Aksi Kapten Bosch vs Pejuang Republik di Purbalingga

Kondisi Ruas Jalan Bobotsari-Purbalingga yang Sabotase Pejuang Republik untuk Menghambat Gerak Laju Pasukan Belanda (Album Pa Tazelaar di www.indiganger.nl)
Purbalingga, meski kota kecil, mempunyai kisah perang yang menarik. Salah seorang serdadu Belanda yang pernah bertugas di kota ini, Letnan Hans Gerritsen menulis sebuah buku catatan harian yang cukup cetail menggambarkan suasana dan kondisi perang di Purbalingga.

 

Bukunya berjudul De Hinderlag Bij Sindoeradja atau Penyergapan di Sindoeradja. Meski berjudul Sindoeradja, kisahnya tentang berbagai kejadian di Purbalingga seperti Bobotsari, Boekatedja, Wirasaba, Wirasana, Kertanegara, Bodjongsari, Ondje sampai perjalanannya bermula dari Belanda hingga pulang lagi ke negaranya itu.

 

Saya sudah menulis tiga kisah dari nukilan bukunya yang bisa dibaca di sini, di sini dan di sini.

 

Ada satu hal lagi yang menarik buat saya dari buku Letnan Hans itu, yaitu, sosok yang dianggap olehnya sebagai pemimpin panutan. Namanya, H.J.W Bosch seorang perwira KNIL (Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger) berpangkat Kapitein atau Kapten.

 

KNIL adalah kesatuan militer Belanda yang terdiri dari multi etnis. Banyak prajuritnya orang pribumi dari berbagai etnis, namun, perwiranya asli Belanda.

 

Hans banyak mengulas sosok Kapitein Bosch dalam bukunya, terutama, pada bagian 8 bukunya yang bertajuk :  Patrouillies, Hinderlagen en Actie atau Patroli, Penyergapan dan Aksi. Selain kisah kapitein itu, ada juga kisah menarik tentang sosok serdadu KNIL anak buah Kapten Bosch yang dikenal sebagai algojo pejuang republik.

 

Begini kisahnya...

 

Hans bercerita Kapten Bosch datang ke Poerbolinggo pada hari terakhir bulan Februari 1949. Perwira KNIL itu datang saat pasukan Belanda di Purbalingga kesulitan menembus barikade pertahanan TNI di Bobotsari. Jalur Bobotsari penting karena menjadi penghubung pemalang ke poerbolinggo lalu ke Banjoemas atau Tjilatjap.

 

Pasukan Belanda di Poerbalingga ditugaskan untuk mengawal kompi konstruksi memulihkan jalan dan jembatan serta mengamankan Bobotsari secara permanen. Saat itu, TNI memang menggunakan taktik bumi hangus di Bobotsari. Banyak bangunan di hancurkan, jembatan di runtuhkan, jalan-jalan dirusak dan pohon-pohon ditebangi.

 

Kapten Bosch datang ke Poerbolinggo dengan kompi pasukan khusus KNIL untuk melaksanakan operasi ini.

De leider van deze acties naar Bobotsari Kapitein Bos (Dok : www.indigangers.nl)
Untuk merebut Bobotsari, sebuah aksi militer gabungan besar direncanakan untuk tujuan ini pada 1 Maret 1949. Kapten Bosch memimpin operasi itu yang terdiri dari pasukan KNIL, pasukan KL (Koninklijke Landmacht) dimana Hans berada di dalamnya, pasukan artileri 2-12 RVA (Regiment Veldartillerie) serta didukung pesawat pemburu yang dikerahkan pasukan perang udara Luchtstrijdkrachten (LSK) dari Pangkalan Udara Wirasaba.

 

Hans bercerita dalam bukunya, aksi itu direncanakan sangat matang. Artileri sudah digunakan ketika baru sampai di Bodjongsari untuk membombardir posisi TNI. Tepat di selatan Kampung Ondjé, sekitar tiga kilometer dari Bobotsari, TNI sudah mulai menghadang dan terjadi baku tembak.

 

“Kami bisa dengan jelas mendengar komandan TNI memberi perintah, setelah itu tentara musuh berteriak "Madjoe, Madjoe!, Serang!”. Tetapi efek dari perintah dan teriakan itu tidak terlalu kuat, mereka mungkin hanya mendorong diri mereka sendiri atau mencoba menakut-nakuti kita,” ujar Hans (Hal. 90).

 

Setelah baku tembak yang berlangsung sekitar lima belas menit, musuh mundur. Kapten Bosch kemudian memberi perintah untuk maju lebih jauh. “Setelah kami berjalan beberapa saat kami melihat di sisi timur dari kampung, beberapa prajurit TNI berlari menyeberang jalan, lalu serangan langsung dibuka” (Hal. 91)

 

Serangan pejuang republik berhasil membuat militer Belanda kerepotan. Hans menggambarkan mereka mendapat tekanan penuh. TNI memberikan perlawanan sengit dengan karaben dan senapan  rampasan dari Jepang. Untuk menghadapinya, para prajurit detasemen KNIL yang saat itu masih berada di kampung dipanggil menggunakan radio dan disuruh menyeberangi kali kemudian melakukan gerakan melingkar ke tepi utara kampung.

 

“Ketika mereka sampai di sana, baku tembak terjadi lagi dan kali ini diintensifkan,” ujar Hans (Hal. 91)

 

Militer Belanda masih kerepotan sehingga mereka meminta bantuan serangan udara.

 

“Komandan aksi kami muak dan meminta dukungan udara melalui radio. Sekitar sepuluh menit kemudian, beberapa pesawat pemburu berputar-putar di atas kami, siap menyerang. Bagi kami, cukup melegakan melihat pesawat melakukan penerbangan bermanuver dan tembakan senapan mesin di atas garis depan. Kami menderngar deru mesin yang memekakan dan ledakan tembakan. Pecahan mesiu seperti bersiul di atas kami. Yang pasti, kami terlindungi dengan baik” (Hal. 91)


Disaat anak buahnya merunduk, Kapten Bosch berdiri memandang aksi para pesawat pemburu dengan sekasama. “Dia seorang yang fatalis,” kata Hans.

Pesawat Pemburu Milik Belanda di Langit Purbalingga (Album PA Tazelaar di www.indigangers.nl)
Ketika pesawat berbalik untuk kembali ke markas mereka, militer Belanda melanjutkan perjalanan. Serangan bombardir pesawat rupanya efektif menghancurkan posisi TNI. Sejak saat itu mereka sementara tidak lagi muncul dan pasukan belanda melenggang ke Bobotsari.

 

Sampai di Bobotsari mereka melihat susana sudah porak poranda. Gedung-gedung hancur, pepohonan berselang-seling di jalan, di mana-mana jalan digali, jembatan hancur, aliran air sengaja dilewakan ke jalan supaya jalan semakin rusak. Tentara republik dibantu rakyat yang melakukan penghancuran ini dengan sangat sengaja.

“Malapetaka yang mengerikan telah terjadi. Itu menyedihkan,” ujar Hans menggambarkan.

 

Kapten Bosch tetap tenang saat kondisi demikian. Ia memeriksa kerusakan di mana-mana dan kemudian meletakkan catatannya di tasnya yang berbentuk kotak dari kulit yang keras. Tas-nya itu juga berisi peta.

 

Untuk mengamankan kota satelit Purbalingga itu, kemudian satu peleton detasemen KNIL tetap tinggal di Bobotsari.

 

Hans sangat mengangumi Kapten Bosch. Menurutnya, Ia adalah sosok yang luar biasa. Kapten itu disebutnya memiliki penampilanya khas dengan cara dia berjalan yang gagah, seragam kamuflase tua berlengan pendek, putte (pembungkus kaki), helm setengah kepala ‘ala’ Inggris, tongkat jalan dan 'jerawat' serta tas kerja kulit keras yang besar. Kapten Bosch memiliki janggut abu-abu panjang sehingga para kompatriotnya saat bercanda memanggilnya Si Djenggot (de man met de baard).

 

“Dia mungkin bertubuh kecil, sekitar enam kaki, tetapi sebagai komandan aksi dia adalah seorang pria bertubuh tinggi. Saat kami maju, dia biasanya berjalan sendirian di depan dan tidak bersenjata dengan tongkat dan iringi oleh beberapa pengikut setia dari Maluku”. ( Hal. 92)

 

Hans pun mengulik latar belakang kapten idolanya itu. Nama lengkapnya, Dr. HJW Bosch. Pria itu sudah di Hindia Belanda sejak sebelum Indonesia merdeka. Sebelumnya, Bosch disebut pernah bertugas di Afrika Selatan dan India.


Saat Jepang datang, seluruh keluarganya dibunuh. Ia pun mengalami kekerasan selama Era Bersiap, 1945-1946. Dia sendiri pernah menjadi tawanan perang republik. “Itulah mengapa dia adalah pejuang yang fanatik,” kata Hans. (Hal. 92)

 

Ada hal unik yang ditemukan Hans tentang Kapten Bosch bahwa selama pelarian di masa Pendudukan Jepang, Bosch bersembunyi di suatu tempat di sebuah kampung di Jawa. Dia bahkan sempat menikahi seorang Wanita Jawa Muda (de jonge javaanse vrouw) yang dia temui di sana.

 

Pada saat Belanda kembali ke Indonesia, Bosch dibebaskan dan kembali bertugas di militer. Ia dikenal cakap menjalankan tugasnya. Oleh karena itu, Ia memimpin pasukan khusus yang bertugas mengamankan situasi militer yang terancam lepas kendali.

 

Menurut Hans, Dia adalah sosok yang legendaris. Kapten Bosch amat terobsesi perang. Misalnya, kata Hans, jika dia tidak datang sekali dan pernah terjadi kontak senjata dengan musuh, dia selalu sangat penasaran dengan jalannya aksinya. Setelah itu dia bertanya kepada komandan dan jika dia setuju dengan keputusannya, dia menjawab dengan cara yang sangat stereotip.

 

“Dia selalu dengan tangan di pinggul, mendengarkan dengan penuh perhatian, melihat ke atas ke arah orang yang dituju, yang biasanya satu atau dua cangkir lebih tinggi darinya, dia bergumam, sambil mengisap pipanya yang tumpul,” katanya.

 

Selama pertempuran, Sang Kapten selalu memberi beberapa perintah dengan jelas. Entah dengan meniup peluitnya atau memberi isyarat dengan tongkatnya. “Anda sebenarnya bisa membandingkannya dengan seorang konduktor : pemimpin orkestra pejuang yang terlatih dengan sempurna,” katanya.

 

Saat membangunkan prajurit, Dia berteriak dengan suara lantang : `Veurrwaèrrrts’.

Hier de bulldozer aan het werk (Dok : www.indiganger.nl)
Setelah itu, Hans dan kesatuanya kembali ke Kota Poerbolinggo. Detasemen engginer sudah sibuk memperbaiki jalan. Alat berat seperti buldoser dikerahkan. Untuk membantu pertahanan di Bobotsari, mesin dan mortir berat Vickers dikirimkan. Sejak saat itu kesatuanya bermarkas di perbatasan Bobotsari dan Purbalingga untuk melindungi unit engginer yang sedang memperbaiki jalan, gedung dan sambungan telepon.

 

“Ratusan kuli yang telah diambil dari penjara atau dibawa secara paksa dari kampung tetangga dipanggil. Di bawah pengawasan prajurit kami, batu-batu terlempar, pohon-pohon dipindahkan dan jalan-jalan berlubang,” katanya.

Tahanan dan Kuli yang dipekerjakan untuk memperbaiki jalan di Bobotsari (Dok : www.indiganger.nl)
Pada tanggal 24 Maret 1949, peleton Hans menempati bekas perusahaan susu milik Orang Cina Tan Hui Liat. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, mereka dibawa dengan truk tentara ke Bobotsari untuk kembali beraksi. Ini menjadi kegiatan gabungan kembali. Selain peleton Hans, ada pasukan KNIL dan kompi 3-11 RI juga akan berpartisipasi. Senapan Mesin Vickers dan mortir berat dikerahkan untuk mendukung operasi.

 

“Kapten Bosch sangat terburu-buru hari itu, berkali-kali dia mendesak kami untuk bergegas. Dia memiliki ekspresi muram di wajahnya dan tidak banyak bicara. Jika dia mengatakan sesuatu, paling-paling itu ada, "ya, tidak" atau sesuatu seperti itu”. (Hal. 94).

 

Mereka bergerak ke arah utara dengan tujuan Kertanegara. Baru memulai perjalanan, terlihat serombongan pasukan TNI dan segera dibombardir dengan senapan mesin. Pada sore hari mereka sudah sampai di Kertanegara.

 

“Kampung itu sepi. Ada keheningan yang menindas. Itu berbukit dan lebat. Kami akan bermalam di kampung itu. Makanan diminta melalui radio. Saya ingat betul bahwa, saya lelah dan lapar, saya menunggu dengan tidak sabar untuk menjatuhkan itu. Hari sudah hampir senja. Saya hampir tidak makan apa-apa sepanjang hari dan sedikit teh dingin terakhir dari kantin saya telah disiram ke tenggorokan saya sejak lama. Kapten Bosch, tidak jauh dariku, mendengarku mengeluh karena sudah larut malam. Dari bagian bawah saku celah overall-nya, dia lalu menggali beberapa jempol biskuit rusak dan menyerahkannya padaku. ‘Ini, makanlah’, hanya itu yang dia katakan”.

 

“Baru pada malam hari sebuah Dakota datang berputar-putar di atas kami, menjatuhkan kaleng besar jatah darurat dari ketinggian rendah. Ngomong-ngomong, kami masih harus berhati-hati agar tidak terlalu menumpuk di kepala kami. Butuh beberapa saat sebelum kami semua mendapatkannya di semak yang lebat. Malam itu kami makan nasi goreng kalengan. Anak laki-laki KNIL jauh lebih 'mandiri' daripada kami. Menjelang makan malam mereka berburu ayam, bebek, dan angsa dengan panik dan hidup dari apa pun yang bisa mereka temukan di kampung atau di darat”. (Hal 94-95).

 

Hans juga menceritakan, salah satu pengikut setia Kapten Bosch bernama Rooie Mozes (Moses Merah). Seorang prajurit KNIL yang berasal dari Ambon. Hans menceritakan sosoknya sebagai prajurit yang unik. “Prajurit tua ini menggunakan setiap jeda untuk mempertajam kelewangnya, senjata yang tentunya tidak hanya dia gunakan untuk menyembelih ayam,” katanya.

Moses Merah dan Kelewangnya, Algojo Belanda (Dok : Album Foto PA Tazelaar di www.indiganger.nl)
Catatan : Meski berperawakan pendek dan sudah berumur, Moses terkenal kejam. Dalam salah satu keterangan foto PA Tazelaar, Moses pernah digambarkan algojo pasukan republik yang sering mengeksekusi tahanan dengan kelewangnya.

 

Malam itu mereka tidur di Kertanegara. Hans menceritakan dirinya tidur di sebuah rumah bilik bambu yang terletak di pinggir kampung. Ia tidur di atas baleh-baleh yang penuh dengan nyamuk. Paginya, menjelang fajar mereka sudah bersiap kembali beraksi.

 

Aksi militer itu kembali diawali dengan serangan pesawat tempur memborbardir posisi yang diduga pertahanan TNI. Saat pesawat tempur beraksi mereka harus berlindung. “Setelah penembakan, kami menggeledah kampung, tetapi tidak ada jejak musuh,” kata Hans.


Kayakue lur kisahe...  dadi ngerti perjuangan pahlawan gemiyen berat banget ya lurr.. taruhane bener2 nyawa bisane dewek bisa merdeka kaya kiye..


Sumber : Buku De Hinderlag Bij Sindoeradja, karya Hans Gerritsen, Baarn, Holandia, 1987. Special thanks to Torik Juned Bawazier di Amsterdam yang sudah mengirimkan buku tersebut. Foto-Foto : Album PA Tazelaar di www.indieganger.nl

igo saputra Orang yang suka berkhayal dan berusaha membuatnya menjadi kenyataan. Jangan berhenti berimaji..

1 Response to " Aksi Kapten Bosch vs Pejuang Republik di Purbalingga"

Unknown said...

Keren kang..Lanjutkan

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel