Gardu yang Jadi Saksi Tanam Paksa di Purbalingga
Nusantara pernah mengalami penjajahan berabad-abad
lamanya. Salah satu periode kelam dalam penjajahan itu adalah Tanam Paksa alias
Cultuurestelsel. Era itu dimulai saat
VOC alias Kompeni Belanda yang
mengawali penjajahan di Nusantara dengan monopoli rempah bangkrut karena
keserahakan dan korupsi pada akhir 1799.
Jamrud Khatulistiwa kemudian diambil alih Pemerintah
Hindia Belanda. Namun, mereka mewarisi kondisi keuangan kosong karena korupsi
pejabat VOC dan untuk membiayai perang, termasuk yang terbesar, Perang
Diponegoro. Untuk mengisi kekosongan kas, Gubernur Jenderal Van den Bosch
melakukan berbagai macam gebrakan, salah satunya adalah Tanam Paksa itu.
Jika VOC hanya memonopoli perdagangan rempah, era tanam
paksa, mewajibkan rakyat negeri ini menanam komoditas pertanian dan perkebunan
yang dipilih mereka. Kemudian, dibeli dengan harga semaunya, lalu diekspor ke
Pasar Eropa dan Amerika. Belanda menangguk keuntungan sangat besar dari praktek
ini.
Nah, di Kabupaten Purbalingga ada saksi bisu praktek
tanam paksa yang masih bisa disaksikan hingga kini. Ia berupa bangunan gardu
yang digunakan untuk mengawasi lalu lalang komoditas hasil tanam paksa di
wilayah Purbalingga dan sekitarnya.
Ada dua gardu, saya sebut saja Gardu Tanam Paksa, yang
tersisa saat ini di Purbalingga. Satu berada di Desa Tlahab Lor dan satu lagi
di Desa Siwarak, keduanya berada di Kecamatan Karangreja.
(Dinas Kebudayaan Kabupaten Purbalingga mencatat bangunan
itu sebagai 'Gardu VOC'. Hal ini, menurut saya kurang tepat karena bangunan itu, menurut
data Sistem Registrasi Cagar Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dibuat
pada tahun 1838 yang berarti 39 tahun era VOC telah berlalu. Kebangkrutan dan
tutupnya VOC bisa dibaca disini).
Gardu Jaga Tanam Paksa di Desa Siwarak, Karangreja (Dok. Pribadi) |
Menurut informasi warga setempat, dahulu ada 6 gardu sejenis,
yang ada di Kecamatan Karanganyar, Bobotsari dan Karangreja. Semuanya berada
pada jalur transportasi Purbalingga – Pemalang atau jalur pantura / jalan raya pos (de groote postweg). Namun, saat ini
hanya dua gardu itu saja yang tersisa
Umumnya gardu, bangunannya berbentuk seperti rumah dengan
ukuran lebih kecil. Kalau merujuk ke KBBI, gardu, artinya Rumah Jaga atau Tempat
Berkawal. Gardu berasal dari serapan Bahasa Prancis, garde yang artinya jaga.
Bangunan gardu yang ada di Tlahab Lor dan Siwarak, berdimensi
persegi, panjang x lebar sekitar 2,5 meter, dengan ketinggian sekitar 3,5 meter.
Seluruh komponen bangunan terbuat dari beton dengan pintu berbentuk lengkung
busur di bagian atasnya. Terdapat lubang
pintu dan jendela berbentuk lengkung busur pada bagian atasnya tanpa daun pintu
dan jendela.
Pada bagian tengah bangunan terdapat dua besi yang
melintang, yang diduga berfungsi sebagai penggantung timbangan untuk pengecekan
hasil perkebunan. Besi melintang itu masih tersisa. Menurut cerita, pada besi
tersebut terdapat tulisan angka-angka yang sayangnya sudah aus dan tidak bisa
terbaca lagi.
Gardu ini berfungsi sebagai posko kontrol hasil bumi
termasuk pencatatan penimbangan untuk komoditas dari Purbalingga menuju pantura
yang kemudian bisa menuju pelabuhan Pantai Utara Jawa, baik Cirebon atau
Semarang. Wilayah Purbalingga yang saat ini Kecamatan Karangreja, Bobotsari,
Karanganyar Kertanegara, Mrebet, Bojongsari dan sekitarnya merupakan sentra komoditas
perkebunan seperti kopi, teh, tembakau, nila, indigo.
Produktivitasnya pun tak main-main. Kopi misalnya, dalam
catatan statistik Pemerintah Hindia Belanda, Purbalingga merupakan sentra kopi
di Wilayah Eks Karesidenan Banyumas dengan lebih dari 10 juta pohon produktif.
Jejaknya sampai sekarang masih ada Kopi Santri di Kecamatan Karangreja yang
diduga sebutan lokal untuk Koffie
Centraal atau pusat kopi yang dulu ada di wilayah tersebut.
Data Statistik Era Belanda tentang Produktivitas Perkebunan Kopi di Karesidenan Banyumas |
Selengkapnya terkait kopi di Purbalingga jaman Belanda, saya pernah menulis artikel di Kompasiana yang berjudul "Mengembalikan Kejayaan Kopi Purbalingga" yang bisa dibaca disini
Sayangnya, peninggalan bersejarah itu kurang terawat. Kondisi
gardu, baik yang di Tlahab Lor maupun Siwarak, sebagian berlumut terutama
bagian atas, sampai ditumbuhi semak. Gardu yang ditlahab Lor bahkan sebagian
bangunannya sudah di bawah badan jalan. Dinding juga tampak sudah mengalami
berulang kali ditambal semen. Pada salah satu bagian dinding yang katanya dulu terdapat
tulisan timbul berupa angka tahun 1838, juga sudah pudar.
Padahal, nilai sejarahnya bangunan tersebut cukup
penting. Selain menjadi saksi dari praktek culas penjajah di negeri ini, situs
tersebut juga bisa dioptimalkan menjadi salah satu obyek untuk wisata. Minimal
menjadi pengingat, agar praktek yang sama tak terulang di kemudian hari.
Kaya kue mbok lur...
Ahai.. Serr..
Btw, saya pernah membuat film dokumentasinya soal
gardu-gardu itu dan saya posting di youtube tapi masih amatir hihi.. Ini dokumentasinya dikit.. hehe
0 Response to "Gardu yang Jadi Saksi Tanam Paksa di Purbalingga"
Post a Comment