Usman Janatin, Pahlawan Dwikora Dari Purbalingga

Usman Janatin (Dok : www.langgamlangitsore.blogspot.com)
Tulisan singkat di bawah ini tergores dalam sepucuk surat yang ditulis oleh seorang pemuda asal Purbalingga sebelum menghadapi tiang gantungan di negeri jiran, hari ini, 51 tahun silam (*).
Dihaturkan : Bunda Ni Haji Mochamad Ali Tawangsari. Dengan ini anaknda kabarkan bahwa hingga sepeninggal surat ini tetap mendo'akan Bunda, Mas Choenem, Mas Matori, Mas Chalim, Ju Rochajah, Ju Rodiijah + Tur dan keluarga semua para sepuh Lamongan dan Purbalingga Laren Bumiayu. 

Berhubung rayuan memohon ampun kepada Pemerintah Republik Singapura tidak dapat dikabulkan maka perlu ananda menghaturkan berita duka kepangkuan Bunda dan keluarga semua di sini bahwa pelaksanaan hukuman mati ke atas ananda telah diputuskan pada 17 Oktober 1968 Hari Kamis Radjab 1388. 

Sebab itu, sangat besar harapan anaknda dalam menghaturkan sudjud di hadapan bunda, Mas Choenem, Mas Madun, Mas Chalim, Jur Rochajah, Ju Khodijaht Turijah para sepuh lainnya dari Purbolingga Laren Bumiayu Tawangsari dan Jatisaba sudi kiranya mengickhlaskan mohon ampun dan maaf atas semua kesalahan yang anaknda sengaja maupun yang tidak anaknda sengaja. 

Anaknda di sana tetap memohonkan keampunan dosa kesalahan Bunda saudara semua di sana dan mengihtiarkan sepenuh-penuhnya pengampunan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Anaknda harap dengan tersiarnya kabar yang menyedihkan ini tidak akan menyebabkan akibat yang tidak menyenangkan bahkan sebaliknya ikhlas dan bersukurlah sebanyak-banyaknya rasa karunia Tuhan yang telah menentukan nasib anaknda sedemikian mustinya. 

Sekali lagi anaknda mohon ampun dan maaf atas kesalahan dan dosa anaknda kepangkuan Bunda Mas Choenem, Mas Matori, Mas Chalim, Ju Rochajah, Ju Pualidi, Rodijah, Turiah dan keluarga Tawangsari Lamongan Jatisaba Purbolingga Laren Bumiayu. 

Anaknda
Ttd.
(Osman bin Hadji Ali) 
Bumi Purbalingga selain melahirkan Jenderal Besar Soedirman juga merupakan tumpah darah seorang Pahlawan Dwikora. Ia adalah Sersan Dua Anumerta Usman Janatin bin H. Ali Hasan. Selain diabadikan sebagai salah satu nama Kapal Republik Indonesia, KRI Usman-Harun, di kampung halamannya, Usman Janatin disematkan sebagai nama taman yang ada di jantung kota.

Usman Janatin lahir di Dukuh Tawangsari, Desa Jatisaba, Kecamatan/Kabupaten Purbalingga Jawa Tengah pada 18 Maret 1943. Saat menerima eksekusi hukuman gantung di Singapura pada 17 Oktober 1968, umur yang masih sangat muda, 25 tahun.

Usman adalah salah satu dari dua anggota Korps Komando Operasi (KKO), kini disebut Marinir, yang ditangkap di Singapura pada saat terjadinya konfrontasi Indonesia dengan Konfederasi Malaya (Malaysia-Singapura). Saat itu, Ia bersama dengan seorang anggota KKO lainnya bernama Harun Thohir melakukan sabotase di jantung kota Singapura pada 10 Maret 1965. Mereka berdua meledakan MacDonald House, juga dikenal Gedung Hongkong and Shanghai Bank, yang terletak di Orchad Road. Peristiwa yang dikenal dengan Pengeboman MacDonald House itu menyebabkan gedung yang didatangi banyak tamu asing itu porak poranda, tiga orang meninggal dunia dan sedikitnya 33 orang cedera.
Situasi di Sekitar Gedung McDonald House Usai dibom oleh Usman Janatin dan Harun (Dok : www.bombastis.com)
Pada era Presiden Soekarno sudah menjadi pengetahuan umum jika hubungan kita dengan negeri jiran itu tak harmonis. Presiden Soekarno pernah menggaungkan istilah yang beken hingga saat ini Ganyang Malaysia!. Indonesia tentu saja menentang keras penyatuan Malaysia Raya, termasuk Singapura yang dicap sebagai boneka penjajah Inggris dan berpotensi mengancam kedaulatan Indonesia. Kita kemudian mengirimkan pasukan dan sukarelawan dalam Operasi Dwikora yang bertujuan menyabotase keadaan di Singapura dan Malaysia.

Pengeboman di MacDonald House merupakan aksi paling serius dari seluruh kegiatan sabotase dan konfontasi yang terjadi di Singapura. Setelah menyelesaikan misinya, Usman dan Harun berusaha keluar Singapura. Mereka menyamar dan menumpang kapal-kapal dagang untuk melarikan diri. Militer Singapura tak tinggal diam dan mengerahkan seluruh armadanya untuk memblokir Selat Malaka.

Usman dan Harun prajurit pilihan, mereka sebenarnya sudah bisa mengambil alih sebuah kapal motor, namun naasnya di tengah laut kapalnya mogok. Mereka pun tidak bisa lari dan ditangkap patroli militer Singapura. Keduanya dijebloskan ke penjara. Hakim mengganjar mereka dengan hukuman gantung atas kasus pembunuhan, penggunaan bahan peledak dan melakukan tindakan terorisme.

Pemerintah Indonesia tidak diam, berbagai upaya banding, bantuan hukum dan diplomasi dikerahkan untuk membebaskan mereka. Namun, semuanya gagal. Singapura bersikeras menolaknya karena menganggap tindakan Usman dan Harun sebagai terorisme dan menggungcang kedaulatan negara. Mereka juga dinilai bertugas tidak resmi / liar dan bukan tindakan dalam keadaan perang.

Hukuman mati pun dilaksanakan. Selepas Sembahyang Subuh, 17 Oktober 1968, keduanya dikeluarkan dari sel mereka di Penjara Changi. Mereka dibawa dengan tangan terborgol ke tiang gantungan. Tepat pukul 06.00 waktu setempat, eksekusi dilaksanakan. 
Innanilahi wa ina ilaihi raji'un
Penyambutan di Jakarta

Berita kematian Usman-Harun dieksekusi di Singapura tersebar luas. Simpati merebak. Saat jenasah mereka berdua tiba di Jakarta, diceritakan hampir satu juta orang mengiringi jenazah mereka sejak dari Kemayoran, Markas Hankam hingga dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Semuanya berduka dan menangisi nasib dua prajurit ini dan mengutuk Singapura. Korps Marinir adalah pihak yang merasa paling kehilangan.

"Jika diperintahkan KKO siap merebut Singapura!," ujar Komandan KKO saat itu, Mayor Jenderal Mukiyat dengan geram di depan jenazah anak buahnya.

Akan tetapi, niat pimpinan marinir itu tak tercapai. Presiden Soeharto yang menggantikan Presiden Soekarno rupanya lebih suka tak meneruskan konflik dengan Malaysia dan Singapura. Namun, bukan berarti Pak Harto tinggal diam begitu saja. Pada saat Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew  berkunjung, Soeharto mengajukan sebuah syarat, orang nomor satu Singapura itu harus menaburkan bunga di makam Harun dan Usman. Hal itu disetujui oleh Perdana Menteri Lee dan hubungan Indonesia dan Singapura pun akhirnya membaik.

Sebagai bentuk penghargaan, Presiden Soeharto kemudian juga memberikan gelar pahlawan nasional untuk keduanya. Pangkat mereka dinaikkan satu tingkat secara anumerta. Mereka dikenal sebagai Pahlawan Dwikora dan mendapat penghargaan bintang sakti.

*Artikel itu saya tulis dan unggah pada 16 Oktober 2019, sebagai peringatan 51 tahun meninggalnya Usman Janatin dan Harun Tohir

Sumber Referensi :
Diskusi dengan almarhum Pak Tri Atmo serta artikel tentang Usman-Harun dan Pengeboman McDonald House di www.wikipedia.com, www.merdeka.com dan www.toparmour.blogspot.com

Usman Janatin diabadikan menjadi nama Taman Kota. 
NB : Numpang promo, saat ini, di Taman Kota Usman Janatin ada kedai yang asyik buat nongkrong lho. Namanya Kedai Pojok, di pojok sebelah selatan yaa.... Mojok Yuuks..

igo saputra Orang yang suka berkhayal dan berusaha membuatnya menjadi kenyataan. Jangan berhenti berimaji..

0 Response to "Usman Janatin, Pahlawan Dwikora Dari Purbalingga"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel