Antara Bandara Soedirman dan Kembalinya Wirasaba Sebagai ‘Ibu’ Tlatah Panginyongan

Runway Bandara Soedirman (Dok : Media Indonesia)
Inget masa kecil, kalau ada pesawat lewat, saya dan rekan sebaya akan ramai keluar rumah, berlarian sambil berteriak kegirangan. “Montor mabur njaluk duite, ora wei .......”. Begitu seterusnya sampai ‘burung besi’ itu hilang dari pandangan.

Tentu saja tak satupun penumpang atau awak pesawat yang mendengar. Namun, keriangan anak kecil mana peduli. Bagi mereka, raungan pesawat bak teriakan kucing kawin, enak juga di kuping. Pemandangan pesawat terbang yang segede ‘upil’ di angkasa adalah sebuah kemewahan. Momen yang jarang-jarang terjadi.

Nah, mulai Selasa Pon, 1 Juni 2021 besok, pesawat wira-wiri di langit ‘Bumi Perwira’ kan menjadi hal yang biasa. Pasalnya, Bandar Udara Jenderal Besar Soedirman yang terletak di Desa Wirasaba, Kecamatan Bukateja, Kabupaten Purbalingga resmi mulai beroperasi.

Tiket pesawat sudah bisa dibeli. Penerbangan dari PWL (Bandara JBS Purbalingga) menuju HLP (Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta) dan sebaliknya dibanderol 500 ribuan.

Aah, akhirnya, perjuangan panjang nan berliku Purbalingga untuk memiliki bandara komersial menjadi kenyataan.

Citilink Mendarat Mulus di Wirasaba (Dok : Lensa Purbalingga)
Flashback peristiwa tiga tahun lalu.

Pada 23 April 2018, Presiden Joko Widodo mencanangkan pembangunan bandara yang kemudian resmi diberi nama dengan menyematkan pahlawan kelahiran Purbalingga, Jenderal Besar Soedirman. Saat itu, Jokowi menyebutkan, bandara dengan luas 115 hektar itu akan menerbangkan kurang lebih 300 ribu penumpang per tahunnya. Itu pada tahap pertama dengan runway sepanjang 1600 meter, tahap berikutnya saat landasan pacu diperpanjang 2500 meter, akan lebih banyak penumpangnya sebab pesawat yang bisa mendarat kapasitasnya bertambah besar.


Bandara Wirasaba yang memiliki terminal 3000 meter persegi itu akan melayani wilayah Jawa Tengah bagian selatan-barat yang selama ini belum memiliki fasilitas transportasi udara memadai. Tak hanya Purbalingga sebagai tuan rumah, juga akan membantu mobilitas ke wilayah Banyumas, Banjarnegara, Cilacap, Kebumen, Pemalang, Wonosobo, Tegal, Brebes dan lainnya. Keberadaan bandara, disebut Jokowi, akan menjadi daya ungkit pertumbuhan ekonomi di wilayah-wilayah tersebut.


Lancarnya mobilitas orang dan barang tentu saja akan merangsang geliat titik-titik pertumbuhan ekonomi baru. Harapannya, efek bandara akan membuat industri tumbuh, wisata ramai dikunjungi orang, UMKM bergerak bangkit.


Kabupaten Purbalingga yang ketempatan Bandara J.B Soedirman di Wirasaba tentu harus gercep alias gerak cepat untuk menyabet potensi besar itu. Efek positif bandara harus dinikmati ‘Bumi Perwira’ seoptimal mungkin. Jangan sampai justru kita hanya menikmati remah-remah sementara kue tart-nya dinikmati orang lain. Untuk itu, infrastruktur, kapasitas sumberdaya manusia, dukungan kebijakan, kesiapan stakeholder harus siaga menyambut kehadiran bandara. Jangan malah gagap dan tidak tanggap. Lalu, jangan pula lupakan pencitraan alias branding, itu penting.


Ada kaca benggala yang patut dijadikan pelajaran bagi Purbalingga. Bandara Adi Sumarmo itu ada di Kabupaten Boyolali, namun lebih dikenal dengan Bandara Solo. Begitu pula Bandara Adi Sucipto, adanya di Kabupaten Sleman namun lazim disebut Bandara Yogya. Solo dan Yogya pun lebih optimal mendapatkan manfaat bandara dibandingkan dengan Boyolali dan Sleman.


Nah, kejadian serupa tak mustahil bisa menimpa dengan Bandara J.B Soedirman-nya. Adanya di Wirasaba – Purbalingga, namun lebih dikenal sebagai bandara kabupaten tetangga, misalnya, jadi lebih dikenal dengan Bandara Banyumas atau Purwokerto. Ketiwasan kalau sampai itu terjadi.


Purbalingga Harus Siap


Untuk mewujudkan potensi menjadi realisasi serta agar kita tak hanya menjadi penonton di rumah sendiri, mau tak mau, Purbalingga harus segera berbenah.


Pada penyedia akomodasi kudu tanggap sehingga orang mendarat di Wirasaba tak bingung naik transportasi lanjutannya apa dan menginap di mana. Wisata kita harus memikat sehingga pelancong jauh-jauh terbang punya tujuan tetirah dan piknik yang nyaman di Purbalingga. Jangan sampai destinasi di Purbalingga di-skip saja dari ittenary trip mereka.


Iklim investasi harus kondusif supaya investor yang sudah gampang mobilitasnya ke Purbalingga juga mudah menanamkan modalnya. Sektor UMKM wajib hukumnya berbenah, sebab, para tamu kita ini butuh camilan khas, kuliner yang memanjakan lidah juga kerajinan yang ciamik ‘Made in Purbalingga’ untuk oleh-oleh. Pelaku seni dan budaya, ayo merias diri, mereka perlu tahu kreatifitas menawan seniman ‘Braling’.


Mengembalikan Wirasaba Sebagai ‘Ibu’ Tlatah Panginyongan

Ilustrasi Kadipaten Wirasaba (Dok : FP FB Kadipaten Wirasaba)
Hadirnya Bandara Jenderal Besar Soedrman di Wirasaba sebenarnya seperti sebuah dejavu sejarah. Bandara Wirasaba yang akan menjadi pusat mobilitas warga di kawasan Barlingmascakeb (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, Kebumen) seperti mengulang kejadian sejarah pada Abad 14-15. Saat itu, ada sebuah kadipaten besar bernama Wirasaba yang menguasai wilayah-wilayah itu. Kadipaten Wirasaba adalah induk atau pusat dari kawasan yang kemudian hari dikenal sebagai wilayah eks-Karesidenan Banyumas itu.

Namun, pada tahun 1570, sebuah tragedi yang menimpa Adipati Warga Utama berujung kekuasaan beralih ke menantunya yang bernama Jaka Kaiman. Sang menantu tak enak hati sehingga membagi Kadipaten Wirasaba menjadi empat bagian pada Februari 1571. Inilah yang dikenal dengan Peristiwa Mara Papat (membagi empat) alias Mrapat.


(Selengkapnya tentang Peristiwa Mrapat di Kadipaten Wirasaba bisa dibaca di sini)


Jaka Kaiman yang kemudian dikenal dengan Adipati Mrapat memilih berkuasa di Kejawar, kampung kelahirannya. Kakak-kakak iparnya memimpin tiga bagian lainnya, yaitu, Ngabehi Wargawijaya tetap di Wirasaba, Ngabehi Wirayuda di wilayah Banjar Petambakan dan Ngabehi Wirakusuma di Pamerden.


Kejawar kelak berkembang pesat menjadi Banyumas sedangkan Banjar Petambakan menjadi Banjarnegara. Sementara Pamerden dan induknya justru meredup, bahkan Wirasaba menyusut hanya menjadi desa yang kini berada di Kecamatan Bukateja, Purbalingga.


Banyumaslah terus moncer mengungguli lainnya sehingga wilayah bekas Kadipaten Wirasaba disebut dengan Banyumas Raya. Bahasa yang ngapak dan budayanya disebut dengan Banyumasan. Seandainya, Wirasaba terus eksis tentu wilayahnya masih disebut dengan Wirasaba Raya dan bahasa serta budaya ngapak disebut dengan Wirasabaan.


Nah, keberadaan bandara di Wirasaba seperti menjadi pertanda kembalinya ‘Ibu’ bagi wilayah tlatah pangiyongan itu. Purbalingga yang sekarang ketiban sampur dengan Bandara Wirasaba harus memanfaatkan momen ini. Kita bisa mengulang sejarah, mengembalikan Wirasaba (Purbalingga) sebagai ‘Ibu’ dari wilayah Jawa tengah bagian selatan-barat.


Apakah kita bisa? Bisa lah, masa enggak! Semangat Gaes...


Gunanto Eko Saputro (Eks Jurnalis TEMPO dan Pemerhati Sejarah Purbalingga)

igo saputra Orang yang suka berkhayal dan berusaha membuatnya menjadi kenyataan. Jangan berhenti berimaji..

2 Responses to " Antara Bandara Soedirman dan Kembalinya Wirasaba Sebagai ‘Ibu’ Tlatah Panginyongan"

Dalpinsaurus said...

Iya gess, harus bisa no, bismillah jo

Unknown said...

Nyong warga banjarnegara melu bungah Wirasaba ana Bandara

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel