Cahyana Karabal Minal Muslimin, Tanah Perdikan di Bumi Perwira

Masjid Agung Demak, 1870-1900 (Dok : Troppen Museum/Common Wikipedia)
Pada 1401 Saka atau 1479 Masehi, Kesultanan Demak Bintara baru saja berdiri sebagai imperium Islam pertama di Pulau Jawa pasca keruntuhan Majapahit. Kesultanan yang didirikan para wali itu tentu saja perlu membangun masjid agung sebagai pusat penyebaran Agama Islam.

 

Para wali seantero Jawa Dwipa pun berkumpul. Mereka bahu membahu menyelesaikan pengerjaan Masjid Agung Demak siang dan malam. Pada proses pembangunannya ternyata kurang satu tiang karena memerlukan kayu glondongan yang besar.

 

Raden Patah, Sultan Demak saat itu, meminta bantuan kepada seorang soleh utusan dari wilayah Pengalasan Kilen atau yang dikenal sebagai Cahyana Karabal Minal Mukminin untuk menyelesaikannya. Orang itu yang bernama Syekh Makdum Wali Prakosa menyanggupinya.

 

Beliaupun membuat tiang atau saka berbahan baku tatal (kayu sisa pengerjaan) dibantu oleh Sunan Kalijaga. Hal itu, sebagaimana tertera pada teks Cariyosipun Redi Munggul berikut :

 

“... Kacariyos Pangeran Kalijaga saweg tapa ing Giri Mlaka, sidik paningalipun lajeng jengkar. Sakdinten sakndalu saged dumugi ing Demak. Anjujug lenggah ing pancabrakan, pinanggih kaliyan Pangeran Wali Prakosa. Pangeran Kalijaga ataken, ‘Lho Si Anak napa sing dadi bubuhan andika?’ Pangeran Wali Prakosa mangsuli, ‘Kula kabubuhan saka satunggal’. Pangeran Kalijaga mangsuli malih, ‘Heh Anak, kula kang badhe ambantu nggrabahi sarta ngalus’. Nunten Wali kakalih wau enggal tumandang nyambut damel, sami mendet tatal. Lajeng dipungulingaken kaping sakawan insya Allah ta’ala iman tokhid ma’ripat Islam, tatal dados blabag, kaelus nunten dados balok” (Priyadi, 2001: 98).

 

Saat pembangunan Masjid Agung Demak sudah hampir jadi, sultan dan semua wali berkumpul. Kala itu malam sudah tergelincir, Lintang Waluku sudah naik, matahari sudah mulai tampak. Pada pengecekan terakhir sebelum digunakan ternyata kiblat Masjid tidak tepat atau menceng. Sultan dan para wali meminta Sang Pembuat Saka Tatal dari Pengalasan Kilen itu untuk meluruskannya. Ia menyanggupinya dan lalu berkata :

 

“Monggo sami nenuwun ing Allah, kawula ingkang dadhos Palu (dedonga), kanjeng Wali saha Susuhanan ingkang dadhos gandhen (ngijabahi)” (Ervitaputri, 2016 : 197).

 

Berkat peristiwa itu, Ia dianggap berjasa dan mendapat gelar sebagai Pangeran Wali Prakosa (wali yang perkasa). Sultan pun memberikan anugrah kepada Syekh Makdum Wali Prakosa, yaitu, daerah asalnya Cahyana Karabal Minal Muslimin dijadikan tanah perdikan yang dibebaskan dari pajak. Hal itu tertuang dalam Serat Kekancingan Sultan Demak yang mengukuhkan Cahyana sebagai tempat Peperdikaning Allah.

 

Surat kekancingan itu, sebagaimana disalin oleh peneliti Belanda yang juga seorang Aspirant Controleur bernama C. J. Hasselman pada 1887 dalam karyanya yang berjudul “De Perdikan Dessa’s in Het District Tjahijana; Tijdschrift voor het Binnenland Bestuur” berbunyi sebagai berikut :

 

“Penget lajang kang idi Pangeran Sultan ing Demak. Kagaduha dening Mahdum Wali Prakosa ing Tjahjana. Mulane anggaduha lajang Ingsun dene angrowangi amelar tanah, sun tulusaken Pamardikane pesti lemah Pamardikane Allah, tantaha ana angowahana ora sun wehi suka halal dunja aherat. Anaha anak putu aba aniaja. Mugaha kena gutukking Allah lan oliha bebenduning para Wali kang ana ing Nusa Djawa. Estu jen Peperdikaning Allah.Titi

 

Intinya dari Surat Kekancingan itu, Sultan Demak memberikan lajang pamardikan kepada Makdum Wali Prakosa di Cahyana. Sultan Demak mengakui bahwa bumi Cahyana adalah tanah perdikaning Allah dan barang siapa yang berani mengubah keputusan itu akan berdosa kepada Allah dan terkena kutukan dari para wali di Tanah Jawa.

Chatarinus Johannes Hasselman (Dok : Biografischportaal.nl)

Catatan : Berdasarkan laman www.huygens.knaw.nl, CJ Hasselman adalah Catharinus Johannes Hasselman. Ia merupakan pegawai negeri Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Hassleman lahir di Herwijnen pada 21-10-1861  dan meninggal di Wassenaar 10-2-1944). Ia merupakan putra Benjamin Richard Ponninch Hasselman juragan tebu di Jawa. Hasselman menikah dengan Dorothea Gertrude Tijdeman dan tidak dikaruniai anak. Hasselman memang dididik untuk menjadi birokrat. Setelah lulus dari Tielse HBS, Ia belajar mengenai Hindia Belanda di Delft. Setelah lulus ujian pegawai negeri sipil senior pada 1883, Ia berangkat ke Hindia Belanda sebagai pejabat kolonial alias Binnenlandsch Bestuur (BB). Hasselman menghabiskan sebagian besar masa karirnya di Kedoe, Magelang, Banjoemas, Temanggoeng dan Probolinggo. Pada tahun 1894 ia dipromosikan ke kantor Gubernur Jenderal di Batavia dan setelah itu kembali ke Belanda saat memasuki masa pensiun.
 

Surat kekancingan yang merupakan bukti pengakuan eksistensi Perdikan Cahyana itu dilaksanakan oleh para pengusa jawa secara turun temurun. Mereka tidak ada yang berani mengubahnya. Setelah Demak runtuh, berganti dengan Kesultanan Pajang lalu Mataram dan diteruskan oleh Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, deklarasi piagam pamardikan tersebut tetap bertahan.

 

Museum Sana Budaya Yogyakarta mempunyai naskah koleksi dengan kode PB. A 271 tentang daftar penerima kekancingan atau beslit secara turun temurun yaitu: Pangeran Makdum Wali Prakosa dari Sultan Demak (1403), Pangeran Wali Mahdoem Tjahjana dari Sultan Pajang (1503), Kiyai Mas Pekeh dari Sultan Pajang (1530 M), Kiyai Waringin dari Raja Mataram (1550), Pangeran Sarawetjana I dari Raja Mataram (1565), Kiyai Bagus Kerti dari Susuhunan Surakarta (1605), Kiyai Wangsadjiwa dari Susuhunan Surakarta (1675), Kiyai Saradjiwa dari Susuhunan Surakarta (1715), Kiyai Noertaman, Kiyai Mertadiwirja, Kiyai Redja Muhammad dari Susuhunan Surakarta (1730). Untuk selanjutnya Keraton Yogyakarta mengutus Eyang Raden Candra Wijaya menjadi Juru Kunci pertama, demikian berikutnya sampai juru kunci-juru kunci yang sekarang bertugas (Fadlil, 2013: 89).

 

Pergantian kekancingan menjadi juru kunci disebabkan kewenangan mengeluarkan besslit perdikan diambil alih Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda sendiri dikenal sangat menghormati perdikan, terutama karena di dalamnya banyak terdapat makam orang suci dan keramat leluhur termasuk situs-situs purbakala.

Tanah Perdikan justru baru dihapuskan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU No. 13 Tahun 1946 tentang Penghapusan Desa-Desa Perdikan yang ditetapkan pada tanggal 4 September 1946. Nah, dengan peraturan tersebut maka Perdikan Cahyana pun berakhir eksistensinya.

 

Jadi, di Bumi Perwira ini ada sebuah wilayah pamardikan bebas pajak yang eksis sampai ratusan tahun, yaitu, Perdikan Cahyana. Tanah perdikan itu mampu bertahan melintas jaman selama sekitar 465 tahun (1403 S atau 1481 M sampai dengan 1946 M).

 

Dahulu, Perdikan Cahyana meliputi 21 desa yaitu 1. Grantung Andap, 2. Grantung, Kudil, 3. Grantung Gerang, 4. Grantung Lemah Abang, 5. Grantung Kauman, 6. Pekiringan kauman, 7. Pekiringan Lama, 8. Pekiringan Anyar, 9. Pekiringan Bedhahan, 10. Tajug Lor, 11. Tajug Kidul, 12. Rajawana Lor, 13. Rajawana Kidul. Kemudian, ada 14. Makam Wadhas, 15. Makam Bantal, 16. Makam Tengah, 17. Makam Dhuwur, 18. Makam Kidul, 19. Makam Jurang, 20. Makam Panjang dan 21. Makam Kamal.

 

Saat ini, wilayah itu ada di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Karangmoncol dan Rembang serta 5 desa, yaitu, Pekiringan, Grantung, Tajug, Rajawana dan Makam.

 

Pangeran Wali Perkasa, Keturunan Syech Jambu Karang

Masjid Wali Perkasa di Desa Pekiringan, Karangmoncol (Dok Pribadi)
Jika berbicara tentang Pangeran Wali Perkasa tentu tak bisa lepas dari legenda dua tokoh utama yaitu Syekh Jambukarang dan Syekh Atas Angin. Kedua tokoh itu hidup dalam budaya masyarakat Purbalingga, berkelindan antara mitos, sejarah dan fakta.  

 

Pejabat kolonial Inggris yang juga peneliti Sir Thomas Stamford Raffles pernah menyusun narasi yang dikumpulkan dari sumber-sumber lokal tentang Islam pada tahun 1112 M dengan berpijak pada kisah Kuda Lalean, Raja Pajajaran yang bergelar Brawijaya Mahesa Tandreman. Dalam catatan tersebut dikisahkan raja mempunyai dua orang putra, dan karena yang tertua tidak senang tinggal di istana, maka yang termuda menggantikan ayahnya dengan gelar Prabu Munding Sari. Setelah tujuh tahun, sang Kakak kembali dan dikenal dengan nama baru Haji Purwa. Dia datang bersama dengan seorang Arab dari negeri Kouje yang merupakan keturunan Sayyed Abbas (Raffles, 2014: 452).

 

Sosok Haji Purwa, mengacu pada sumber catatan dalam silsilah Raja-raja Jawa yang dicuplik Raffles, seperti dari naskah Kiai Adipati Adi Manggala (bekas bupati Demak), ditengarai adalah nama lain Pangeran Munding Wangi, kakak Pangeran Munding Sari (Raffles, 2014: 441).

 

Pada naskah Cariyosipun Redi Munggul yang merupakan rujukan sejarag mengenai Perdikan Cahyana juga menyebutkan kisah itu. Naskah tersebut memberikan keterangan: “Punika Cariyosipun Redi Munggul Satengahing Nusa Jawi Waktu Medal Cahya Pethak Umancur Sundhul ing Ngawiyat Ngawontenaken Pepundhen ing Cahyana” (Priyadi, 2001: 92).  Isi teks di atas menceritakan tentang asal-usul Pengeran Jambu Karang yang bergelar Haji Purwa / Haji Purba setelah diislamkan oleh tokoh spiritual Syekh Atas Angin.

 

Masyarakat Cahyana mempunyai versinya sendiri, seperti dicatat Ervitaputri (2016 : 194) pada wawancara tokoh setempat, sebagai berikut :

 

“Raden Munding Wangi pada mulanya bersemadi di bawah pohon Jambu di Bukit Karang, Banten (dari toponim itu kemudian beliau bergelar Pangeran Jambukarang). Dalam semadi tersebut beliau mendapat penglihatan tiga buah cahaya di timur. Ditelusurilah asal cahaya tersebut hingga akhirnya tiba di Gunung Panungkulan. Dari situ kemudian nama “Cahyana” berasal atau dalam bahasa Jawa berarti cahya ana (ada cahaya).

 

Pada saat bersamaan seorang ulama di negeri Arab seusai sholat shubuh juga mendapatkan ilham yang sama tentang tiga buah cahaya, kemudian beliau berlayar menyusuri tempat cahaya berasal. Akan tetapi di tempat tersebut sudah terdapat seorang pertapa yang sedang bersemadi yang tidak lain adalah Raden Munding Wangi. Setelah menyampaikan salam beberapa kali dan tidak ada jawaban maka tahulah Syekh Atas Angin bahwa sang pertapa bukan beragama Islam. Raden Munding Wangi yang merasa terganggu akhirnya mengadakan suatu perjanjian adu kesaktian bahwa barang siapa yang kalah akan tunduk mengikuti ajaran Si Pemenang.

 

Raden Munding Wangi beradu kecepatan mengitari Gunung Gora, akan tetapi Syekh Atas Angin lebih cepat. Kemudian Raden Munding Wangi menata batu satu persatu hingga setinggi langit, lalu Syekh Atas Angin dapat mengambil satu persatu dari bawah dengan tanpa jatuh. Lalu Raden Munding Wangi menerbangkan ikat kepalanya, tetapi dapat digulung oleh sorban Syekh Atas Angin. Akhirnya Raden Munding Wangi mengakui kekalahannya kemudian dibaiat dan menerima ilmu keagamaan di Gunung Kraton. Setelah menunaikan ibadah Haji, Pangeran Jambukarang, bergelar Haji Purwa atau Haji Purba (orang Jawa pertama yang berhaji).”

 

Lebih lanjut, dalam Cariyosipun Redi Munggul diceritakan Syekh Atas Angin bermukim dan membaur dengan masyarakat. Ia dinikahkan dengan putri Haji Purwa yaitu Rubiah Bekti dan menurunkan dua orang putra dan dua orang putri yaitu Syekh Makhdum Husein (Makamnya di Desa Rajawana, Karangmoncol Purbalingga), Syekh Makhdum Madem (makamnya di Cirebon), Syekh Makhdum Omar (makamnya di Pulau Karimun Jawa), Nyai Rubiah Raja (makamnya di Ragasela, Pekalongan), Nyai Rubiah Sekar (dimakamkan di Jambangan, Banjarnegara). Syekh Makhdum Husen kemudian berputra Syekh Makdum Jamil yang menurunkan dua putra yaitu Syekh Makdum Tores (dimakamkan di Bogares, Tegal) dan Syekh Makdum Wali Prakosa (dimakamkan di Masjid Besar Pekiringan, Karangmoncol Purbalingga).

 

Jadi kalau berdasarkan cerita tersebut, berarti Syekh Makdum Wali Prakosa adalah keturunan ketiga (cicit / buyut) dari Syekh Atas Angin atau keturunan keempat (canggah) dari Syekh Jambu Karang.

 

Rujukan

1.    Ervitaputri, Yana. 2016. Arkaisme Spiritual dalam Arkaisme Spiritual dalam Tradisi Lisan Budaya Cahyana (Jurnal Kebudayaan Islam Ibda Volume 14, No.2). Purwokerto : Institut Agama Islam Negeri Purwokerto

2.    Priyadi, Sugeng. 2001. Perdikan Cahyana (Jurnal Humaniora Volume XIII). Yogyakarta: FIB Universitas Gadjah Mada

3.    Raffles, Thomas Stamford. 2014. The History of Java. Yogyakarta: Penerbit Narasi

4.    Kurnia, Irvan Fadlil. 2013. “Tradhisi Ritual Slametan Wonten ing Petilasan Ardi Lawet Desa Panusupan, Kecamatan Karangmoncol”. Skripsi Strata I. Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta.

5.    Data tentang CJ Hasselman di http://resources.huygens.knaw.nl/

igo saputra Orang yang suka berkhayal dan berusaha membuatnya menjadi kenyataan. Jangan berhenti berimaji..

0 Response to " Cahyana Karabal Minal Muslimin, Tanah Perdikan di Bumi Perwira"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel