Rumah Keluarga Lie Keng dan Asal-Usul Gang Mayong

Kwee Lie Keng, 'Konglomerat' asal Purbalingga
Saat masih duduk di bangku putih abu-abu, saya sering nongkrong di rumah kost di Kauman, Purbalinga. Rute yang harus saya lewati untuk menuju tempat kongkow adalah Jalan Wirasaba alias Gang Mayong. Terus terang saya penasaran dengan sebuah rumah tua dan jembar yang ada di sisi timur Gang Mayong dan bersebelahan dengan GOR Mahesa Jenar.

purbalingga
Rumah Keluarga Lie Keng
Warga sekitar menyebut rumah yang kini berada di Jalan Wirasaba Nomor 4, RT 3 RW 3 Kelurahan Purbalingga Kulon tersebut sebagai ‘Umaeh Likeng’. Siapa Likeng? Jawabanya singkat, pokoknya orang Tionghoa yang sangat kaya pada zamannya. Konon, tanahnya puluhan hektar, mulai dari belakang Masjid Darusalam sampai ke yang jadi kompleks GOR Mahesa Jenar itu.

Lalu, kemana Likeng dan keluarganya? Minim informasi akan hal itu. Warga hanya menyebut rumah tua tersebut ditungguin mbah-mbah dan sering ada hantunya... hehe.

Saya mencoba mengkonfirmasi ke Ketua Paguyuban Masyarakat Tionghoa Purbalingga Kris Hartoyo Yahya atau dikenal dengan Kris Hauw, jawabanya pun sama. Keturunan keluarga Likeng sudah tidak ada yang tinggal di Purbalingga.

Rasa penasaran pun semakin menjadi. Sebab, nama Likeng selalu saja muncul ketika berdiskusi soal orang-orang Tionghoa terkemuka di Purbalingga maupun ketika saya meriset sejarah kopi dan tembakau di Purbalingga.

Informasi soal siapa Likeng mendapat sedikit titik terang saat kami menyusun Buku Sejarah Tembakau di Purbalingga akhir tahun lalu. Berdasarkan salah satu referensi, sebuah Buku Cultuur-Adresboek Voor Nedherlandsch-Indie yang diterbitkan Pemerintah Belanda pada 1937, ada sebuah perusahaan agribisnis bernama Gwan Lie Handel en Cultuur di Poerbolinggo. Perusahaan itu yang tercatat berdiri pada 1915 itu dimiliki oleh pengusaha Tionghoa  bernama Kwee Lie Keng.

Gwan Lie usahanya beraneka rupa, mulai dari tenun, batik, teh, kopi, farmasi hingga tembakau. Tembakau yang diolah Gwan Lie ini diperuntukan bagi olahan rokok klembak menyan atau yang dikenal dengan nama rokok siong. Rokok produksi Gwan Lie masih eksis sampai kisaran akhir periode 1950 dengan merk Kampak seri super dan Wahid.

Sebuah foto dokumen kuno dibawah ini menunjukkan semacam nota pembelian tembakau yang dilakukan oleh perusahaan milik Lie Keng. Tarikhnya menunjukkan angka tahun Sowa 2603 atau 1943 Masehi. Tertulis pembelian tembakau rajangan untuk salah seorang putera Kwee Lie Keng sejumlah 657 kilogram. Jumlah sebanyak ini dimungkinkan untuk bahan baku usaha pengolahan rokok yang dilakoninya.
Dokumen Pembelian Tembakau Perusahaan Lie Keng
Sebagai informasi, Rokok Klembak yang memang banyak diproduksi oleh perusahaan yang dimiliki etnis tionghoa sebenarnya adalah rokok yang terbuat dari daun tembakau, akar klembak dan kemenyan yang dilinting atau digulung dengan kertas papier. Rokok ini populer di kalangan petani dan buruh di sekitar pesisir selatan Jawa Tengah yang membentang dari Cilacap, Banyumas, Purwokerto, Purbalingga, Gombong, Karanganyar, Kebumen Sampai Purworejo.

Rokok ini dikenal sebagai rokok rakyat karena harga yang relatif murah dan terjangkau untuk kalangan bawah. Selain itu diyakini oleh sebagian orang dapat digunakan sebagai obat mengatasi batuk, sembelit dan sebagai wangi-wangian. Saat ini, Rokok klembak masih bertahan selain masih ada konsumen fanatiknya juga banyak digunakan sebagai rokok untuk keperluan sesaji dalam upacara pengiriman doa seperti selamatan maupun perayaan hari besar seperti sedekah bumi maupun sedekah laut di daerah pedesaan.

Dalam laporan yang ditulis B. van Reijden, bahwa pada 1929 - 1930 total ada 7 usaha rokok klembak menyan yang diproduksi warga Tionghoa di Purbalingga untuk industri kecil. Barulah pada tahun 1931 diramaikan oleh keberadaan industri menengah oleh pengusaha Tionghoa. Setahun setelahnya warga pribumi pun turut andil dalam industri olahan rokok yang khas dengan paduan utama tembakau dan cengkeh ini. Bahkan Purbalingga disebut-sebut sebagai salah satu wilayah sentra produksi rokok klembak menyan.

Selain tembakau, produksi teh perusahaan Lie Keng juga cukup dikenal. Merknya Thee Tjap Nanas Doea.

The Tjap Nanas Doea, Merk Produk Teh Perusahaan Lie Keng
Oleh karena berbagai usahanya, tak heran Lie Keng menjadi pengusaha kaya raya di Purbalingga. Bahkan, namanya kemudian masuk dalam daftar di buku 'Orang-orang Tionghoa Jang Terkemoeka di Java' terbitan 1935 yang ditulis oleh Tan Hong Boen.

Lalu, kemana keluarga Kwee Lie Keng pergi?. Ada yang menginformasikan keluarga besarnya terpencar setelah revolusi kemerdekaan. Sebagian aset dan tanahnya dinasionalisasi pemerintah republik. Kemudian, keluarga mereka sebagian tersebar di Semarang dan Jakarta, bahkan konon ada yang tinggal di Belanda.

Hasil pencarian saya menemukan ada salah satu arsip di Mahkamah Agung Tahun 2010 ada sengketa tanah yang melibatkan akhli waris Kwee Lie Keng. Namun, pada arsip tersebut tertulis pada keterangan seperti ini : Kesemuanya ahli waris dari alm. KWEE LIE KENG dan bertempat tinggal di Jakarta, tidak jelas alamatnya akan tetapi masih dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia.

Kemudian, jika menggunakan situs pencarian asal-usul geni.com, tertulis data tentang Kwe Lie Keng yang lahir antara 1851 s/d 1911, meninggal pada 8 Februari 1974 (tanpa keterangan lokasi lahir dan meninggalmya dimana). Kwee Lie Keng adalah putra dari pasangan Kwee Ma Sioe dan The Pinter Nio. Kwee Lie Keng memiliki 3 saudara Lie Haij, Lie Kwie dan Lie Kwan. Sementara anak-anaknya lahir di Purbalingga yaitu Kwe Mau Lim, Kwee Mo Tjwan alias Mochtar Santoso dan Kwe Mo Hian alias Kawidirejo.

Ada yang menarik jika menelusuri jejak ayahnya, Kwee Ma Sioe. Ternyata dia memiliki saudara laki-laki bernama Kwee Ma Yong. Sosok inilah yang ditengarai sebagai asal muasal jalan di depan rumah keluarga Kwee dinamakan sebagai ‘Gang Mayong’. Sebagai keluarga kaya dan berpengaruh bukan sangat mungkin kemudian nama paman dari Kwee Lie Keng ini yang dinisbatkan sebagai nama jalan yang saat ini menjadi pusat kuliner ‘Kya-Kya Mayong’.
Pusat Kuliner Kya-Kya Mayong
Namun, selain teori itu juga sebagian orang mempercayai bahwa di jalan tersebut banyak tinggal orang Tionghoa yang gemar bermain ‘Mah Jong’. Lidah orang ngapak kemudian terbiasa menyebut permainan judi tradisional china itu sebagai mayong sehingga lokasinya disebut sebagai Gang Mayong.

Hmm, atau begini saja biar kedua teori itu ada benang merahnya. Jadi, Kwee Ma Yong, paman Kwee Lie Keng gemar bermain Mah Jong... hehe. Jadilah jalan tempat Ma Yong bermain Mah Jong dinamakan Gang Mayong. Deal?

Rumah Kwee Lie Keng yang bertahan hingga kini
Selain itu, Blogger Sejarah Purbalingga yang juga pegawai Museum Soegarda Poerbakawatja, Anita Wiryo Raharjo menyebutkan rumah itu juga pernah difungsikan sebagai markas tentara Belanda. Kemudian, pernah juga digunakan sebagai gudang penyimpanan alat fogging malaria.

Saat ini, kondisi rumah yang diperkirakan sudah berumur ratusan tahun itu masih kokoh berdiri. Tak banyak perombakan terjadi, hanya saja perabot di dalamnya konon sebagian besar sudah diambil ahli waris. Bentuk atapnya tetap limasan, tidak bertingkat, memiliki pilar tinggi, jendela lebar, dua daun pintu, kaca grafir pada jendela sampai kran dan talang air besi peninggalan kolonial masih terpasang rapi.

Kaya kue kira-kira lur, ceritane salah satu bangunan bersejarah nang Purbalingga. Menarik ora?

Ahai..
Serr..

Sumber Rujukan dan Gambar :
1. Buku Tembakau di Purbalingga : Sejarah dan Perkembanganya (2019)
2. Putusan Mahkamah Agung di mahkamahagung.go.id
3. Situs pencarian asal-usul geni.com
4. Tulisan saya di kompasiana yang bisa dibaca disini
5. Blog Anita Wiryo Raharjo yang bisa dibaca disini




igo saputra Orang yang suka berkhayal dan berusaha membuatnya menjadi kenyataan. Jangan berhenti berimaji..

9 Responses to "Rumah Keluarga Lie Keng dan Asal-Usul Gang Mayong"

Unknown said...

Pesan untuk penulis semoga bisa menceritakan lebih bayak sejarah di purbalingga

Kenangan said...

Saya tertarik sekali dengan artikel in. Yang kebetulan saya juga sempat melihat sosok Babah likeng. Karena rumah saya ngga jauh dari tempat itu. Bahkan saya banyak sekali pengalaman yang langsung berhubungan dengan beliau. Saya sering dikejar kejar sama beliau karena saya sering masuk kepekarangannya dan mencuri buah buahan yang ada dipekarangan yang memang banyak sekali pohon buahnya. Dan saya juga selamet ikut melayat ketika beliau meninggal dunia pada tahun 74 itu. Sebenarnya masih banyak kenangan yang saya mau ceritakan disini.tapi dilain waktu saja.terima kasih dari putra Kauman asli. Nurochman AR.

Kenangan said...

*sempat

Icedguns said...

Menurut teman yg dideket situ,umaeh kancaku nang kauman, china juga.infonya Anak² dari keluarga LiKeng diluar Negri semua ada di Amerika dan Australi kbtulan dia dapat cerita dari orang tua yg mnunggu rumah itu, nenek tua yg bnyak ditemani anjing peliharaannya.

wing said...

Saya pernah ketemu keturunannya tahun 90 an tinggal di Purworejo. Buka toko disana sebelahan dgn toko Sarinah

REKOMN said...

Blogg nya menarik

igo saputra said...

makasih atas komentar dan informasinya... salam hangat dari Purbalingga..

Unknown said...

sangat menarik,apik pisan pokoke

Unknown said...

Tahun 1965 setelah peristiwa G30S pernah dipakai sebagai titik kumpul yang akan ikut ke Kalibagor, katanya yang datang Mohamad Husni Thamrin, Ketua Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI).

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel