1959 (Dok www.digibron.nl)
Nukilan Laporan Het Zendingsblad coba saya artikan _ *mungkin sekali ada kekurangpasan makna karena saya mengandalkan google translate. Jika mau baca bahasa Belandanya bisa dibaca sendiri tuh pada gambar di atas _ , sebagai berikut :

‘Dokter B. Allaart Pergi’

 

Pada Selasa, 2 Juni 1959, keluarga Allaart meninggalkan Poerbolinggo dengan disertai banyak teman.

 

Ada dua alasan mengapa saya menulis esai tentang itu untuk Zendingsblad. Pertama, karena kerja kolega Allaart di Poerbolinggo memberikan gambaran yang baik tentang perubahan situasi dalam misi medis dan kedua, karena keramahan dari banyak pertemuan perpisahan yang telah sangat mempengaruhi kami semua.

 

Saya tidak akan melukis masa sebelum perang saat rekan Allaart di Klaten karena ingatan saya tentang dia pada waktu itu tidak lebih dari paman gula yang belum menikah, yang selalu dapat ditemukan naik mobil bersama sepupu dan sepupu palsu. Gambaran itu mungkin membahayakan martabat dokter misionaris. Setelah perang, rekan Allaart menghabiskan waktu sebagai tawanan perang di Siam, dia pulang ke Belanda, berangkat ke Poerbolinggo pada tahun 1948, segera disusul oleh istrinya.

 

Poerbolinggo saat itu berada di sisi baris Belanda. Bersama rekannya, Gramberg, dia bekerja di rumah sakit darurat yang terletak di kota itu sendiri. Beberapa asistennya serta otoritas lokal berada "di sisi lain" (dari garis gencatan senjata). 11 tahun kemudian, meskipun terjadi krisis baru dalam hubungan antara Indonesia dan Belanda, otoritas dan mantri yang sama ini dapat mengucapkan selamat tinggal kepada kolega Allaart dan keluarganya dengan cara yang paling ramah. Ini dimungkinkan karena masing-masing yakin akan kesediaannya untuk melayani. Kapan kesediaan ini hadir dan tidakkah seharusnya hal itu terbukti dalam setiap kehidupan Kristen?

 

Banyak kesulitan menghilang dalam hubungan antar orang, yang jika tidak terlihat tidak dapat diatasi.

 

Ketika keluarga Allaart tiba di sini 11 tahun yang lalu, tampaknya situasi mengenai rumah sakit misi, terutama Trenggiling, akan terus berlanjut. Dengan pemahaman bahwa bekas rumah sakit misionaris sekarang akan menjadi rumah sakit Kristen yang dikelola oleh Jejasan Rumah Sakit Kristen (Yayasan Operasi Rumah Sakit Kristen Jawa Tengah).

 

Namun perkembangannya berbeda dari yang diharapkan. Pemerintah Indonesia mengelola hampir semua bekas rumah sakit misi dan sepertinya situasi ini tidak akan berubah. Para dokter misionaris yang bekerja di rumah sakit ini memiliki status dokter pemerintah dan ini menunjukkan perubahan besar dalam pekerjaan kami. Selain perawatan langsung ke rumah sakit, saat ini banyak pekerjaan yang harus dilakukan di 'Dinas Kesehatan', pelayanan kesehatan, termasuk pengendalian raspberry, promosi kebersihan penduduk, serta pra dan posko pengawasan persalinan ibu dan anak, melalui kantor konsultasi. Jadi masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, terutama di kota-kota kecil, yang tentunya kurang menyenangkan untuk duduk di sana secara sukarela.

 

Selama lebih dari 10 tahun, rekan Allaart mengelola Rumah Sakit Trenggiling dalam situasi yang banyak berubah. Akhirnya rumah sakit tersebut itu berubah menjadi ‘Rumah Sakit Daerah Swatantra Tingkat ke II Poerbolinggo’, yang namanya agak bertele-tele. Nama itu menunjukkan bahwa sekarang telah menjadi rumah sakit kabupaten, meskipun suasana di rumah sakit ini tetap Kristen.

 

Dengan ini saya telah mencoba merefleksikan secara singkat betapa pentingnya pekerjaan rekan Allaart di Poerbolinggo. Pria penting biasanya mendapatkan uang mereka, tetapi kita tentu tidak boleh lupa bahwa kepentingan sering kali dimungkinkan oleh pekerjaan dalam kesunyian yang dilakukan istri mereka. Tak seorang pun di Banjoemase akan membantah bahwa Ny. Allaart-Schouten adalah seorang pendiam, namun dia memiliki pengaruh yang besar pada pekerjaan suaminya selama sepuluh tahun terakhir ini.  Bahkan tidak hanya suaminya, tetapi kita semua, pekerja misionaris dan penduduk Banjoemase terangsang oleh kegembiraannya yang besar dalam hidup.

 

Kami berharap kolega kami Allaart bersama istri dan putrinya mendapatkan tahun-tahun yang lebih baik di tanah air dan kami berharap agar mereka juga menjadi berkat bagi banyak orang di sana melalui pekerjaan dan kehidupan mereka.

 

Poerbolinggo, Dokter H. Bakker (Penulis)


-0-

 

Perpisahan Dokter Allaart


Dokter Allaart ini masih ada dalam ingatan orang Purbalingga jaman dulu. Salah satunya, Bapak Purbadi Hardjoprajitno, salah satu sesepuh Purbalingga. Pada Diskusi Sejarah pada 2018 lalu, Pak Purbadi menyampaikan bahwa Rumah Dinas dokter itu ada di Purbalingga Wetan yang saat ini menjadi Rumah Makan Bebek Goreng Haji Slamet.

 

Kemudian di bawah ini adalah sebuah foto lawas yang menggambarkan momen perpisahan Dokter Allaart dan keluarganya dengan para pegawai Rumah Sakit Trenggiling.

Perpisahan Dokter Allaart
Pada papan yang ada dalam gambar tersebut jelas tertulis : ‘Selamat BERPISAH, Dr. Bernard Allaart DENGAN KELUARGA’. Pada bagian bawah ada keterangan ‘R.S.U.D.S. II PURBOLINGGO’ kemudian ada keterangan tarikh yang menunjukkan ‘30-5-1959’. Lalu ada lukisan salib di pojok kiri atas dan goresan logo farmasi ‘cawan dibelit ular’ pada bagian bawah.


Dr. Allaart tampak berada persis di belakang papan didampingi istri dan dua anak perempuannya. Di sekeliling mereka tampak orang-orang berseragam serba putih khas tenaga kesehatan. Ada satu pasang lagi landa dengan anak balitanya, ada tionghoa maupun warga pribumi. Mereka merupakan karyawan dan keluarga besar RS Trenggiling yang melepas Dr. Allaart dan keluarga pulang kembali ke negaranya.


Kayakue lurr kisahe Dokter Belanda nang Purbalingga... Ahaai.. Serrr..


Catatan :

Pada Buku Profil Sejarah RSUD Goeteng Taroenadibrata tertulis Bernard Ahaart seharusnya Bernard Allart.


Sumber :

Het Zendingsblad Edisi 12 Desember 1959

igo saputra Orang yang suka berkhayal dan berusaha membuatnya menjadi kenyataan. Jangan berhenti berimaji..

1 Response to "Bernard Allaart, Dokter Belanda di Purbalingga"

Pancazz blog said...

Mantapp bro, terus berkarya

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel