Dosis Kritik

“Kritik tu laksana obat. Ketika obat itu benar, sesuai jenis penyakit dan dosisnya tepat. Itu membuat sehat”
Kalimat itu disampaikan oleh Presiden RI ke 6, Susilo Bambang Yudhoyono kala kinerja pemerintahanya dihujani kritik.
Kritik memang baik. Pemerintahan yang baik tentu butuh kritik. Agar kinerja yang kurang bisa terdongkrak, arah yang melenceng bisa diluruskan, yang salah bisa diperbaiki.

Pada era dengan teknologi informasi yang sudah sedemikian canggih ini, kritik sudah bisa dilakukan siapa saja. Netizen sudah menjadi kekuatan baru dalam kritik mengkritik dan pengawasan pemerintah. Ada citizen jurnalism, ada media sosial. Riuh rendah di dunia maya sudah terefleksi dengan berbagai realtisas kebijakan di berbagai sektor, ipoleksosbudhankam.
Namun, tentu saja, seperti obat, dalam menyampaikan kritik harus tepat diagnnosanya, tepat dosisnya. Jangan sampai demam diberikan obat mencret. Jangan pula batuk dikasih resep menyembuhkan panu. Apalagi jika baik-baik saja dicekoki obat. Tentu tidak pas bahkan bisa berakibat fatal.
Wong, sudah diagnosis tepat saja masih harus pas dosisnya kok. Kalau dosis obatnya terlalu rendah, kumannya ntar malah balik ngece. Kalau over dosis juga kurang baik. Nge-fly ntar. Coba saja minum komik sekali minum 5 bungkus, sembuh kagak, mabok iya.
Bukannya sok bijak. Namun saya mengajak sedulur sekalian, warga Purbalingga, untuk menyampaikan kritik dengan baik. Kritik yang membangun. Jangan srambah uyah, waton ngritik, apalagi mencaci maki. Pemerintah saya kira tidak anti kritik dan semoga bisa merespon dengan baik kritik yang datang.
Hasil sedikit analisis media sosial, saya kok agak gmana gitu dengan dunia permedsosan di Negeri Perwira ini. Ini menurut saya lho ya, mohon maaf bila ada yang tidak tepat, ada beberapa kritik yang kurang pas dan tidak sesuai dengan konteks. Apalagi terkadang informasi yang dicerna separuh-separuh, tidak menyeluruh.
Baru baca judul berita, sudah gregetan, terus gatel ngeritik padahal belum tahu isinya. Ada informasi masih sumir, langsung ikut nyinyir. Parahnya, ada hoax, kemakan dan ikut pula njeplak. Kemudian, saat diberikan penjelasan biasanya berujung debat kusir.
Jadi, menurut saya, penting untuk memahami konteks yang utuh sebelum menyampaikan kritikan. Apalagi untuk orang yang jauh di seberang, bisa jadi informasinya belum lengkap. Kata orang bijak ini, saat kita tidak melihat, merasakan langsung atau informasinya belum lengkap lebih baik tabayun dulu.
Beda lagi sih kalau ada niat provokatif, bermaksud politis atau memang dasarnya tidak suka. Kalau bicara ini mah tidak akan obyektif. Apapun yang dilakukan, kalau ada motif politik atau pada dasarnya sudah tidak suka, tentu saja salah semua. Sama kaya cowo dihadapan cewe, serba salah.. hehe.
Eh, saya sendiri pernah dimaki orang di medsos pakai kata yang kasar, memaki personal bahkan sampai nyebut perabotan pribadi segala. Baru-baru terjadi lagi, di grup ini malah, soal postingan saya ‘Simalakama Corona’. Ada netizen yang tanpa ba bi bu, memaki seporete di kolom komentar. Saya tidak enak harus screenshot atau copy disini, kasar banget soalnya.. hehe. Intinya tidak pas dan keluar dari konteks, bahkan waton kasar saja kayaknya.
Sebagai penutup, saya jadi inget pelajaran analogi saat sekolah dulu. Ada kisah beberapa orang buta sama-sama memegang gajah kemudian diminta untuk menjelaskan bagaimana bentuk gajah. Hasilnya beda-beda.
Ada yang bilang gajah itu lebar dan pipih karena memegang kupingnya, adapula yang bilang bulat dan besar karena pas megang perutnya, yang satu bilang gajah itu panjang dan silider juga kenyal karena megang belalainya, adalagi yang bilang kecil, panjang, ujungnya berambut karena megang ekornya.
Jadi, menurut saya, sekali lagi penting untuk kita mendapatkan informasi yang cukup dan memahami konteks sebelum menyampaikan kritik. Kritik yang membangun dan pas sasarannya.
Buat yang dikritik ya legowo, jangan baper, dijawab saja. Kalau sudah dijawab, ya jangan lalu jadi debat kusir nggak berkesudahan. Kritik itu untuk cari solusi bersama kan bukan untuk menang menangan?. Jangan juga saling hujat dan mencaci maki.
Sesuai analogi di awal tadi, kritik laksana obat maka lakukanlah dengan resep dan dosis yang tepat. Dengan demikian, semoga penyakit terobati, sembuh dan sehat sentausa.
Salam seduluran..
igo saputra Orang yang suka berkhayal dan berusaha membuatnya menjadi kenyataan. Jangan berhenti berimaji..

0 Response to "Dosis Kritik"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel