Kisah Perjumpaan Keturunan Imigran Purbalingga di Suriname dengan Keluarganya

Boewang Kartadi Bertemu dengan Sainem di Cipaku (Dok : Arie Grobbe)
Siang itu, Minggu, 21 Mei 2017 menjadi hari yang mengagetkan sekaligus mengharu-biru bagi Sainem, 90 tahun. Ia sungguh tak menyangka, hari itu, rumahnya di Dukuh Pangebonan, Desa Cipaku, Kecamatan Mrebet disambangi tamu yang jauh-jauh datang dari negeri seberang.

Mereka bukan tamu sembarangan, sebab, ternyata saudara-saudaranya yang Ia sendiri baru tahu hari itu. Rombongan yang datang dari Kota Helmond, Belanda itu menyandang nama belakang persis seperti ayahnya yang sudah lama hilang, Kartadi.

Tamu dari Helmond itu ada Boewang Kartadi, Ponimin Kartadi, Jatimin Kartadi, Caroline Kartadi, Nelly Kartadi, Marjani Kartadi. Ternyata, mereka adalah keturunan dari Kartadi, ayah Sainem yang dibawa Belanda ke Suriname 89 tahun sebelumnya.

Saat ayahnya pergi melintasi benua, Sainem masih bayi merah dan belum sempat menyaksikan bagaimana rupa ayahnya. Kartadi dibawa ke Suriname meninggalkan istri dan 3 anaknya. Selain Sainem yang masih bayi, ada dua kakak lelakinya yang juga masih bocah, Marsoedi dan Boengkoel.

Kepergian Kartadi membuat kesedihan mendalam bagi dua kakak lelakinya itu. Mereka lalu sakit-sakitan dan meninggal saat masih kanak-kanak. Ibunya meninggal tak lama kemudian. Sainem pun menjadi anak sebatangkara dan diasuh oleh neneknya.
Arie Grobbe, Boewang Kartadi, Sainem dan Keluarganya di Cipaku (Dok : Arie Grobbe)
Oleh karena itu, Sainem sama sekali tak mengira, Ia masih memiliki adik-adik satu ayah dan hari itu bertemu dengan mereka. Sejak kecil, Ia sudah menganggap dirinya yatim-piatu.

“Jangankan bertemu, mengerti saja tidak kalau masih punya banyak keluarga yang tinggal di dua negara bahkan dua benua. Eropa dan Amerika. Tuhan Maha Besar, Allahu Akbar. Tuhan sudah mempertemukan mereka,” ujar Ari Grobbe pada postingan di media sosialnya saat itu.

Ari Grobbe adalah warga Desa Karangbanjar yang masih keturunan Belanda. Pelatih Renang handal dari De Zander Swiming Club itu memang aktif menghubungkan imigran Jawa Suriname dengan keluarganya di Purbalingga dan sekitarnya sejak 2012.

Ketika saya mempublikasikan artikel pertama soal Orang-orang Purbalingga di Suriname (bisa dibaca di sini dan di sini), Mas Ari langsung di-mention oleh beberapa rekan sebagai orang yang harus dijadikan sebagai narasumber. Menurutnya, selain Kartadi ada beberapa keturunan imigran Purbalingga yang datang mencari keluarganya.

“Ada Martadinala Partinem yang mencari keluarganya di Cipaku dan Bukateja serta ada beberapa keturunan imigran asal Desa Pelumutan dan Bobotsari.” Katanya.

Kartadi ke Suriname

Kartadi alias Rasal memang salah satu pekerja kontrak yang dibawa Belanda ke Suriname. Berdasarkan data Contractarbeiders uit Java yang ada di Nationaal Archief Belanda, lelaki bertinggi 156 cm itu dibawa saat berumur 28 tahun. Kartadi diberangkatkan ke Paramaribo via Batavia pada 22 Mei 1929 dengan Kapal Simaloer III oleh agen tenaga kerja Bergh, J. van de.

Berarti saat, Boewang bertemu dengan Sainem, 21 Mei 2017, bertepatan dengan 88 tahun kepergian Kartadi dari Desa Tjipakoe. (Saat itu, Tjipakoe masuk dalam wilayah District Bobotsari).
Kartadi (Dok : Nationaal Archief Belanda)
Kartadi mulai bekerja pada 7 Juli 1929 di perkebunan Sorgvliet, Visserszorg en Leliendaal dengan nomor kontrak AG725. Setelah selesai kontrak, Kartadi memilih untuk tinggal di Suriname.

Kartadi membangun keluarga baru dan beranak pinak di negara tetangga Brazilia itu. Anak-anaknya lahir berturut-turut Tisem pada 2 juli 1930, Sarimin  pada 10 September 1932, Sarmin pada 16 Desember 1934, Lasijem pada 22 Februari 1937, Sarmini pada 19 Juni 1939 dan Sirlas pada 9 Januari 1942.

Nah, Boewang Kartadi adalah anak dari Sarmin. Keluarga Besar Kartadi kemudian berdiaspora tidak hanya di Suriname, tetapi juga di Belanda. Mereka ini lah yang melacak jejak leluhurnya di Purbalingga dan kemudian rame-rame ke Cipaku untuk menemui Sainem dengan bantuan Mas Arie Grobbe.

Hmmm, mengharukan yaa.... saya bisa kebayang bagaimana Mbah Sainem, hampir 90 tahun usianya baru tahu bahwa dirinya memiliki saudara dan akhirnya bertemu. Alhamdulilah, Mas Boewang Kartadi juga sukses disana.

Ada juga cucunya Kartadi yang tinggal di Amsterdam cantik lho, namanya Caroline Kartadi. Sebelahnya yang berjilbab namanya Rosiyah, cucunya Mbah Sainem. Mirip kan?
Rosiyah dan Caroline Kartadi (Dok : Arie Grobbe)
Semoga ada lagi perjumpaan-perjumpaan seperti ini. FYI, ada 565 orang dari Afdeling (Kabupaten) Purbalingga terdata di National Archief yang dibawa ke Suriname oleh Belanda. Saya sudah merekap sebagian datanya dan mempublikasikanya di dua artikel sebelumnya.

Serba-Serbi Pekerja Kontrak Jawa di Suriname

Ngomong-ngomong, bagaimana sih Pekerja Kontrak di Suriname itu?

Jadi, contractarbeiders alias pekerja kontrak atau kuli kontrak, itu sebutan orang-orang Jawa yang dibawa oleh Pemerintah Kolonial Belanda bermigrasi ke Suriname. Praktek itu dimulai selama 40 tahun, mulai 1890 sampai 1930. So, jika dihitung sampai tahun ini (2020), genap 130 tahun migrasi orang Jawa ke negara koloni Belanda di Amerika Selatan itu.

Mereka menjadi pekerja kontrak di sektor perkebunan sebagai pengganti para budak yang dilarang sejak 1 Juli 1863. Saat itu, praktek perbudakan memang sudah mulai dihapus di Eropa, temasuk Belanda. Jadi, yaa, meski tetap dieksploitasi, mereka sebutannya adalah kuli kontrak, bukan budak.
Pekerja Jawa di Suriname (Dok : KITLV / Tirto)
Menurut laporan tirto.id, sebelum kedatangan imigran dari Jawa, kuli kontrak di Suriname sebagian berasal dari India-Britania. Mereka ini sering berbuat ulah dan menuntut upah besar sehingga digantilah para pekerja dari Jawa yang murah, juga patuh.

Gelombang pertama imigran dari Jawa datang pada 1890. Mereka, berjumlah seratus orang, ditempatkan di Marienburg, perkebunan tebu terbesar di Suriname. Periode 1890-1916, rata-rata orang Jawa datang ke Suriname berjumlah 700 orang per tahun. Jumlahnya berlipat pada 1916 setelah pekerja kontrak India-Britania tak lagi dipakai.

Pekerja kontrak dari Jawa meneken kontrak kerja selama lima tahunan. Gajinya 60 sen untuk pekerja pria dan 40 sen untuk pekerja perempuan. Setelah kontrak selesai, mereka diizinkan pulang ke Jawa. Jika ingin menetap, mereka diberi uang 100 gulden dan sepetak tanah.

Meski tak seburuk praktek perbudakan, kehidupan kuli kontrak juga mengenaskan. Pemerintah tak menyediakan sarana pendidikan. Mereka khawatir, jika mereka menjadi pandai, mereka keluar dari perkebunan dan bekerja di kota.

Jan-jane ya pada baen yaa... dasar penjajah, pinter be ora olih... huuu.

Angin perubahan bertiup saat Johannes Coenraad Kielstra, mantan wakil jaksa di Hindia Belanda menjadi Gubernur Suriname (1933-1944). Ia membuat kebijakan baru terhadap pekerja kontrak dan ingin membuat Suriname menjadi lebih berasa Asia.
Johannes Coenraad Kielstra (Dok : suriname.nu)
Kielstra membuat kebijakan imigran yang datang tidak ditempatkan langsung di perkebunan, melainkan disiapkan desa-desa khusus. Di desa ini, para imigran, termasuk dari Jawa, berhak membuat aturan sipil sendiri dan mengembangkan budaya asli mereka.

Itulah mengapa budaya Jawa terus berkembang di Suriname hingga kini. Masyarakat Jawa pun eksis disana dan sampai menduduki jabatan strategis, bahkan, salah satu keturunan imigran dari Banyumas, Raymond Sapoen pernah menjadi kandidat presiden. Almarhum Lord Didi Kempot sangat tenar dan rutin manggung di sana, bahkan, Ia menggubah satu lagu tentang salah satu tempat disana berjudul Kangen Nickerie.

Berdasarkan data Contractarbeiders Uit Java 1890-1930 di National Archief, jumlah imigran dari Jawa mencapai 33 ribu orang. Banyak yang meninggal karena kerasnya hidup di perkebunan. Kemudian, ada 7.684 orang kembali ke nusantara ketika perang Dunia II berakhir. Itupun sebagian besar tidak ke Jawa, namun ditempatkan di Sumatera.

Saat ini, berdasarkan data wikipedia, populasi keturunan Jawa di Suriname sekitar 8,5 persen dari total penduduk. Jumlahnya sekitar 40 ribu orang. Seperti yang sudah saya tulis sebelumnya, terdata di Nationaal Archief ada 565 orang dari Gewest (wilayah) Banjoemas, Afdeling (Kabupaten) Poerbolinggo yang dibawa ke Suriname.

Sebagai informasi, Afdeling Poerbolinggo ternyata wilayahnya lebih luas lho dari yang Kabupaten Purbalingga sekarang. Setelah saya telusuri ada Kecamatan / District yang saat ini masuk di Kabupaten Banjarnegara seperti, Wanadadi, Klampok, Mandiraja, Rakit, dulunya tercatat Belanda masuk dalam wilayah Afdeling Poerbolinggo.

Kaya kue lur... serr...

Sumber :
Mas Arie Grobbe, Wikipedia, National Archief Belanda dan suriname.nu
igo saputra Orang yang suka berkhayal dan berusaha membuatnya menjadi kenyataan. Jangan berhenti berimaji..

1 Response to "Kisah Perjumpaan Keturunan Imigran Purbalingga di Suriname dengan Keluarganya"

Darmanto SEO said...

mengharukan pertemuane ndean ya kang...maturnuwun infone

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel