SD Kristen Bina Harapan : Sekolah Belanda untuk Tionghoa Hingga Markas Tentara

"Seri Cerita Bangunan Bersejarah di Purbalingga"
Pembukaan HCS, Oktober 1926
Sebuah foto lawas ber-tone sephia menggambarkan kerumunan anak-anak di depan sebuah bangunan gedung beratap genteng berbentuk limasan. Tampak diantaranya orang dewasa dengan dandanan rapi jali.

Keterangan di bawahnya : Pembukaan HCS (SD Kristen) Purbalingga, Oktober 1926’. Kemudian ditambahkan penjelasan khusus mengenai ‘Personel Eropa’ yang dalam foto tersebut, antara lain, Ibu Reynders, Mr.Hildering, Mr.Hans Kamp. Ms.Gotzen, Dr. Vogelensang dan putri Dr. Esser.

Bangunan HCS yang kini menjadi SD Kristen Bina Harapan merupakan salah satu bangunan bersejarah di Purbalingga. Sekolah yang terletak di  Jalan Jenderal Soedirman Nomor 117 Purbalingga itu merupakan saksi perkembangan pendidikan di Kota Perwira ini.

Menurut Wikipedia, HCS (Hollandsch-Chineesche School) adalah sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda di Indonesia khususnya untuk anak-anak keturunan Tionghoa di Hindia Belanda saat itu. Sekolah-sekolah ini pertama kali didirikan di Jakarta pada 1908, terutama untuk menandingi sekolah-sekolah berbahasa Mandarin yang didirikan oleh perkumpulan Ting Hoa Hwee Kwan (THKK) sejak 1901.

THKK cukup menonjol di Purbalingga dengan berbagai gerakan sosial, ekonomi, pendidikan dan budayanya. Tokohnya Gan Thian Koeij, Opsir Tionghoa pertama di Purbalingga. Kisahnya sudah saya tulis dan bisa dibaca disini

Berdirinya sekolah khusus untuk etnis Cina tidak lepas dari kebijakan pemerintah Belanda memang menjalankan “politik pemisahan” (segregation), yaitu politik diskriminasi ras. Mereka mengklasifikasian masyarakat yang ada di Hindia Belanda saat itu menjadi 3 golongan, yaitu golongan eropa, timur asing (china), dan bumiputera atau pribumi yang sering disebut juga inlander.

Pada awalnya persoalan pendidikan rakyat pribumi (inlandsche bevolking) kurang diperhatikan oleh pemerintah kolonial Belanda, termasuk pendidikan orang Cina di Indonesia. Namun, kondisi sosial-politik di Belanda berkembang dan memunculkan politik etis (balas budi) yang kemudian berbuah keluarnya aturan yang memungkinkan pendidikan bagi warga Cina dan kemudian pribumi.

Hanya saja penerapan politik etis tetap menerapkan diskriminasi. Pendidikan dikelola berdasarkan etnis. Kaum pribumi yang bisa menikmati bangku sekolah pun hanya kalangan priyayi.

HCS didirikan oleh sebuah lembaga swasta Vereniging voor Christelijke Hollandse Scholen in de residentie Banjoemas (Asosiasi Belanda untuk Sekolah Kristen di wilayah Banyumas). Awal sekolah ini berdiri bernama Hollandsche-Chineesche Zending School (HCZS) karena memang didirikan oleh kelompok misionaris, salah satunya adalah Dr. Benhard Jonathan Esser.

HCZS di Purbalingga ini merupakan satu dari tiga sekolah yang didirikan oleh Vereniging voor Christelijke Hollandse Scholen in de residentie Banjoemas. Dua yang lain yakni Hollands Javaanse School Bijbel (HJS) di Purwokerto (Sekarang SD Kristen 1 Purwokerto) dan Christelijke Hollands Indlandse School (HIS) di Cilacap (Sekarang SD Kristen Cilacap).

HCS yang menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya kemudian berkembang sampai di Purbalingga dan berdiri pada tahun 1926 seperti digambarkan dalam foto diawal itu. Kepala Sekolah HCS Purbalingga saat itu adalah Mr. Hans Kamp. HCS memang baru diresmikan pada 1926, namun rintisanya sudah dimulai oleh kelompok pekabaran injil kolonial yang dipimpin oleh Y.A.H Weeda pada 1913.

HCS kemudian berubah kelembagaan saat kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda berpindah ke Pendudukan Jepang pada 1942 yang menerapkan penyetaraan sekolah dan terintegrasi menjadi sekolah sejenis. Penggunaan materi tentang bahasa Belanda juga dilarang. Sang ‘Saudara Tua’ bahkan kemudian menutup HCS.

Setelah itu, HCS justru menjadi untuk kepentingan militer yang menjadi markas Badan Kemanan Rakyat (BKR). HCS dinilai representatif juga memiliki lapangan luas yang bisa dimanfaatkan untuk apel tentara. Kompleks gedung HCS dulunya berbentuk pola huruf U dengan bagian tengah dulunya merupakan lapangan. Saat ini di lokasi lapangan tersebuti telah dibangun Gereja Kristen Indonesia (GKI) Purbalingga.

Setelah Jepang hengkang dan Indonesia merdeka, bangunan masih digunakan sebagai markas militer. Kesatuan tentara yang bermarkas disitu dikenal dengan Batalyon Brotosiswoyo, sebab komandannya adalah Mayor Brotosiswoyo. Ia merupakan komandan pertama BKR Purbalingga.

Menurut sejarawan Purbalingga, Ganda Kurniawan dalam tulisannya, pembentukan BKR di Karesidenan Banyumas pertama kali diprakarsai oleh Soedirman, mantan Daidanco (Komandan Batalyon PETA) Kroya atas dasar surat dari BKR Pusat. Brotosiswoyo yang merupakan mantan Chudanco Banyumas ditunjuk untuk memimpin BKR Purbalingga.

Brotosiswoyo tercatat di catatan belanda dalam pertukaran tawanan perang yang terjadi di Bobotsari. Kisahnya sudah saya tulis dan bisa dibaca disini

Setelah, agresi militer Belanda usai, HCS Purbalingga kembali di buka oleh Kolonel Wijrsmark pada 31 Oktober 1947. Kepala sekolah yang menjabat saat itu adalah S.Y.H.G Barink. Setelah itu aset pun berganti kepemilikan dari Vereniging voor Christelijke Hollandse Scholen in de residentie Banjoemas menjadi Perkumpulan Penyelenggaran Perguruan Kristen (PPPK).
Batalyon Brotosiswoyo
Kemudian, HCS juga berubah nama menjadi Sekolah Rakyat 06 pada 1953. Perubahan nama juga diikuti perubahan tampuk kepemimpinan sekolah dari Mr. Barring ke Suharto Azhar. Pada 1967, Sekolah Rakyat 06 berganti nama menjadi SD Kristen Purbalingga dan pada 1998 berganti nama kembali menjadi SD Kristen Bina Harapan.
SD Kristen Bina Harapan kini
Saat ini, kondisi bangunan utama eks HCS tidak banyak berubah. Ruang-ruang sekolah masih tampak seperti yang digambarkan dalam foto lawas. Atap genteng berbentuk limasan pun masih dipertahankan. Tatanan batu kali di dinding bagian luar juga khas bangunan era kolonial. Kisi-kisi kawat, jendela, pintu masih tampak jadul, hanya lantai yang saat ini sudah berubah menjadi keramik. Pada SD tersebut juga masih terdapat 18 buah bangku sekolah kuno yang digunakan oleh siswa pada era itu.
Bangku Sekolah Kuno eks HCS
Unik dan menarik juga ya lur sejarahe Purbalingga..

Semoga cerita ini menjadi pelajaran kedepan bahwa pendidikan adalah hak semua orang tanpa mengenal suku, agama, ras. Pendidikan adalah sarana untuk mencerdaskan bangsa dan jembatan untuk membuka masa depan yang lebih baik.

Ahai..
Serr..

Sumber Foto dan Tulisan :
Artikel Mas Ganda Kurniawan yang bisa dibuka disini
Blog Mbak Anita Wiryo Raharjo yang bisa dibuka disini
Blog Staf Teritorial Kodim 0701 yang bisa dibuka disini

igo saputra Orang yang suka berkhayal dan berusaha membuatnya menjadi kenyataan. Jangan berhenti berimaji..

0 Response to "SD Kristen Bina Harapan : Sekolah Belanda untuk Tionghoa Hingga Markas Tentara"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel