Lanraad, Saksi Bisu Diskriminasi Hukum Era Kolonial

Seri Cerita Bangunan Bersejarah di Purbalingga

Seorang Noni Belanda tampak tengah berdiri di depan sebuah bangunan bergaya kolonial. Ia seperti menenteng tas / map di tangan kanannya. Tak jauh dari Si Noni Belanda, di sebelah kananya, berjarak sekitar 3 tombak, ada sekitar 10 orang warga pribumi tengah duduk di rerumputan. Gedung tempat Noni itu berdiri di wajah atasnya ada tulisan menojol berhuruf kapital “LANRAAD”.
Noni Belanda dan Para Pribumi di Halaman Gedung Lanraad Purbalingga (KTLV)

Tampak jelas tulisan LANRAAD, Noni Belanda masih tuh di sebelah kanan (KTLV)
Foto-foto itu saya dapatkan ketika melakukan pencarian foto-foto lawas Purbalingga di mbah gugel. Foto itu merupakan koleksi Koninklijk Instituut voor Taal Landen Volkenkund  (KITLV) atau Lembaga Ilmu Bahasa, Negara dan Antropologi Kerajaan Belanda.

Saya pun penasaran untuk menelusuri lebih jauh sejarah Gedung Lanraad Purbalingga itu. Kebetulan saya dan beberapa kawan, diantaranya Mas Ganda Kurniawan (Sejarawan Purbalingga) dan Mas Agus Sukoco (Budayawan Purbalingga) pernah menggelar diskusi kecil-kecilan soal ‘Bangunan Bersejarah di Purbalingga dan Ceritanya’ yang juga menginggung soal gedung itu.

Ternyata, Lanraad adalah Pengadilan di era kolonial. Sampai saat ini Gedung LANRAAD pun masih difungsikan sebagai kantor lembaga yudikatif dan beralih menjadi Gedung Pengadilan Negeri Purbalingga. Lokasi tepatnya ada di Kelurahan Bancar, Kecamatan Purbalingga, seberangnya Sroto Bu Misdar yang maknyong itu lah..hehe.

Gedung Landraad di Purbalingga diperkirakan sudah ada sejak tahun 1848. Kompleks pengadilan itu terdapat 5 unit gedung bergaya Indish Empire Style. Empat unit bangunan diantaranya saling menyambung dan membentuk persegi. Sedangkan satu unit lainnya digunakan sebagai gudang.

Secara umum, bangunan Gedung Pengadilan dalam kondisi terawat meskipun sudah beberapa bangunan baru. Misalkan, pada bentuk yang asli di tengah-tengah pola persegi itu terdapat county yard atau pekarangan yang dimanfaatkan sebagai taman. Namun kini taman tersebut telah didirikan bangunan baru guna menambah ruang persidangan.

Kemudian, wajah utama gedung itu, tulisan ‘LANDRAAD’ telah diganti menjadi ‘PENGADILAN NEGERI’. Gedung lainya digunakan selayaknya pengadilan pada umumnya, ada ruang kerja panitera muda, ruang staf perdata, pidana, ruang pos bantuan hukum, ruang tahanan dan bangunan terpisah tetap digunakan sebagai gudang.
Tulisan LANRAAD udah jadi PENGADILAN NEGERI (Foto : cagarbudaya.kemdikbud.go.id)
Lalu, Lanraad di era kolonial seperti apa sih?

Menurut Wikipedia, Lanraad adalah pengadilan khusus bagi inlanders atau pribumi untuk perkara perdata dan pidana. Lanraad yuridiksinya ada ditingkat Kabupaten.

Foto dibawah ini menunjukkan suasana sidang Lanraad yang menunjukkan diskriminasi kental bagi pribumi. Tampak terdakwa tidak duduk di kursi, melainkan bersimpuh di lantai. (Saat itu berarti belum ada istilah kursi terdakwa yaa.. hehe).Sementara di depannya tampak Hakim Belanda didampingi beberapa panitera / juru tulis / petugas peradilan lainnya yang tampaknya priyayi pribumi.

Suasana Persidangan LANRAAD tahun 1890 (Wikipedia)
Saya kok trenyuh melihatnya ya.. hiks

Pemerintah kolonial Hindia Belanda memang menerapkan diskriminasi dalam setiap sendi kehidupan. Mereka mengklasifikasian masyarakat yang ada di Hindia Belanda menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu golongan eropa, timur asing, dan bumiputera (pribumi). Hal ini sudah barang tentu berakibat pada perbedaan hukum yang berlaku bagi masing-masing golongan tersebut, yang pada akhirnya menyebabkan timbulnya lembaga-lembaga pengadilan yang berbeda yang berwenang mengadili masing-masing golongan tersebut. Lanraad adalah salah satu buktinya.

Selain Lanraad, pengadilan bagi Pribumi dibawahnya ada Districtgerecht yang ada di kecamatan dan dipimpin oleh Camat sebagai hakim. Perkara-perkara yang disidangkan adalah perkara perdata dengan nilai objek kurang dari 20 (dua puluh) gulden dan pidana yang diancam maksimal pidana denda 3 (tiga) gulden. Putusan Districtgerecht bisa dimintakan banding ke Regentschapgerecht

Sementara Regentschapgerecht  terletak di kabupaten untuk menyidangkan perkara perdata dengan nilai objek 20-50 gulden dan pidana yang diancam maksimal pidan penjara 6 hari atau denda 3-10 gulden. Putusan regentschapgerecht sendiri dapat dimintakan banding ke landraad. Jadi, bisa dibilang bahwa Lanraad adalah pengadilan tertinggi bagi pribumi.

Peraturan peradilan itu didasarkan pada Reglement of de Rechterlijke tentang susunan pengadilan dan kebijaksanaan kehakiman tahun 1848. Pada aturan tersebut, detailnya Landraad adalah pengadilan sehari-hari biasa untuk orang Indonesia asli dan dengan pengecualian perkara-perkara perdata dengan orang-orang Tiongkok, orang-orang yang dipersamakan hukumnya dengan Bangsa Indonesia, juga dalam perkara-perkara dimana mereka ditarik perkara oleh orang-orang Eropa atau Tionghoa. Selain itu Landraad juga sebagai Pengadilan Tingkat Banding untuk perkara-perkara yang diputuskan oleh Regenschapgerecht sepanjang dimungkinkan Banding.

Ah, dimana-mana penjajahan kejam ya, termasuk dirasakan oleh pendahulu kita di Purbalingga. Sampai pengadilan saja ada yang khusus bagi orang pribumi dan tampak sekali diskriminasinya. Wajarlah kemudian pendahulu kita berjuang mati-matian untuk memperoleh kemerdekaan.

Kita yang sudah menikmati jerih payah pendahulu kita seyogyanya menghargai jasa-jasa mereka dengan berbuat yang terbaik bagi nusa dan bangsa.

Ahai...
Serr...

igo saputra Orang yang suka berkhayal dan berusaha membuatnya menjadi kenyataan. Jangan berhenti berimaji..

0 Response to "Lanraad, Saksi Bisu Diskriminasi Hukum Era Kolonial"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel